Petualangan Humor Steinbeck
Tahun 2003,
Cannery Row, novel pertama Jhon Steinbeck yang kubaca dengan sangat pelan dan
membosankan hingga novel itu tidak kutuntaskan hingga sekarang. Tahun 2006,
kembali saya berusaha mengeja Tikus dan Manusia, juga novel Steinbeck, diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer. Novel ini tipis saja, tetapi membacanya
lebih dulu mendatangkan kejenuhan. Selain adanya sejumlah kosa kata salah
tulis, novel ini, sama dengan Cannery Row, membosankan. Nasibnya sama. Mendekam
di rak saja.
Dorongan
membaca Steinbeck didasarkan karena Pram mengagumi novelis asal Amerika Serikat
peraih Nobel Sastra 1962 itu. Begitulah genealogi membaca yang selama ini kuamini.
Jika ada penulis yang kukagumi dan membicarakan penulis lain. Segera saja
mencari karya penulis yang dimaksud.
Secara
garis besar, melalui lalu lintas
perbincangan karya Steinbeck, Dataran Tortilla ditempatkan sebagai karya
agungnya. Karena belum pernah menuntaskan Steinbeck, saya mengikuti arus
informasi dan memulai pembacaan atas novel tersebut.
Sejak mula,
sebagaimana pembacaan tidak tuntas dua novel sebelumnya. Steinbeck selalu
bercerita tentang petualangan orang-orang kecil. Dataran Tortilla, kisah enam
sahabat: Danny, Pilon, Pablo, Big Joe Portugis, Jesus Maria, dan Bajak Laut menjadi
penuntun kisah dalam menelusuri tingkah hidup mereka.
Bagi kita yang
sudah terbiasa dengan dialog dalam sejumlah film Amerika, pastilah langsung
akrab dengan pola dialog antar tokoh di novel ini. Dan, itu mengantar kita
tertawa atau tersenyum dengan alur
logika yang sudah bisa ditebak.
Bukan hanya
dialog, narator sudah menunjukkan humor itu. Mari simak:
……Danny dan kawan-kawan
disuruh belajar di depan meja. Segala ujian mereka lalui dengan gemilang,
kecuali ujian untuk membuktikan bahwa mereka tidak mabuk…….
Dataran
Tortilla terbit pertama kali di tahun 1953. Situasi yang tergambarkan merekam
gejolak sosial di era itu. Lalu apa pertimbangan jika karya ini dibaca di era
sekarang. Saya kira, sudah banyak situasi tidak sesuai. Namun, membaca novel
bukan untuk memperoleh komparasi itu. Pilon yang cerdik, banyak tahu, memiliki
aura kepemimpinan, sekaligus tega menipu temannya sendiri, adalah watak yang
masih dijumpai di sekitar kita.
Steinbeck telah
menyebutkan kalau kisah ini merupakan petualangan Danny dan kawan-kawannya.
Tetapi, kita menemukan kalau Pilonlah yang selangkah lebih maju menceritakan
sesuatu. Meski brengsek dan pemberani, di lubuk hati terdalamnya ia masih memerlukan kekuatan agama untuk berlindung.
Menggantungkan kelemahannya pada kekuatan eksternal.
Di suatu malam
yang dikenal malam St. Andrew, bersama
Big Joe, Pilon yang juga idealis dan rasionalis, turut juga dengan ajakan
kawannnya lemah otak itu memasuki hutan mencari harta karun orang-orang
terdahulu yang ditanam di hutan. Berdasarkan mitos di Dataran Tortilla, di
malam St. Andrew, petunjuk mengenai letak harta karun akan muncul berupa sinar
lembut berwarna biru dari tanah.
Atas segala
pengetahuan yang dikuasai Pilon, sinar lembut itu harus dijaga dengan tanda
salib. Dengan susah payah, Big Joe mematahkan dahan pohon pinus yang kemudian
dijadilan salib oleh Pilon untuk melindungi agar arwah pemilik harta karun itu
tidak berani mendekat. Penemuan spektakuler malam itu ditutup dengan begadang
hingga fajar menyingsing demi menjaga letak harta karun.
Big Joe
mengamini petuah Pilon kalau kegiatan menggali akan dilakukan malam berikutnya.
Logikanya sederhana, malam St. Andrew sudah lewat dan para arwah tidak lagi
bergentanyangan. Lalu tibalah waktu memastikan kalau di dalam tanah itu terdapat
harta karun yang didamba. Pilon memandu, tepatnya memerintahkan Big Joe seorang
diri melakukan penggalian. Impian membayar uang sewa rumahnya ke kawannya,
Danny, menjadi tujuan utama.
Big Joe kecewa
dengan sikap suci Pilon kali ini. Ia tidak percaya kalau tidak secuil pun harta
karun akan diambilnya untuk membeli segalon anggur. Namun, Big Joe yang lemah
otak, akhirnya tetap menempatkan Pilon sebagai manusia yang tidak pernah salah
meski Pilon sudah berterus terang. Nyatanya kemudian, bukanlah harta karun yang
ditemukan melainkan beton pembatas yang sudah lama tertanam. Pilon sungguh
kecewa.
