Aidit dalam Lipatan Waktu




Generasi yang lahir pasca tahun 1965, ialah rombongan manusia dengan sedikit bekal di ingatan mereka. Saya, dilahirkan di medio 80-an, mengalami puncak kekosongan itu. Berengseknya, di sekolah semuanya dimulai.

Di usia sekolah dasar. Dikampung, ketika pesawat televisi masihlah milik beberapa orang. Saya ingat, di sepotong malam, saya ikut menonton film di rumah tetangga. Kata anak tetangga itu, usianya berlipat beberapa tahun dengan saya, dengan penuh pemahaman karena telah menonton film tersebut setidaknya dua atau tiga kali di rentang sekali setahun, memberikan ucapan pengantar kalau film yang dimaksudkan sungguhlah menyeramkan.

Tentu saja saya mengamininya usai menonton film yang tak sanggup kutuntaskan itu karena emak saya keburu meminta segera pulang ke rumah karena sudah larut. Setelahnya, film itu tidak pernah kutonton hingga tuntas. Kadang, di tahun-tahun setelahnya, saya melewatkan karena tidak ada informasi mengenai jadwal pemuatarannya saban tahun di akhir September.

Dari penjelasan orang-orang yang menonton, semuanya sepakat dengan argumen sama. PKI pengkhianat dan Aidit adalah manusia yang menjelma setan di muka bumi. Saya percaya dengan pelajaran sejarah di sekolah. Di buku sejarah yang kubaca atau yang didiktekan guru untuk dicatat. Saya, sebagaimana teman-teman sekolah yang lain serentak menulis jawaban PKI jika ada soal berbunyi: Siapakah pembunuh tujuh Jenderal pada peristiwa 30 September 1965. Itu sudah dihafal mati sebagaimana bacaan salat di antara dua rakaat.

Apa yang tertulis maka terbacalah. Apa yang terbaca maka diingatlah. Apa yang diingat maka dianggaplah kebenaran. Begitulah pelajaran di sekolah. Saya bahagia di antara murid yang punya otak lemot karena tak kuasa menyimpan bacaan di ingatan mereka. Tidak ada perbedaan. Semua buku pelajaran sama berharganya. Semuanya suci sederajat dengan Alquran. Tidak ada keraguan lagi di dalamnya.

Di buku pelajaran sejarah lanjutan, memang ada hamparan fakta di balik pembacaan proklamasi. Soekarno dan Hatta diculik segerombolan pemuda. Kejadian itu diingat sebagai peristiwa Rengasdengklok. Mengapa diculik. Tidak ada penjelasan lanjut. Apakah gerombolan pemuda berani itu tidak memiliki nama. Tidak dituliskan sehingga tidak ada nama yang dapat diingat. Kalau pun ada, hanya beberapa saja dan dengan mudah dilupakan. Seolah pemuda tersebut sebatas penggembira saja. Tidak dianggap api dalam revolusi menuju kemerdekaan Republik Indonesia.

Ingatan di masa sekolah itu sedikit demi sedikit mengalami kontra pengetahun. Pasca reformasi, ada banyak bacaan yang menganggu ketenangan pola pikir yang tidak dijumpai di dalam gedung sekolah. Di masa sekolah menengah atas di Makassar, lokasi sekolah saya satu kompleks dengan gedung kuliah mahasiswa di kampus satu Universitas Muslim Indonesia di jalan Kakatua. Tidak jauh dari pintu gerbang sekolah, di halaman gedung perkuliahaan, terdapat toko buku di mana mahasiswa duduk berdiskusi. Kira-kira dari sanalah bermula bacaan berengsek itu.

Tetapi semuanya masihlah kepingan. Bukan pembahasan fokus. Jadi, sejak saat itu saya sebatas menemukan potongan dan tersimpan di benak sebagai peta buntu. Hari ini, penyebaran bacaan biadab itu semakin gencar. Bahkan sebuah majalah nasional membentuk tim periset dan disajikan secara reportoar. Di tahun 2007, edisi 7 Oktober. Majalah Tempo menurunkan liputan seri Orang Kiri di Indonesia, DN Aidit. Selanjutnya diterbitkan secara mandiri ke dalam bentuk buku. Sejak tahun 2010, edisi DN Aidit sudah naik cetak tiga kali hingga 2015.

Meski sudah ada buku mengupas sosok DN Aidit yang ditulis putrinya, Ibarruri Putri Alam, dua adiknya, Murad dan Sobron juga melakukan hal yang sama. Hanya saja, buku itu tidak pernah saya jumpai di toko buku di Makassar hingga kini. Praktis, seri buku Tempo inilah yang menjadi kotak pertama di mana saya bisa menyatukan kepingan bacaan di masa sekolah dulu menyangkut “si setan Aidit”.

