Seratus Hari Kesunyian






Sebenarnya tidak benar-benar sunyi, justru riuh. Usai pelantikan pada 20 Oktober 2014 lalu, Selasa, 27 Januari 2015, genap sudah seratus hari kepemimpinan Jokowi-JK.

Enam hari setelah pelantikan, 26 Oktober 2014, diumumkanlah Kabinet Kerja berisi 34 Kementerian. Kegaduhan mulai mengiringi seiring kemunculan sosok lama maupun baru di pos Kementerian. Paling banyak mengundang tanggapan, kehadiran Susi Pudjiastuti, tamatan sekolah menengah pertama yang dipercaya mengampuh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Begitupun sosok menteri yang lain. Sebutlah pembagian urusan pendidikan. Anies Baswedan mengurusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Puan Maharani menjabat kementerian baru, Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Penggunaan kata kebudayaan di dua kementerian inilah yang memantik lahirnya wacana.

Sebab apa kebudayaan dipisahkan dari proses pendidikan dan pembangunan manusia. Lagi pula, konsep manusia macam apa yang hendak dibangun. Daoed Joesoef, dalam opininya bertajuk, Pendidikan dan Kebudayaan, tayang di Kompas pada 7 November 2014. Mengungkapkan kekecewaan karena terjadi pemilahan urusan kebudayaan dan pendidikan. Jadi, dalam mengurus pendidikan tinggi, dibentuk lagi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.   

Walau kementerian ini bukanlah hal baru, karena muasalnya sudah ada sejak tahun 1962 yang dinamai Kementerian Urusan Riset Nasional. Dalam pemaparan Daoed Joesoef, tetap saja keliru. Karena di pendidikan tinggi terdapat Fakultas Ilmu budaya, Seni Rupa, dan turunannya. Letak masalahnya, akan menginduk ke mana.

Namun, keputusan telah ditetapkan. 34 Kementerian diharapkan segera bekerja. Selanjutnya sorotan mengarah ke masing-masing kementerian. Sejak mula sudah terlihat, sepak terjang menteri Susi yang kembali mengundang riuh respons, apalagi setelah ditenggelamkannya kapal nelayan asing yang sejak dahulu merajai perairan nusantara.

Anies Baswedan juga demikian, menghentikan kurikulum 2013 (K13) yang oleh menteri sebelumnya dianggap penemuan terpenting. Eh, digugurkan penerapannya karena secara filosofis rumusan K13 tersebut mengandung pertentangan di dalamnya. Dampaknya, dari daerah bermunculan tanggapan mendukung dan menolak keputusan tersebut. Jangan lupa, di tangan menteri Anies pula kesakralan jika tidak disebut keangkeran ujian nasional (UN) dijinakkan. Ini tentu keberanian mengingat Jusuf Kalla pendukung penuh tahapan ujian ini.

Memasuki 29 hari kerja, Senin 17 November 2014, presiden mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sejak isu ini berhembus, kegaduhan nampak. Protes mahasiswa melalui demonstrasi di sejumlah daerah jelas menolak keputusan tersebut. Di Makassar malah menelan korban nyawa.

Kemunculan Jokowi seolah menegaskan kalau demokrasi begitu ramai. Bukan hanya di proses pemilihan hingga pelantikan. Setelahnya pun tetap ramai hingga masa seratus hari kerja. Banyak peristiwa terjadi mengiringi titian hari berganti, termasuk pengumuman diturunkannya kembali harga BBM. Apa boleh buat. Melejitnya harga pangan, angkutan umum, sewa indekos di perkotaan, dan lain sebagainya akibat mengekor kenaikan BBM yang dinaikkan sebelumnya, ogah mengikuti turunnya harga minyak.

Kamis, 20 November 2014. Publik kembali berteriak di dunia nyata maupun di dunia maya. Pelantikan fungsionaris partai Nasdem, HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung dinilai akibat kartel politik partai pendukung. Jokowi bergeming, mungkin tersandera. Terlepas kemudian yang bersangkutan mengundurkan diri dari keanggotaan partai. Ingatlah, Akil Mochtar juga sudah mundur dari Golkar sebelum menjabat ketua MK.

Paling gres, tentu saja rekomendasi presiden ke DPR mengenai usulan Kapolri baru, Budi Gunawan, yang sialnya, oleh KPK ditetapkan selaku tersangka. Lucunya, DPR tetap menggelar uji kelayakan dan kepatutuan.

Sungguh kegaduhan tiada tara. Jika ada kesunyian, ruangnya ada di hati paling dalam presiden Jokowi dan wapres, Jusuf Kalla. Juga barangkalai di hati kita yang memiliki perkiraan meleset.

Gabriel Garcia Marquez, menggubah novel berjudul Seratus Tahun Kesunyian, waktu yang begitu lama mengiringi konflik dalam keluarga Jose Arcadio Buendia. Mengalami kesunyian setelah menghabisi nyawa Prudencio Aguilar yang mengejeknya impoten. Sedangkan Jokowi, tak perlu menunggu satu abad mencipta kesunyian di dalam dirinya sendiri.

Kehadiran kawan duel di Pilpres lalu, Prabowo bertandang ke Istana Bogor pada Kamis (29/1). Keriuhan kembali menyentak. Publik menduga-duga, apakah Prabowo datang menghibur atau menawarkan sesuatu. Semoga saja Jokowi tidak diajak mengungsi ke Macondo guna menenangkan diri dari kegaduhan yang ditimbulkan. Harapan kita, Jokowi tetap di tempat dan berani melawan kartel politik yang mengepungnya.

***
Pangkep-Makassar, 30 Januari 2015



Komentar

Postingan Populer