Para tokoh
yang hidup di lingkungan yang sama mewarisi karakter gen masing-masing yang
berdarah campuran. Mulai dari Meksiko,
Indian, Spanyol, dan Kaukasia. Paisanos, itulah sebutan mereka. Hidup di
Tortilla dimulai ketika Danny pulang dari dinas ketenteraan dalam perang
melawan Jerman. Ia menerima dua rumah warisan dari kakeknya yang telah mangkat.
Selaku sahabat, satu rumah diberikannya kepada Pilon untuk ditinggali. Di antaranya
tidak terjadi kesepakatan tegas apakah Danny menyewakan rumah itu untuk
karibnya. Sedangkan bagi Pilon, sedikit banyaknya mengalami tekanan walau
kesepaktan itu tidak ada. Tetap saja ia merasa perlu membayar uang sewa walau
tidak pernah ditunaikan.
Dari keduanya
terjalin hubungan persahabatan yang rumit. Mereka kadang berkelahi begitu
sengit sebagaimana sempurnanya bila mereka minum anggur hingga mabuk bersama.
Watak keras,
licik, penuh pertimbangan menyelimuti kehidupan mereka. Hubungan antar mereka
sebagai sahabat juga tidak sama antara Pilon dengan Big Joe, Danny dengan Bajak
Laut, Jesus Maria dengan Pablo dan sebaliknya di antara mereka berenam. Namun
satu hal, mereka kawan setia termasuk dengan kawan mereka yang lain, Johnny Pom
Pom dan Tito Ralp.
Bukti kesetiaan
itu ditunjukkan ketika Danny dijangkiti penyakit yang membuatnya bertingkah
layaknya orang gila betulan. Ia mencuri di rumahnya sendiri yang membuat
sahabatnya bingung. Jangankan Pilon, si baik hati, Jesus Maria pun naik pitam
dibuatnya. Dalam kegilaannya, Danny telah menjual rumahnya ke Torrelli, penjual
anggur yang selalu menjadi sasaran pencurian Pilon. Bermula dari uang hasil
menjual rumahnya itu, Danny melakukan petualangan seorang diri sebelum kemudian
kembali disadarkan oleh sahabatnya.
Sebagai
sambutan, sebuah pesta yang dikenal pesta Danny, diselenggerakan. Semua
penduduk Tortilla menghadiri pesta itu. Nahas bagi Danny, itulah pesta
perpisahannya. Ia minum banyak sekali yang membuatnya mabuk berat. Semua orang
ditantang berkelahi. Karena tidak ada yang berani, Danny, dilukiskan telah
menjelma raksasa, tubuhnya bertambah besar. Ia berlalu ke belakang rumahnya.
Rupanya ia telah terjatuh ke jurang. Itulah proses Danny tewas.
Di sepanjang
kisah mereka, Steinbeck, menurut saya, memilih Pilon selaku penutur humor sarkastik
di segala kondisi dan situasi. Meski dari Danny yang menjadi ihkwal petualangan
gila mereka.
Ketika Danny
sudah mati, humor tidak berhenti. “Kematian
adalah suatu persoalan pribadi…” kalimat pembuka di bab terakhir ini
membawa Pilon, Pablo, Big Joe, Jesus Maria, dan Bajak Laut mengalami situasi
sulit. Karena tidak memiliki setelan jas lengkap. Mereka tidak dapat mengikuti
upacara pemakaman Danny yang diselenggarakan secara militer.
Mereka hanya
menyaksikan pemakaman Danny di balik rerumputan yang tinggi. Setelah usai.
Pilon merasa perlu melakukan perayaan akhir ala mereka guna menghormati Danny.
“Betapa pun,
mereka terpaksa melewati rumah Torrelli. Pilon masuk lewat salah sebuah jendela
rumah itu, dan keluar dengan membawa dua galon anggur…”
Dengan dua
galon anggur itu, mereka menunaikan hajatan sambil mengingat kembali sosok
Danny yang dikenalnya kuat, tidak menyukai lagu sedih, dan senang dengan
perempuan. Tito Ralp datang bergabung membawa cerutu, ia lalu memainkan gitar
atas pintah Pilon untuk mengiiringi mereka bernyanyi.
Sisa korek
yang dinyalakan Pilon untuk cerutunya dilempar begitu saja yang menimpa
selembar koran tua yang tersandar di dinding rumah. Koran tentu saja menyala.
Sadar akan bahaya, semua bergegas bangkit. Dan, aha! Mereka memperoleh ilham.
Tanpa komando mereka mudur dan saling memandang tidak jelas.
Tidak lama
berselang, orang-orang berdatangan untuk melihat kobaran api yang melumat rumah
Danny. Rumah yang menjadi markas keenam sahabat itu merancang petualangan. Tatapan
terakhir mereka lalukan setelah melihat tumpukan abu rumah Danny. Selanjutnya
mereka berpaling meninggalkan lokasi. Berjalan menuju petualangannya
masing-masing. Cerita selesai.
***
Maros, 10
Januari 2016
Komentar