On/Off, sebelumnya merupakan majalah yang terbit sekali sebulan dari Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) yang saya dapatkan di Yogyakarta di tahun 2003, selanjutnya terbit berwujud buku di tahun 2005, di edisi bertema keluarga, saya membaca catatan naratif Zen RS, Wangsa Aidit. Saya anggap, itu kepingan lumayan lengkap sebelum berjumpa dengan Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara, judul yang dipakai tim penulis Tempo.

DN Aidit yang diperkenalkan setan oleh rezim pemerintah Orde Baru, perlahan dikenal sebagai seutuhnya manusia. Bapak lima orang anak. Ibarruri, Ilya, Iwan, dan si kembar, Ilham dan Irfan. Juga diingat selaku penulis puisi (baca: bukan penyair) karena Amarzan Loebis, penanggung jawab seleksi pemuatan puisi di Harian Rakyat terbitan Minggu, pernah menolak memuat puisi DN Aidit. Padahal, Harian Rakyat milik PKI di mana Aidit bertindak selaku ketua. Oey Hay Djoen, malah menyebut puisi-puisi Aidit jelek dan miskin imajinasi.

Juga dicatat, kalau DN Aidit punya keterlibatan dalam rencana penculikan Soekarno-Hatta. Selaku junior di gerakan pemuda, ia dekat dengan Wikana, salah satu dedengkot gerakan pemuda di kala itu. Pahamlah juga kita, mengapa di film Pemberontakan G30S/PKI, arahan Arifin C Noer, sosok Aidit yang diperankan Syu’bah Asa, menampilkan sosok ketua PKI berusia 31 tahun itu merokok. Padahal, faktanya, DN Aidit tidak merokok di kehidupan sehari-harinya sebagaimana pengakuan Murad.

Achmad Aidit, nama lengkapnya sejak lahir di Belitung, Sumatera Selatan pada 30 Juli 1923. Di masa remaja dikenal pengumandang azan karena suaranya yang lantang. Sikapnya egaliter dan bergaul di segala lapisan masyarakat. Di kala itu keluarganya tergolong keturunan orang berada.

Murad, adiknya, menuturkan kalau pergaulan Aidit dengan buruh di perusahan timah milik Belanda di Belitung menjadi dasar pemahaman politik yang kelak dipilih setelah hijrah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah. Selama bersekolah di Batavia, Aidit yang jago bergaul sudah menunjukkan watak kepemimpinannya. Ia mengagitasi teman-temannya melakukan bolos massal agar bisa mengantar jenasah pahlawan MH Thamrin.

Sebagai anak rantau, kiriman uang dari ayah tak sepenuhnya menucukupi. Semakin ruwet ketika Murad ikut serta ke Batavia menempuh pendidikan tingkat lanjut. Untuk mengatur keuangan sendiri dan tidak melulu mengandalkan kiriman uang dari ayahnya, Abdullah Aidit. Aidit remaja mendirikan jasa biro iklan sekaligus toko buku bernama Antara.

Situasi ibu kota yang mencekam oleh pendudukan Jepang, Aidit tertarik dengan perkumpulan pemuda, ia kemudian bergabung di Persatuan Timur Muda (Pertimu) yang berafiliasi ke Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pimpinan Amir Sjarifuddin dan Dr Adenan Kapau Gani. Bermula dari aktivitas politik itulah, Aidit berani mengganti namanya menjadi DN Aidit. Motifnya, merupakan strategi politik agar asal usulnya tidak diketahui. Dikatakan kalau DN berarti Djafar Nawawi. Tetapi, sumber lain menyebutkan kalau DN merupakan penghormatan kepada Pangeran Dipenogoro dengan sebutan Dipa Nusantara. Perubahan nama itu tentu saja mendapat penolakan dari sang ayah. Surat menyurat dilakukan sebelum akhirnya, sang ayah, menyepakati jika sudah ada pengesahan dari notaris.

Lika liku aktivitas Aidit sehingga masuk di lingkungan PKI bermula di Menteng 31, gedung yang di zaman pendudukan Belanda merupakan hotel Schomper. Di sanalah Aidit memeroleh kuliah gerakan dari para senior. Seperti Bung Karno, Bung Hatta, hingga Ki Hajar Dewantara. Hatta menganguminya sebagai pemuda cerdas kemudian marah ketika mengetahuinya terlibat di PKI.

Di liputan bertajuk: Meminang Lewat Sepucuk Surat. Aidit sudah diperkenalkan sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI Solo. Di sini, Aidit bertanggung jawab pada terbitan Bintang Merah sebagai media partai. Di Solo pula, di usia 25 tahun, ia menikah dengan Soetanti, kelak menjadi dokter pertama di Indonesia yang menguasai keahlian akupuntur. Keduanya menikah berpenghulukan sesepuh PKI Solo, KH Raden Dasuki.

