Siapa Mengingat Kita, Catatan yang Lupa Buat PPIM (Bagian 10)
Kenangan adalah Kesunyian
Masing-Masing
Penyair cemerlang
kita yang mati muda, Chairil Anwar, mengabadikan frasa dalam sajaknya, Pemberian Tahu, di larik kedua ia
menabalkan kalau nasib itu kesunyian masing-masing. Frasa itulah yang terus
dikonstruksi untuk segala kepentingan. Misalnya saja, Jomlo adalah kesunyian masing-masing atau di kalangan aktivis
disebutkan: perjuangan adalah kesunyian
masing-masing.
Seri catatan
ingatan ini sesungguhnya sudah saya lupakan. Saya anggap sudah cukup. Terakhir,
seri ke sembilan bertarikh 18 Agustus 2013 sebagai penghormatan kepada almahrum
Ahyar Anwar yang pernah mengisi materi di kegiatan PPIM, Workhsop Pelajar se
Sulawesi Selatan.
Seri pertama
tertanggal 13 Januari 2012. Saya buat berselang dua hari setelah berjumpa
dengan Anton, Awal, dan Bim di Warkop Dg. Sija. Catatan itu saya bagikan di
grup Facebook dan menjadi pengantar berjalan ke masa lalu. Tentu saja ada
bantahan mengenai hamparan fakta yang saya beberkan. Memang, itu hanya ingatan
saya saja. Dan, namanya ingatan, pastilah memiliki kelemahan.
Sayang,
hingga grup itu terlupakan, tak banyak teman-teman yang bergabung di sana. Lipatan
hari menutupinya dengan lupa. Tak ada yang dihasilkan dari sana selain
membicarakan peristiwa masa lalu sebagai satu-satunya kebanggaan. Karena fasenya
singkat, obrolan terhenti karena memang sudah cukup. Bahan masa lalu sudah
tuntas diperbincangkan.
Hidup memang
kesunyian masing-masing. Serasa mengulang nasib, teman-teman membangun jejak
kehidupannya sendiri-sendiri. Bayangkanlah, grup itu dibuat tahun 2012 dan
barulah di tahun 2016. Butuh waktu tiga tahun baru bisa bersua kembali walau
itu di dunia maya. Di grup WA Alumni PPIM rupanya lebih ramai. Terutama ketika Awal
menemukan Andika, si anak hilang yang tidak sempat gabung di grup Facebook. Maka
ramailah obrolan karena Irex, sapaan akrabnya, serasa lidahnya gatal jika tidak bicara
banyak.
Kahadiran grup
WA itu memulai lagi dari awal bahan brolan yang sudah diulas dan tak tuntas di
grup Facebook. Kebanggan masa lalu yang ringkih dan pelik. Sebenarnya, PPIM itu bukanlah
apa-apa dalam peta gerakan di Makassar. Usianya tidaklah berbilang windu. Hanya
dua tahun saja, dihitung dari kongres yang pernah digelar. Jika ada sejarawan
gila yang mengingatnya, mungkin menempatkannya sebatas catatan kaki saja. Berada
di bagian bawah sebuah teks dalam buku. Tetapi, bukankah catatan kaki itu
sesuatu yang penting? Halah!
*
Pernahkah
kita bertanya. Sebab apa orang-orang selalu ingin kembali ke kampung halaman
walau di tanah rantau sudah selesai urusan dunianya. Wakil presiden pertama
kita, Bung Hatta, sangat menggangrungi tembang Indonesia Pusaka gubahan Ismail Marzuki.
Di
sana tempat lahir beta
Dibuai
dibesarkan bunda
Tempat
berlindung di hari tua
Tempat
akhir menutup mata
Saya yakin sekali, bahwa kita sudah
lahir dari banyak organisasi sebelum berjumpa di PPIM. Kita sudah dibesarkan di
banyak organisasi sebelum bergumul di PPIM. Kita bahkan, bisa berlindung di
sana dan menyudahi petualangan.
Dalam jejak hidupnya, Bung Hatta
sudah mengunjungi banyak tempat. Baik sedang menjalankan tugas negara maupun
sebagai tahanan politik Belanda. Kita, barangkali tidaklah seheroik Bung Hatta
dan tak cukup waktu mengunjungi banyak tempat. Namun, waktu yang singkat di
PPIM telah menciptakan peristiwa sampai bertahun-tahun ke depan di mana kita
belum sempat ke sana sekalipun.
Tahukah kalian apa sebabnya kita selalu ingin kembali ke petak peristiwa masa lalu. Jiwanya
sama dengan para perantau. Ada yang tertinggal di teras kampung halaman dan mereka ingin pulang menjumpainya. di PPIM saya kira juga demikian. Kita selalu
ingin pulang menengok sejenak kelakuan yang pernah diperbuat. Memunguti remah situasi yang tercipta di beranda rumahnya
Kak Iqbal Parewangi ketika menyiapkan spanduk protes menentang perang di Irak,
adalah salah satunya.
Menemukan diri kita kembali duduk di
sekretariat OSIS SMU Negeri 5 Makassar. Perjumpaan di ruang kelas SMA 1, SMA 17, SMA
11, SMA 8, SMA 16, SMK UMI, atau di petak ruang Gama College sembari menemukan senyum Kak Narti menjamu kita dengan Fruettea. Itu belum cukup. Ada kekuatan yang menuntun kita untuk mengulang perjalanan dari Monumen
Mandala ke Pantai Losari. Sebagian lagi tertinggal di Bantimurung dan pelataran
LEC Bukit Baruga.
Mungkin itulah yang dirasakan Anton
setiap kali pulang ke Makassar. Ada banyak janji yang bisa saja ia tetapkan sesama
teman alumninya dari Universitas Hasanuddin atau bersama teman seperjalanan yang lain
dari banyak organisasi yang digelutinya. Hanya saja, ada kepingan yang hilang
jika tidak berjumpa dengan teman PPIM. Di tapak itu, masa lalu adalah
penderitaan, namun kita selalu saja senang melaluinya. Tak semua inginnya
terpenuhi. Jarak menjadi realitas yang tak bisa dihubungkan media sosial apa
pun. Saya membayangkan. Ia meradang menjelang keberangkatannya kembali ke tanah
rantau bila tak berjumpa dengan salah satu alumni PPIM.
Di PPIM, ada kenangan yang dicipta
bersama dan tak dimungkiri lahir kenangan rahasia antara seseorang dengan
seseorang. Hal inilah yang selalu coba diperbincangkan di grup. Hanya saja,
seperti sabda Chairil Anwar, kehidupan itu kesunyian masing-masing. Dan,
kenangan rahasia di PPIM juga kesunyian masing-masing. Sejauh usaha
menggunjingnya akan berakhir sebagai humor belaka.
Boleh jadi, pergunjingan kenangan
rahasia itu dianggap oleh sebagian teman-teman telah mengacaukan hubungan saya
dengan Bambang, umpamanya. Padahal tidak demikian adanya. Itu hanya usaha
membangun melodrama agar kita dapat berjalan ke masa lalu. Dengan tertawa,
tentu saja, sebab tak mungkinlah bisa diwujudkan ke dalam aksi nyata.
*
Pangkep, 8 Agustus 2016
Komentar