Asumsi Pelabelan Religiositas





Sesungguhnya ini persoalan klise. Perihal penyebutan religiositas terhadap sesuatu yang memiliki kaitan dengan sikap sumarah, tetapi itu hanya pseudo. meski demikian, amatlah pelik, sebab menyangkut dan berpengaruh pada jalan pembangunan konstruksi cara pandang.

Ditengahi menyangkut kehadiran kata-kata yang digunakan dalam keseharian berkomunikasi. Kita baru fasih menggunakan sebuah kosa kata baru bila itu didapat dari produksi massal, maksud saya, bunyi kata didengar dari bentuk komunikasi massa. Di sini, lirik sebuah tembang, salah satu yang memiliki andil kuat. Sebutan religi menjadi tema yang demikian bukanlah hal baru di dunia musik dalam negeri.

Namun, dahulu, di awal kemunculannya tidak dikenal dengan pelabelan religiositas. Lagu agama, itulah namanya. Tersebutlah sejumlah kelompok musik kasidah yang menampilkan perempuan berjilbab. Semacam girl band, istilahnya sekarang ini. Kehadiran merekalah yang menjadikan gelombang musik bertema seru agama bergemuruh di kemudian hari. Meski, di sisi lain, grup musik dangdut, Soneta yang dibentuk Rhoma Irama, di beberapa tembangnya juga bermuatan materi serupa.

Kita juga mengenal kehadiran Bimbo. Diingatlah grup ini menjadi bagian bentuk baru musik bernafas pesan keagamaan. Juga, patut dicatat Ebiet G Ade, terdapat sejumlah tembangnya berseru mengenai pemikiran ulang mengenai esensi kehidupan.

Padanya, penyebutan contoh di atas, kita belumlah akrab dengan label musik religiositas. Barulah di tahun 2007 ketika band Ungu melantunkan tembang berlirik bahasa agama Islam, ungkapan musik religi mulai ramai diucapkan. Setelahnya, beberapa band tidak mau ketinggalan memproduksi tembang yang sama.

Sebelum grup musik beraliran pop terlibat penggarapan tembang demikian. Lebih awal sudah ada Haddad Alwi dan beberapa grup vokal. Raihan dari Malaysia, contoh fenomenal mengusung musik dengan tema agama. Ramailah musik religi dilabelkan pada siapa pun, baik grup maupun individu yang menyanyikan tembang berlirik bahasa agama. Dari dalam negeri, ada juga Opik tampil seorang diri untuk urusan seperti ini.

Lantas! Di mana letak kasus peliknya. Penggunaan kata religiositas. Persis di situlah yang menjadi titik perbincangan. Menyangkut pelabelan musik religi yang disangkakan. Jika menelaah lirik dari tembang yang dilantunkan. Kita tidak menemukan makna baru selain terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Begitupun dengan teks tembang lainnya yang sebatas melagukan agar enak didengar.

Sumber teks yang diolah menjadi lirik bertaut dengan isi khotbah yang sering didengar ataupun merujuk pada terjemahan dari Alquran maupun Hadis. Sehingga tidak menawarkan pemaknaan baru atas ajaran agama karena itu memang sudah menjadi bahasa agama.

Pelabelan religiositas juga merambah ke wilayah sastra. Beberapa novel berbau agama merasa perlu ditambahkan keterangan tambahan keterangan religi, meski muatannya hanya mengulas pesan agama yang memang sudah diketahui dari sumber Alquran. Lebih tepat jika disebut saja buku agama menggunakan media novel tanpa menegaskan kalau itu novel religiositas.

Merujuk pada Kamus Latin yang disusun Drs K Prent CM bersama Drs J Adisubrata dan WJS Poerwadarmita. Religiositas berasal dari bahasa Latin, relego, yang artinya merenungkan atau menimbang-nimbang. Jadi, bila lafas Bisimillahi Rohmani Rohim dilantunkan ke dalam satu tembang dengan melagukan terjemahannya: Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih dan Pemurah. Konteksnya masihlah bahasa agama dan bukan anasir religiositas. Perlu memang tafsir atas muatan di balik makna teks Basmalah tersebut agar berasumsi telah memikirkan (merenungkan) hakikat daripadanya.

“Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim. Suatu lagu yang berkualitas religius, seperti Tuhan ciptaan Trio Bimbo, dengan penuh haru dinyanyikan, baik oleh orang Muslim maupun Kristen.” Tulis YB Mangunwijaya dalam bukunya, Sastra dan Religiositas.

Asumsi menyangkut religiositas dicirikan dengan pandangan mendalam melampaui formalitas hukum agama. Bukan menegaskan jarak penganut agama yang satu dengan yang lain. Realitas yang seringkali dijumpai, menunjukkan penganut agama berusaha menjauhkan diri dari pergaulan sosial karena perbedaan agama. Di lingkungan kita masih sering didengar agar tidak berteman dengan seseorang  yang menganut agama berbeda. Ini sudah bukan nasihat dan lebih menjurus pada kecurigaan yang dapat memupuk kebencian.

Pada dasarnya situasi keberagamaan yang dihidupi masihlah berkutat pada persoalan formal. Kita belum beranjak dari situasi demikian yang umumnya menjadi cerminan dari pemahaman atas agama. Di titik itu, saya kira, kita belum menjalani pengalaman religiositas dalam kehidupan.

Agama tentu menjadi jalan menuju religiositas sehingga agama bukan berarti religiositas itu sendiri. Penyair, Abdul Hadi WM, melalui pengantarnya di buku Matsnawi karya Jalaluddin Rumi menuliskan seperti ini: “Bahkan seorang Rumi pun insaf bahwa ternyata ilmu syariat, fiqih, dan ilmu mantiq yang diajarkan kepada muridnya. Tidak lebih sebagai sarana belaka yang bisa saja melahirkan kebaikan atau keburukan.”

***
Pangkep-Maros, 7 September 2007



Komentar

Postingan Populer