Pada Sepakbola Kita Bermain Dadu
Fajar pagi menjadi teman perjalanan menuju Makassar usai gol tunggal Eder memastikan Portugal juara Piala Eropa. Hal pertama yang muncul di benak, seorang teman di tempat kerja bakal mendapat uang arisan bola yang kami adakan. Dalam proses undian yang dilakukan, ia mendapat gulungan kertas kecil yang di dalamnya tertulis: Portugal.
Sebenarnya, Portugal bukanlah tim favoritnya, ia menjagokan Inggris sejak Beckham masih aktif bermain. Namun, aturannya tidak boleh memilih dan harus menerima hasil undian. Itu aturan yang disepakati. Saya sendiri harus menerima Swiss sebagai takdir. Dan tahulah kalian, gol salto Xerdan Shaqiri yang menyamakan kedudukan pada akhirnya menjadi tim pertama yang gugur di fase 16 besar karena kalah adu penalti dari Polandia.
Saya kira tak perlu mengutip pendapat ulama dari lintas mazhab mengenai hukum judi dalam segala hal. Ini hanya fakta tak terbantahkan. Bola tidak sekadar melahirkan fans lintas generasi dan aliran. Sepakbola adalah media pertaruhan dari keisengan hingga yang serius.
Saya masihlah dalam tahap iseng-iseng saja, belum sampai pada kelas mafia bola. Waktu Italia balas dendam atas Spanyol di Perdelapanfinal dengan skor 2-0, saya harus kasbon di koperasi kantor dua bungkus rokok Sampoerna untuk kemenangan seorang teman. Saya kalah taruhan. Jerman kemudian mengembalikan dua bungkus rokok itu ketika Italia dipinta pulang usai kalah adu penalti di Perempatfinal.
Jadi, begitulah cara saya melibatkan diri dalam pertaruhan bola. Soal hukumnya, kita sama-sama tahulah. “Tuhan maha tahu tetapi Dia menunda.” Tulis Tolstoy, sastrawan Rusia yang ia jadikan judul cerpen.
Sejarah sepakbola tak bisa dilepaskan dari peliknya sebuah taruhan. Andreas Escobar, bek Kolombia di Piala Dunia 1994 di AS harus tewas didor. Dugaan kuat, kelompok mafia yang kalah taruhan geram melihat gol bunuh diri yang dibuatnya.
Bola dengan segala kerumitan taktik diterapkan pelatih jenius. Keterampilan yang diperagakan pemain. Wasit berusaha menerapkan keputusan obyektif. Semuanya tidak masuk hitungan dalam kalkulasi para petaruh bola. Mereka punya hitungan tersendiri yang tak kalah ribet dan kadang mengejek akal sehat.
Di situasi tertentu berdasarkan kesepakatan berengsek yang hanya mereka pahami, ada petaruh yang berdoa supaya tim yang dipilihnya tidak menciptakan gol. Bisakah hal ini kita terima? Bukankah esensi pertandingan sepakbola merupakan upaya menjebol gawang lawan sebanyak mungkin? Bagi mereka, para petaruh bola gila itu, semuanya demi memenangkan taruhan berdasarkan yang tersepakati.
Petaruh bola tipe ini tentu bukan pecinta bola, melainkan memang aslinya petaruh. Padahal, bola tetap bisa dijadikan ajang taruhan tanpa harus membuat aturan baru. Petaruh bola idealis ada pada mereka yang tidak perlu melahirkan kesepakatan. Intinya, siapa yang memenangkan pertandingan, maka dialah pemenangnya. Selesai.
Lalu, apakah sebuah pengetahuan taktik dan strategi tentang bola mampu dijadikan jaminan memenangkan pertaruhan? Tentu saja iya. Franz Beckenbauer, legenda Jerman, menuliskan ulasan menjelang Italia berjumpa Spanyol. Ia memuji taktik yang diterapkan Antonio Conte, pelatih Italia saat menumbangkan tim generasi emas Belgia di penyisihan grup dan melihat Spanyol memelihara celah di lapangan tengah. Iniesta tidak memiliki tandem sepadan usai Xavi pensiun.
Andai satpam kantor saya yang ngomong begitu, tentu saya tidak menyepakatinya. Namun ini seorang Sang Kaisar, julukan sang legenda. Atas apresiasinya itu saya berani memegang Jerman. Karena Tim Panser menurutnya, masih dalam ulasannya, memiliki kekuatan organisasi gelandang kreatif yang dapat meredam Italia yang sedang mengalami krisis generasi.
Meski analisis pakar dapat membantu, tetap saja sepakbola menyimpan misteri yang tak dapat dinalar. Pada akhirnya, bertaruh bola tak lebih sebagai bermain dadu saja, kita hanya bisa menginginkan nomor dadu di pikiran, hasilnya tergantung gelindingan dadu. Adu penalti yang dilakoni Jerman dan Italia sedikit membuktikan asumsi ini.
*
#onedayonearticle
#bloggerpangkep
#pialaeropa2016
Makassar, 12 Juli 2016
Komentar