Tapak waktu yang dijejaki Aidit di bidang politik semakin menanjak. Di tahun 1948, dedengkot PKI, Musso kembali ke tanah air dari rantau politiknya di Moskow usai kegagalan pemberontakan PKI di tahun 1926.

Musso yang nyinyir pada proklamasi kemerdekaan 1945 membangun jalan oposisi menentang Soekarno, karibnya sendiri semasa berguru sama HOS Cokroaminoto. Puncaknya, peristiwa Madiun 1948 pecah. Pintu yang membuka kehancuran PKI lebih dalam. Musso termasuk Amir Sjarifuddin dan pemimpin teras PKI yang lain tewas di ujung bedil tentara. Aidit yang mengemban koordinator seksi perburuhan partai ikut ditangkap kemudian lepas karena belum terlalu dikenal.

Usai kejadian itu, selama dua tahun Aidit dikabarkan ke China. Namun,  itu hanyalah desas-desus yang dijalankan karena ia masihlah di tanah air. Dua tahun berselang, ia tampil kembali bersama Lukman dan Njoto menghidupakan PKI, mengambil alih dari tangan pengurus tua, Alimin dan Oey Hay Djoen. Trisula inilah yang membawa PKI hingga dikenal partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan China. Di Pemilu tahun 1955. PKI berhasil masuk empat besar setelah PNI, Masjumi, dan Nahdatul Ulama.

Sebagai sahabat, ketiganya tidak selamanya berjalan mulus. Aidit dan Njoto terlibat perselisihan pendapat dan gaya hidup. Aidit memarahi Njoto karena masih ingin menikahi seorang penerjemah dari Rusia bernama Rita padahal sudah beristri. Aidit di lingkungan PKI dikenal sebagai lelaki anti poligami. Atas dasar menjaga marwah partai, Njoto didepak dari Biro Agitasi dan pemimpin redaksi Harian Rakyat. Keduanya juga beda paham soal teori revolusi. PKI yang sudah memiliki basis massa namun minim pasukan tentara, masih dianggap kelemahan bagi Njoto jika ingin  melakukan kudeta berujung revolusi. Bagi Aidit, semua bisa dilakukan asalkan 30 persen tentara dikuasai.

Ada rahasia-rahasia yang dikembangkan Aidit tanpa diketahui oleh pemimpin PKI yang lain. Terbentuknya Biro Chusus yang dikendalikan Sjam Kamaruzaman, dianggap Sudisman sebagai badan illegal dalam PKI karena tidak adanya rapat-rapat mengenai pembentukannya. Semuanya ide sendiri seorang DN Aidit. Sjam sendiri tidak dikenal dengan akrab di lingkungan petinggi partai.

Jika kita mengajukan analisis, sebab Sjam dekat dengan petinggi militer, mungkin inilah strategi yang dijalankan Aidit untuk merebut pengaruh. Jika tidak bisa semuanya, paling tidak dapat menguasai militer 30 persen. PKI boleh menguasaai massa dan dekat dengan Soekarno, tetapi minus pengaruh ke tubuh PKI. Aidit mencibir dalam puisinya bertajuk Raja Naik Mahkota Kecil ketika Ahmad Yani, yang menurutnya jenderal bentukan Pentagon Amerika Serikat diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat menggantikan AH Nasution.

            Udara hari ini cerah benar
pemuda nyanyi nasakom bersatu
gelak tawa gadis remaja
mendengar si lalim naik takhta
tapi konon mahkotanya kecil

Ide Aidit membentuk kekuatan kelima dengan mempersenjatai petani dan buruh ditentang keras kalangan militer sehingga idenya gagal memengaruhi Soekarno.

Tapak hidup Aidit selaku Ketua Comite Central PKI dan Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS menemui akhir setelah tragedi di sisa malam 30 September. Di malam itu, Aidit masih menerima tamu, Hardoyo, eks Ketua Consentrasi Gerakam Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan beberapa tamu yang lain dari kalangan partai, pemimpin buruh, dan petani.

Setelahnya, masih di malam yang sama, tak lama setelah semua tamu pada pulang dan Aidit sudah hendak beristirahat. Ilham kecil yang belum lelap mendengar bunyi mobil parkir, selanjutnya pintu diketuk. Rupanya, masih ada tamu yang tersisa. Kali ini pasukan Cakrabirawa yang hendak menjemput Aidit. Istrinya, Soetanti, keberatan dengan itu, malah sempat adu mulut dengan Aidit. Tetapi, Aidit tetap berangkat karena menganggap permintaan Soekarno.

