Miraj Demokrasi
Demokrasi tidak membutuhkan lagi
momentum. Perjalanan waktu telah mencatat lebih dari apa yang dibutuhkan
manusia di setiap periode zaman di mana demokrasi dijalankan. Di negeri ini,
demokrasi menjadi kosa kata apa saja. Sesuai siapa dan kebutuhan di mana ia
disuarakan.
Demokrasi turun drastis. Dirental oleh
mereka yang sanggup membayar lebih. Rendah sekali. Seperti tak pernah melampaui
hakikat yang hendak dicapai. Meski demikian, demokrasi tak kunjung dimatikan. Muruahnya
saja diamputasi selaku sistem pemerintahan yang dapat menjadi ruang bersama.
Menilik peristiwa situasi tata kelola
wilayah di masa lalu sebelum negara kesatuan ini diproklamirkan. Ditandai
dengan daulat kerajaan yang dalam praktiknya tetap mengedepankan asas
musyawarah.
Pembumian ide
dan nilai demokrasi di Sulawesi Selatan di era kerajaan di masa lalu, misalnya, dalam
Sulesana, Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan
Lokal, Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa melalui perjanjian to
manurung dengan pemimpin kaum di kerajaan Bone, Gowa, Soppeng, Luwu, dan
lainnya. Juga bisa dijumpai melalui cerita rakyat, puisi (paseng) dan lirik tembang (kelong)
rakyat, maupun pemikiran para to acca (cendekiawan).
Muatan
perjanjian itu melahirkan pemufakatan mengenai batas hak, wewenang, tanggung
jawab serta kewajiban raja dan rakyat. Bila dalam kesepakatan terjadi
pengingkaran yang dilakukan raja. Maka sesuai panggadereng (tata nilai). Rakyat berhak menempuh tiga pilihan.
Pertama, menurunkan dari jabatan (palessoi).
Kedua, Hilangkan dari pijakan di bumi atau dibunuh (unoi). Ketiga, sepelekan atau tinggalkan (salaiwi).
Sangat jelas
dalam sistem ini mengandung nilai demokrasi dan aksi demokratik yang
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Aturan konstitusional
ini ditegaskan dalam ungkapan: Luka taro
arung (Batal
ketetapan raja). Telluka taro adek (Tak batal
ketetapan adat). Luka taro adek (Batal ketetapan adat). Telluka
taro anang (Tak batal ketetapan kaum). Luka
taro anang (Batal ketetapan golongan). Telluka taro
to maega (Tak batal ketetapan orang rakyat).
Jelaslah, demokrasi itu dinamis dan
tidak melulu menjadi sajadah suci para elite yang mementingkan golongan.
Mengaitkan dengan situasi kerajaan di masa lalu, saya sepakat kalau tata nilai
yang mengedepankan kepentingan orang banyak hanyalah persoalan kosa kata saja.
Demokrasi tentu muasalnya dari bahasa Yunani, tetapi praktiknya sudah ada di
setiap wilayah dengan konteks yang berbeda.
Sebab inilah mengapa demokrasi menjadi
pertaruhan. Ketika sudah menyangkut perlengkapan kekuasaan. Kadang, demokrasi
menjadi mantel. Digunakan untuk melindungi saja dan bukan sebagai media
mengantisipasi.
Kita saksikan pertarungan orang-orang
di partai politik selaku salah satu elemen dalam membangun demokrasi itu.
Tetapi, coraknya sangatlah bengis, benturan yang terjadi menunjukkan kalau
orang-orang tersebut mengedepankan syahwat kekuasaan.
Benar, jika kekuasaan perlu direbut untuk
ditransformasikan menjadi seni merancang kepentingan semua golongan. Hanya
saja, praktik perebutan kuasa yang nampak di depan mata kita yang dipertontonkan
oleh mereka di beberapa partai politik justru menjungkirbalikan hakikat demokrasi.
Kenaikan
Dalam kalender ingatan di petak narasi
peristiwa yang pernah berjejak, Mei menjadi kumpulan refleksi. Di awal bulan, 1
Mei menandakan tumpukan perjuangan para buruh di dunia. Esoknya, menghormati
hari pendidikan nasional.
Belum selesai, 20 Mei ditetapkan
sebagai strategi nasional dalam merangkum ingatan perjuangan kebangkitan. Meski
bukan satu-satunya, perkumpulan Boedi Oetomo (BO) dicanangkan sebagai tonggak
kebangkitan. Esoknya lagi,
berselang abad, 21 Mei merupakan titik mundurnya Soeharto di tahun 1998.
Di ranah agama, Mei di tahun ini mentasbihkan perayaan dua kenaikan.
14 Mei untuk meresapi kenaikan Isa Almasih dan 16 Mei menghayati kenaikan
Muhammad SAW (Isra Miraj). Dua agama bersumber dari monotoisme Ibrahim as ini
menghamparkan darasan kehidupan yang perlu dibaca ulang.
Begitulah sekiranya, miraj, dari bahasa Arab yang berarti
naik. Seyogianya menjadi gelitik bagi kita semua dalam menghayati kembali
perjalanan yang pernah dilalui. Rentetan peristiwa refleksi yang telah
disebutkan menjadi kembali titik refleksi.
Memaknainya dalam situasi perkembangan
demokrasi, sudah perlu pula terjadi miraj.
Bahwa demokrasi sudah sangat miskin makna dan kehilangan panutan pada
orang-orang yang bergulat di dalamnya.
Sebutlah reformasi sebagai miraj demokrasi yang pernah dilalui.
Kini, setelah tujuh belas tahun. Dan, di tengah perjalanan semester pertama
pemerintahan Jokowi-JK. Miraj demokrasi perlu kembali ditapaki. Mengaitkan
hubungan langit (muruah) dengan bumi (aksi).
***
Pangkep-Makassar, 22 Mei 2015
Komentar