Perjalanan Pulang
Gejolak membaca Pram di tahun 2003
tidak seturut dengan tersedianya karya Pram di toko buku di Makassar. Dua hal
ini sama saja, buku Pram yang beredar dan toko buku bisa dihitung jari. Situasi
yang demikian sepertinya menumbuhkan dendam.
Terdapat beberapa titik, biji dendam
itu terus tumbuh. Ada juga menghilang dan sudah lupa kalau di titik tertentu
pernah menanamnya. Industri buku, di dalam rimbanya terdapat tumbuhan jaringan
peredaran buku yang pusatnya melulu di Jawa, Jakarta lebih spesifikasinya. Saya
kurang paham distribusi itu hingga kemudian buku telat beredar di Makassar.
Tahun berganti tahun. Gejolak perlahan
padam. Menanti buku Pram di toko buku di Makassar sinonim dengan menunggu
Godot. Pram menjadi candu. Dirundung keinginan membaca anak-anak ruhaninya,
demikian ia menyebut karya tulis yang telah diselesaikan.
Tahun 2015, beberapa novel legendaris Pram
diterbitkan ulang. Kebahagiaan menghampiri karena Rumah Kaca, sekuel akhir Tetralogi
Buru, termasuk naik cetak. Saya melengkapinya empat sekuel itu setelah Bumi
Manusia kutemukan di tahun 2004. Sayang, novel itu sepertinya gagal cetak, ada
beberapa halaman kosong yang membuat malas menuntaskannya.
Menemukan. Kata ini saya gunakan
dengan sadar untuk sebaik-baiknya guna menggambarkan situasi yang kuhadapi. Meski,
misalnya, buku Pram sudah saya jumpai terpajang di rak toko buku. Tetap saja
harus memastikan isi dompet. Harga buku Pram terbilang mahal. Dan, mau tidak
mau, membaca novel Pram sebentuk perayaan sendiri-sendiri. Rasa-rasanya seperti melawan sesuatu sebelum membaca
novelnya
Akan banyak pembaca baru Pram yang
akan menuliskan seliuk ketidaktahuannya mengapa harus membaca novelnya. Saya
baru menyadari kalau saya juga berada di posisi ini. Bukan Pasar Malam,
termasuk novel yang selalu saya rekomendasikan kepada teman-teman meski belum
membacanya. Di tahun sebelum 2016, merupakan tahun-tahun ketidaktahuan saya
namun penuh kebanggaan merekomendasikan bacaan novel Pram.
Mengapa manusia terlahir sendiri dan
mati sendiri. Mengapa tidak pergi dan pulang bersama-sama sebagaimana pasar
malam. Fragmen ini sudah lama saya baca ditulisan pembaca Pram yang dengan
mudah dijumpai di internet. Catatan biografi Eka Kurniawan ketika Pram wafat, di tahun
2006 juga menampilkan
fragmen Bukan Pasar Malam.
Godaan makin mendorong. Segera mencari
Bukan Pasar Malam. Sialnya, tidaklah mudah. Melakukan pembelian on line di toko buku daring tidak ingin
kutempuh. Saya selalu punya pertimbangan lebih baik jika harus menciumi dulu
bau kertasnya. Meraba dan memandangi dulu covernya. Setelahnya, barulah
menghela nafas kemudian meyakinkan kaki melangkah ke kasir menyelesaikan apa
yang perlu dituntaskan. Di situlah titik kebahagiaan sekaligus ada kesedihan
tertentu yang teramat sukar dijabarkan.
Membaca hidup Pram sama dengan
mendaras tulisannya. Butuh ketabahan. Sepucuk surat dari ayah memulai
perjalanan pulang ke tanah kelahiran. Sejenak dibawa menelusuri ibu kota
Jakarta mencari pinjaman uang sebelum bertolak ke Blora, daerah tujuan.
Pram menceritakan ulang jejak yang
ditapaki dengan melankoli. Di dalam kereta bersama istri menuju ke Blora,
ingatan di masa lalu hadir ke permukaan. Di tempat tertentu, Pram melompat ke
masa ketika dirinya berjubel dengan pejuang lainnya memanggul senjata melawan
penjajah. Montase ingatan itu, mau tidak mamu membuat Pram semakin mengutuki
nasib yang kini dialaminya, mungkin, juga berlaku bagi ayahnya.
Sang Ayah terbaring kaku di ranjang
rumah sakit. Penyakit TBC menderanya dan tak kuasa melawan sekuat dulu ketika aktif mengajar
anak-anak di sekolah. Pram melakukan perjalanan pulang menjumpai kenangan dan
sisa pertaruhan ayahnya menjelang ajal.
Ini lukisan
tentang manusia yang menolak menyerah. Reputasi sebagai aktivis di era
penjajahan tidak membawa lelaki tua yang kini sebatas hidup di atas ranjang
rumah sakit. Berpindah sejenak di bale di rumahnya yang reot dimakan waktu
sebelum usia benar-benar ditutup.
Demokrasi
menjanjikan kemenangan juga pilihan yang sesungguhnya rudin. Pilihan yang telah
ditentukan. Pram sangsi sebab sistem demokrasi masih melemahkan yang lain yang
tidak berpunya.
Bukan Pasar Malam, roman intim lika
liku hubungan manusia dalam balutan keluarga, sahabat, dan orang-orang yang
melintas dalam tapak perjumpaan sesama manusia. Didedahkan perubahan sikap yang
mencolok. Ada kecintaan tinggi yang hanya dipahami sendiri. Tersimpan di dalam
dada dan, menjadi kebencian ketika yang lain tidak menangkap semangat yang
diimpikan.
Manusia memang memiliki sejarahnya
sendiri-sendiri. Diingat dan diceritakan kembali sesuai kadar persepsi. Siapa
yang mampu berpaling dari semuanya.
Sisa era pergolakan umat manusia
melawan umat manusia terus terjalin. Beberapa hal boleh saja tidak terlihat.
Namun, emosi tetap saja tak dapat menutupinya. Menggerakkan peristiwa masa
lampau dengan situasi yang tengah berlangsung walau sudah berjarak kelipatan
tahun.
Dengan liris penuh murka tanpa peta.
Pram menutup perjalanan pulangnya: “Dan
di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun
pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan
cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”
***
Maros-Makassar, 19 Februari 2016
Komentar