Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat PPIM (Bagian 11)




Berjalan Pulang ke Tanah Kelahiran

Jauh sebelum jilbab menjadi tren di kalangan pelajar Makassar, di tahun 2003, khususnya lagi di PPIM, dua pelajar yang sudah diselimuti jilbab, seingat saya cuma Alwia dari SMA Negeri 4 dengan Ipa, pelajar SMK Negeri 4 Makassar.

Alasan jilbab itulah sehingga rikuh membangun dialog lebih lekat. Takut bila keduanya mengeluarkan hadis. Namun rupanya, tidak demikian dengan Ipa, sikecil gesit itu. Saya dan dia bersama teman yang lainnya, jika tidak salah, Bim, Echy, Jamil, Yuki, dan almahrum Arief (Alfatiha untuknya) juga ikut serta kala mengantar proposal permintaan bantuan dana di PT. Bosowa Berlian Motor, depan kampus II Universitas Muslim Indonesia (UMI). Ipa orangnya ceriwis dan tidak membuat jarak.

Khusus Alwia, di sejumlah pertemuan PPIM, dia jarang terlihat. Tetapi namanya kerap disebut. Mungkin dirindukan hadir sebagai oasis. Saya tidak tahu dari mana Irex berhasil menemukan nomor kontaknya dan memasukkannya di grup WhatsApp Alumni PPIM. Dulu, di tahun 2012, ketika membentuk grup Facebook, nama teman-teman saya cari di media sosial ciptaan Mark Zuckerberg itu, namun hasilnya nihil.

Obrolan di grup WA beberapa hari lalu membuka beragam sudut pandang. Utamanya sekali ketika Alwia mengatakan kembali ke Ambon. Sebelumnya juga, si Irex sempat bilang demikian, kalau Alwia bertugas di Ambon. Hanya saja, omongan Irex selalu dianggap guyon. Jadi, dari seribu pernyataannya baru satu dianggap sebagai kebenaran. Itu pun, kadang masih perlu diragukan.

*
Ambon, ibu kota Provinsi Maluku, kota yang terluka di tahun 1999. Satu fase sejarah umat manusia yang memilukan terjadi di kota ini. Saya tak sanggup mengenang dan menuliskan ulang di sini. Terlalu banyak luka terkuak. 

Waktu SMP, di sekolah saya kedatangan dua siswa baru. Semuanya perempuan, pindahan dari Ambon. Saat itu, siaran berita di televisi sudah menayangkan kerusuhan yang terjadi di Ambon. Diperkuat lagi dengan pengakuan perantau yang berhasil pulang. Di kampung saya ada banyak orang yang menjadikan Ambon sebagai kota labuhan mengadu nasib. Semuanya pulang meninggalkan harta benda. Mereka hanya membawa cerita yang mengerikan. 

Dua murid baru itu, di kala senggang sering dikerumuni untuk mendengar ceritanya. Tentu saja cerita yang berulang karena hampir terjadi saban hari. Nah, ketika Alwia mengatakan dirinya orang Ambon. Kabel ingatan saya tersambung ke zaman SMP. Bisa jadi, dua murid baru itu satu kapal dengan Alwia ketika mengungsi ke Makassar di tahun 1999.

Tetapi, Alwia tidak menunjukkan diri sebagai orang yang lahir dan melewati masa kecilnya di Ambon. Perawakannya sama saja dengan perempuan Bugis atau Makassar. 

Rupanya memang, Alwia masih dialiri darah Bugis. Kakeknya dari Bone. Kemungkinannya, ayahnya yang berdarah Ambon-Arab membangun jejak hidup di Ambon dan Alwia lahir di sana di tahun 1985. Hanya berselang setahun dengan Anton yang lahir di tahun 1984 di wilayah terpencil di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), sosok pelajar yang paling diingat di PPIM. Anak-anak zaman memang dilahirkan dalam satu dekade.

“Memoriku tentang PPIM hampir hilang,” ucap Alwia. Ia tak menyangka bakal bersapa kembali dengan anak-anak yang pernah dia jumpai di tahun 2003 ketika masih SMA. Tapak hidup memang misteri. Di tahun 1999, ia dan keluarganya di Ambon dipaksa angkat kaki demi keselamatan. Pihak keamanan mengkhawatirkan lebih banyak korban bila tidak menetapkan keputusan evakuasi warga. Alwia, yang masih SMP saat itu harus meninggalkan tanah kelahiran dan berpisah dengan jejak masa kanaknya. Lokasi sekolahnya berada di komunitas umat Kristen, semakin meneguhkan tekad orangtuanya kalau semuanya harus ditinggalkan.

Pilihan ke Makassar adalah jalan yang paling wajar dikunjungi. Keluarga besar ibunya yang berdarah Bone masih di kota ini. Cap eksodus menjadi jalan lapang bagi Alwia melanjutkan sekolah di SMP Negeri 4 kemudian di SMA Negeri 4.

Memasuki kelas tiga SMA, ia terpilih mewakili sekolahnya untuk disatukan dengan pelajar dengan kemampuan di atas rata-rata dari sekolah lain ke dalam program kelas III khusus yang berpusat di Balai Pusat Guru (BPG). Ia masih ingat, ada wakil dari SMA Negeri 5, SMA Negeri 1, SMA Negeri 16, dan SMA Negeri 11 Makassar. Dari daerah, ada dari SMA Negeri Takalar, SMA Negeri 1 Barru, SMA Negeri 1 Pangkep, SMA Negeri Sidrap, SMA Negeri 1 Pare-Pare, SMA Negeri 1 Rantepao, dan SMA Negeri Bulukumba. “Jika tidak salah, semua daerah mengirim wakilnya,” terangnya.