Soal penjemputan malam itu masihlah misteri. Ada banyak versi. Kesaksian Mayor Udara Sudjono di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), menerangkan kalau dirinyalah yang datang di malam itu dan bukan pasukan Cakrabirawa. Kemudian ia membawa Aidit ke rumah Sjam. Di sanalah Aidit mengecek ulang persiapan akhir Gerakan 30 September. Versi tertulis dalam surat Aidit yang ditujukan ke Soekarno tertanggal 6 Oktober 1965, malam itu dijemput Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet di Istana Negara. Keterangan ini masihlah sulit ditakar kadar kebenarannya. Ibarruri, menolak kalau ayahnya terlibat dalam rencana keji itu. “Sejarah hanyalah tafsiran,” pungkasnya. Yang jelas, kesaksisan keluarga Aidit, di malam Jumat Pahing 30 September itu, Aidit dijemput tentara. Itulah kali terakhir Soetanti dan Ilham yang belum tertidur melihat ayahnya.

Reportoar ini, tentulah tidak memberikan jawaban sahih terkait siapa dalang di balik pembunuhan tujuh jenderal. Sebagai karya jurnalistik, kupasannya juga tidak bertendensi layaknya riset sejarah. Namun, buku ini menyajikan cara pandang manusia terhadap manusia atas tapak waktu kehidupan yang dijalani Aidit.

Sjam, Kepala Biro Chusus PKI memang melakukan rapat penting sejak 6 September di rumahnya dan di kediaman Kolonel A Latief. Ironisnya, Latief tidak kenal dengan Aidit. Pembicaraan di rapat itu merancang strategi untuk menggagalkan kup Dewan Jenderal. Itulah isu yang membuat pimpinan PKI keblinger dan adanya kekuatan tidak benar dalam istilah Soekarno merespons tragedi 30 September yang disebutnya Gerakan Satu Oktober (Gestok).

Kesaksian Latief, gerakan 30 September yang hendak menjemput sejumlah Jenderal yang diduga tergabung dalam Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno dalam keadaan hidup. Sjam, di detik-detik terakhir sebelum pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Satu Dul Arief, anak buah Untung, hendak berangkat. Si Letnan ini mengajukan pertanyaan: “Bagaimana kalau para Jenderal menolak menghadap Presiden.” Dengan tegas, Sjam menjawab: “Para Jenderal ditangkap hidup atau mati.”

Barulah ke esokan harinya Kolonel Latief kaget mendengar laporan Letnan Arief mengenai terbunuhnya para Jenderal. Atas dasar itulah Latief menerangkan kalau gerakan ini diselewengkan oleh Sjam.

Aidit sebelum tertangkap pada 22 November 1965 di Desa Sambeng, Solo, Jawa Tengah. Membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Catatan kesaksian itu lalu jatuh di tangan Risuke Hayashi, koresponden koran Asahi Evening News, koran bahasa Inggris yang terbit di Jepang. Diterangkan oleh jurnalis itu kalau Aidit mengaku sebagai penanggung jawab.

Hal tersebut disangkal oleh Soebandrio, mantan Wakil Perdana Mentri era Soekarno. Justru menyesalkan pengakuan Sjam di pengadilan Militer yang tidak dilakukan cek ulang atas kesaksian kawan kerja rahasia Aidit tersebut. Mestinya pengadilan melakukan cek ke orang kunci seperti Soekarno, Aidit, Leimena, dan dirinya sendiri.

Soebandrio mencurigai kelompok bayangan Soeharto yang digerakkan Ali Moertopo, kelompok inilah yang mengalihkan isu untuk memukul PKI secara halus. Caranya, melakukan provokasi agar PKI segera menyerang Angkatan Darat. Sungguh sulit diterka. Njoto bahkan tidak tahu menahu mengenai adanya rencana PKI bernama Gerakan 30 September. Demikian pula sesepuh PKI, Oey Hay Djoen. Murad, tidak menutupi kalau PKI terlibat, tetapi bentuk keterlibatannya seperti apa. Ia sangsi.

Namun, begitulah, narasi seputar tragedi 30 September 1965 hingga kini masilah misteri. Kebenaran ada di pihak masing-masing dan sulit dipertemukan. Kolonel Yasir Hadibroto yang ditugasakan membereskan Aidit, hanya menerima seulas senyum dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto setelah melaporkan tugasnya sudah ia tunaikan. Berondongan peluru menutup tapak waktu Aidit di kompleks markas Batalion 444 di Boyolali. Sehari setelah ia diketemukan bersembunyi dalam lemari di sebuah rumah di Desa Sembeng. Jasadnya lalu dibuang ke dalam sumur.

***
Maros-Makassar, 12 Februari 2016

Komentar

Postingan Populer