Teologi Demokrasi






Demokrasi tak pernah selesai, dan memang bukan perjalanan menuju akhir. Sebatas menjadi jalur tanpa ujung bagi pejalan dari ragam latar yang melaluinya. Di antaranya, menjadikannya suluh karena keyakinan rasional. Ada pula melaluinya semata dorongan kekuasaan.

Esensi demokrasi dibungkus beragam warna berdasar latar orang-orang yang bergelut di dalamnya. Begitulah, sehingga demokrasi muncul sebagai pengakuan sekaligus momok.  Menjadi perisai kepentingan dan hantu bagi mereka yang tak punya lagi kuasa setelah pemilihan usai.

Demokrasi kehilangan legitimasi selaku tata kelola hidup orang banyak. Terpasung di kubangan kepentingan, yang sialnya, bukan usaha bertarung memperbaiki tatanan usang. Setelah riuh parlemen pusat yang terkotak di dua kubu. Korupsi, lagi-lagi menjadi tren isu yang menuntut perhatian walau muaranya bukan lagi hal baru.

Tetapi begitulah, sesuatu yang tertutup akan menggemparkan ketika terkuak. Serupa seks yang ditabukan. Perselingkuhan pejabat misalnya, seketika menjadi kabar yang sayang jika dilewatkan. Persebaran informasi memiliki banyak hulu karenanya yang mematahkan nalar para pengkonsumsi.

Sebenarnya, demokrasi yang dikaburkan perilaku koruptif bukanlah perbandingan. Tidak adil jika ruang berpendapat dijadikan tumbal. Bukankah sejak mula demokrasi merupakan proses penyaringan itu sendiri. Jika ada pecundang melenggang di dalamnya, perlu dipertanyakan di pintu mana ia mulai melangkah. Di titik itulah sebab masalahnya.

Demokrasi menjadi baik-baik saja apabila terpahami inti yang hendak dijalankan. Anggaplah proses pemilihan kepala dusun sebagai contoh. Euforia akan terlihat dari mereka yang menawarkan diri mengampuh jabatan. Sebelum seleksi formal berjalan melalui penyaluran suara. Di depannya tentu ada desas-desus suara warga. Segala ingatan yang mengendap di benak mendesak keluar menjadi pengantar. Itulah pertanyaan paling mendasar sekaligus protes warga menyangkut bakal calon.

Perhelatan suksesi menyangkut hajat hidup orang banyak mengundang banyak sudut pandang. Jangankan ingatan orang yang masih hidup, kesaksian orang yang telah mangkat pun dihadirkan. Bahwa Si A di masa hidupnya, telah menceritakan perilaku bejat bakal calon kepala dusun itu, umpamanya. Hal ini bisa menjadi dasar negasi bagi yang bersangkutan. Kasus seperti ini memiliki peluang terwujud.

Itu baru di tingkat rendah. Bagaimana di level tertinggi. Gemparnya tentulah lebih besar. Inilah yang sedang dirasakan. Ekses proses pengusulan kepala lembaga penegak hukum menjadi prolog yang membenturkan lembaga yang lain. Kita menyimpan ingatan mengenai mafhumnya lembaga tersebut. Institusi yang memiliki legalitas formal dalam memberikan cap baik atau buruk bagi seseorang. Rupanya, di dalam tubuhnya sendiri mengandung kontradiksi. Ini bukan yang pertama, sejak dahulu pun sudah ada, setelah zaman berputar barulah dapat dicecap.

Mulanya mengundang keheranan, setelah berulang-ulang, perlahan menjadi mubazir. Itu bukan lagi rahasia melainkan sempurnanya kelicikan, angkuh, dan semakin menunjukkan kepandiran selaku pejabat negara karena bertahan setelah publik menatapnya berkali-kali.

Pada posisi demikian, demokrasi tertahan di tengah sebuah perempatan jalan. Menjadi tontonan tanpa henti dan kehilangan legitimasi juga ruang membela diri. Sebab hukum yang seyogianya menjadi pengingat telah melacurkan dirinya sendiri. Seolah keadilan tak membutuhkan nurani. Sungguh cerminan hipokrit.

Hasilnya, demokrasi tak hanya kehilangan pesona. Ungkapan: seburuk-buruknya pilihan jika disepakati banyak orang, itulah yang terbaik. Menemukan momentumnya kembali. Sulit menerimanya, sebab berjibun suara di titik tertentu bukanlah esensi demokrasi. Slogan purba: suara rakyat suara Tuhan menunjukkan adanya epistemologi teologis dalam demokrasi. Sebab berdemokrasi di negeri yang menghormarti suara rakyat di proses suksesi, berarti mengikutsertakan Tuhan di dalamnya.

Tuhan tak pernah benar-benar mati di lingkungan manusia, dongeng kematian itu hanyalah kedongkolan filsuf, Friedrich Nietzsche. Dengarlah kembali, gema suara rakyat suara Tuhan sudah melebihi kedudukannya sebagai slogan, tetapi sudah menjadi doa. Begitulah saya kira, demokrasi mengandung pemaknaan teologis. Jika tidak, suara rakyat sudah mati sesaat setelah pemilihan.

Ini menjadi pegangan penting oleh mereka yang memperoleh mandat. Utamanya di titik pusat eksekutif dalam menyikapi pembajakan demokrasi oleh kekuatan golongan di lingkungan infrastruktur kekuasaan yang lain.

Dicirikan wataknya yang longgar, jalur demokrasi senantiasa dilintasi beragam latar sehingga jalannya menjadi ramai. Itulah mengapa demokrasi mampu membumi dan berkawan, bahkan kawin mawin dengan kebudayaan di mana ia tumbuh. Anwar Ibrahim melalui kumpulan esainya, Sulesana, mengingatkan kembali pesan teologi demokrasi kaitannya dengan suara rakyat.

Muatan perjanjian itu melahirkan pemufakatan mengenai batas hak, wewenang, tanggung jawab serta kewajiban raja dan rakyat. Bila dalam kesepakatan terjadi pengingkaran yang dilakukan raja. Maka sesuai panggadereng (tata nilai). Rakyat berhak menempuh tiga pilihan. Pertama, menurunkan dari jabatan (palessoi). Kedua, Hilangkan dari pijakan di bumi atau dibunuh (unoi). Ketiga, sepelekan atau tinggalkan (salaiwi). Sangat jelas dalam sistem ini mengandung nilai demokrasi dan aksi demokratik yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Aturan konstitusional ini ditegaskan dalam ungkapan: luka taro arung (batal ketetapan raja), telluka taro adek (tak batal ketetapan adat), luka taro adek (batal ketetapan adat), telluka taro anang (tak batal ketetapan kaum), luka taro anang (batal ketetapan kaum), telluka taro to maega (tak batal ketetapan orang rakyat).

***
Pangkep-Makassar, 17 Februari 2015



Komentar

Postingan Populer