Setamat SMA, melalui program PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) ia bebas tes di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (UNHAS) di tahun 2003. Capaian itu diperolehnya tentu tidak mudah. Konsentrasi di program kelas III se Sulawesi Selatan dijalani dengan bersungguh-sungguh. Bagaimana pun, di benaknya terpatri sebagai anak rantau di Makassar. Ia tak ingin menyiakan kesempatan yang diperoleh.

Menuntaskan studi kedokteran di tahun 2009, ia lalu menempuh perjalanan ke utara kota Makassar sejauh ratusan kilometer untuk menunaikan tugas magang di Puskesmas Rappang, Sidrap selama tiga bulan. Selanjutnya, ia terus melakukan perjalanan, menjauh meninggalkan Makassar, kota dimana sebagian hidupnya ditempah.

Ibu kota negara, Jakarta, adalah kota selanjutnya mencari peruntungan nasib sebagai dokter muda. Tetapi, ia hanya bertahan hingga tahun 2011. “Saya tidak sanggup menjalani hidup di Jakarta. Ibu kota itu kejam. Masih di tahun 2011, saya mendapat tawaran kerja di Ambon, sinyal untuk pulang ke kampung halaman,” ujarnya.

Dua belas tahun sudah, sejak ia meninggalkan Ambon di tahun 1999. Alwia kembali ke Maluku meski tidak bertugas di kota Ambon. Namun, itu sudah cukup mendekatkan diri kembali ke halaman tanah kelahiran. Kampung halaman yang dijejaki sejak lahir hingga usia SMP.

“Setelah satu setengah tahun di Jakarta, saya mengikuti program pemerintah yang disebut dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) dan ditempatkan di daerah terpencil. Perjalanan ke daerah itu harus mendaki gunung dan melewati lembah layaknya petualangan ninja Hatori,” ia menjelaskan.

Desa Tehua, Kecamatan Telutih, Kabupaten Maluku Tengah. Di sinilah tapak hidup dilewati penuh rintangan. Untuk mencapai desa ini yang dimulai dari kota Ambon, mula-mula harus naik kapal menuju kabupaten Maluku Tengah yang ditempuh selama dua jam. Singgah dulu di desa terdekat, Amahi, kemudian naik mobil ke kota kabupaten, Masohi. Dari sini, naik mobil lagi sekitar tiga jam menuju desa Tehoru melewati jalanan yang rusak parah. Selanjutnya, mengarungi lagi sungai dan lautan menggunakan perahu yang digerakkan mesin tempel sekitar satu jam. Sesampai di dermaga kecil, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki  baru sampai di lokasi kerja.

Dilematisnya muncul ketika harus ke kota Masohi hanya untuk mengambil gaji atau membeli kebutuhan hidup. Bukan apa-apa, medan yang harus dilalui pulang pergi serasa dibayangi malaikat maut. Hal itu bisa diperparah lagi dengan kondisi cuaca. Kadang, di saat tertentu, ia dan temannya harus mengarungi lautan dengan ombak setinggi tiga meter.

Ia bertugas di sana selama enam bulan baru dipindahkan ke desa Pelauw, pulau Haruku. Meski medannya tidak seterjal di desa sebelumnya. Tetap saja harus melintasi lautan diiringi gulungan ombak yang bisa saja menelan para penumpang, dimana Alwia salah satu penumpang itu.

“Sedih rasanya mendengar kabar bila ada teman seprofesi sampai meninggal di lokasi kerja,” lirihnya. Program PTT dijalani di kurung waktu 2011-2013. Ia tabah menjalani sebagai tapak hidup yang harus dilewati. Menghibahkan diri pada peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat di daerah terpencil.

Menjadi PTT barang tentu sudah menjadi jaminan melangkah ke status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, Alwia memilih mengundurkan diri. Jiwa aktivisnya tak bisa ia dustakan. Mengundurkan diri dengan pilihan sadar. Ia mencium permainan birokrasi yang tidak sehat. Menurutnya, penempatan PTT di daerah terjauh tidak didasarkan pada analisis kebutuhan melainkan faktor orang dalam yang mengatur.

Ia meradang ketika menjalani masa kehamilan hingga memasuki usia kandungan di bulan ke delapan. Dispensasi yang diajukan supaya ditempatkan sementara di kota Ambon tidak digubris dinas pemerintah setempat. Padahal, itu merupakan hak yang bisa ditempuh. Jadi, selama proses kehamilan itu, ia harus pulang pergi dari kota Ambon ke pulau Haruku. “Usai melahirkan, saya mengundurkan diri jadi PTT,” tegasnya.

Sekarang, ia memilih bertugas di klinik swasta Al Aqsha kota Ambon sembari merawat anaknya, seorang putri, sekaligus menjadi istri yang baik bagi suaminya. “Saya sudah mensyukuri semuanya. Doa saya dikabulkan supaya bisa kembali melanjutkan hidup d Ambon,” ucapnya. 

*

Pangkep-Makassar 18 September 2016

Komentar

Postingan Populer