Orang Tua dan Anak-Anak Peliharaan Kuntowijoyo









“Jangan mengaku muslim jika belum membaca buku ini!” Ucap seroang kawan di tahun 2004 yang terus kuingat. Di tangannya tergenggam buku berjudul Muslim Tanpa Masjid. Beberapa kawan lain berebutan ingin membacanya. Namun, sang pemilik enggan meminjamkannya. “Silakan beli sendiri, harganya cuma dua puluh lima ribu rupiah.”

Hingga kini, buku itu belum juga kumiliki. Di sepanjang hari-hari terlewati, buku itu tak menarik untuk kubeli. Saya melewatinya saja di toko buku dan memilih buku yang lain. Kuntowijoyo, nama ini tak membawa saya pada sosok pemikir, meski dalam ruang diskusi banyak kawan menjadikannya referensi. Justru, Jakob Sumardjo yang mendesak untuk dibaca.

Kawan yang memproklamirkan buku itu pernah lengah. Mengantuk dan terlelap di masjid usai menunaikan salat zuhur. Buku yang dibanggakannya itu tentu saja tergeletak di sampingya. Sempat ada niat mencurinya, tetapi kubatalkan. Saat itulah saya mencoba membuka halaman dan membaca reviuw di sampul belakang. Kuntowijoyo, rupanya dikenal luas sebagai sejarawan, tokoh Muhammadiyah, esais, juga seorang mubalig.

Namun, penjelasan itu belum membuatku tertarik. Sosok Jalalluddin Rakhmat sepertinya sudah lengkap jika ingin memperoleh pandangan keagamaan alternatif. Lagi pula, di tahun-tahun itu Amien Rais sedang bergumul dengan momentumnya. Terlebih, terjemahannya atas karya Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim beredar luas. Kumpulan alasan ini sudah cukup menampik Kontowijoyo dalam daftar bacaan.

Hilanglah Kuntowijoyo. Nama ini saya lupakan walau dalam pergulatan diskusi namanya kerap disebut. Saya tidak tahu asumsi kawan-kawan getol menjadikannya rujukan. Utamanya kawan yang memproklamirkan buku Muslim Tanpa Masjid itu. Masih di tahun yang sama, ia kembali meneriakkan buku terbaru, kali ini Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Usahanya membuat seorang kawan kontan tertawa. Entahlah, ia sepakat atau malah mengejek. Tetapi, ia menepuk-nepuk jidatnya.

Ingatan menyangkut Kuntowijoyo mendesak. Apa istimewanya pembahasan di buku itu? Mengapa Kuntowijoyo, yang akar intelektualnya berbasis Muhammadiyah menjadi pilihan? Bukankah corak berpikir Muhammadiyah di kalangan kawan-kawan diskusi sering dikritik? Tidakkah kawan itu menyadari jika dari judulnya saja Kuntowijoyo menolak realitas yang tak terinderai? Tegasnya, alam pikiran Kuntowijoyo materialistik?

Sepertinya ada sesuatu yang lain dari Kuntowijoyo. Tidak bisa tidak, saya keliru jika menampiknya tanpa membaca cara pandangnya. Buku itu saya beli juga dan menjadi buku pertama karya Kuntowijoyo yang kubaca.

Isinya berupa kumpulan esai yang pernah dimuat di media cetak ditambah beberapa catatan. Mendalaminya, Kuntowijoyo menyebarkan paradigma holistik memandam situasi masalah publik. Bukan hanya sengkarut pemahaman keagamaan yang terkotak ke dalam mazhab. Di luar dugaan, Kuntowijoyo membedah kebudayaan dan kesusastraan.

Barulah saya tahu jika ia diingat pula sebagai sastrawan. Di medio 70 an sejumlah cerpennya telah dimuat di majalah Horison. Jejaknya sudah lama. Cerita Kuntowijoyo diresapi selaku kritik terselubung di tengah menguatnya rezim orde baru. Banyak juga membacanya refleksi pemahaman agama yang kaku sekaligus menyodorkan sudut pandang baru.

Usai membaca kumpulan cerita yang terangkum dalam Dilarang Mencintai Bunga-Bunga yang dipersiapkan justru bukan oleh Kuntowijoyo sendiri, melainkan Sunu Wasono. “Gagasan untuk membukukan cerpen-cerpen Kutowijoyo ini sebenarnya sudah ada (timbul) sejak tahun 1986 ketika saya membantu (bekerja) di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin...” Tulisnya melalui kata pengantar.

Sebelum mengeja sepuluh cerita di buku ini, ulasan mengenai pemikiran Kuntowijoyo sudah sering saya baca di sejumlah blog orang-orang yang membacanya. Disebutnya selaku Chekovian karena akhir ceritanya diselesaikan begitu saja tanpa ada kesimpulan dan membiarkan pembaca menangkap ragam perspektif, serupa sastrawan Rusia, Anton Chekov menutup cerita pendeknya.

Nafas realisme memang kental. Sepotong Kayu untuk Tuhan, misalnya, mengingatkan cerpen Leo Tolstoy, Tuhan Maha Tahu akan tetapi Menunda. Sedangkan Dilarang Mencintai Bunga-Bunga membawa kita menelusuri narasi Lelaki Tua dan Laut gubahan Ernest Hemingway.

Meminjam analisis Sunu Wasono, orang tua dan anak-anak menjadi karakter dominan. Dua karakter ini terekam kuat di cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga yang dipilih menjadi judul antologi ini. Sedangkan watak orang tua begitu kuat di Sepotong Kayu untuk Tuhan yang menurutku lebih pas dijadikan judul buku.

Baiklah, mari mencecap sebagian kandungan cerita-cerita Kuntowijoyo yang telah mangkat pada 22 Februari 2005 silam ini. Karena judulnya menggugah, Sepotong Kayu untuk Tuhan kubaca lebih dahulu.

Tersebutlah lelaki tua di suatu hari menemukan dirinya tersadar setelah sejak pagi hanya tidur-tiduran saja hingga mentari meninggi. Itu dilakukan sebagai perayaan setelah istrinya yang cerewet itu berlalu ke rumah anaknya karena kangen pada cucu. Jika istrinya ada di rumah, berbaring tentu saja tak dapat dilakukan. Ada-ada saja omelan yang membuatnya tidak betah. Oleh istrinya, ia dianggap pemalas jika hanya duduk-duduk saja tanpa kegiatan.

“Tiba-tiba ia bangkit. “Demi Tuhan!”, ia berseru. “Celakalah yang menyiakan waktu!” Ia ingat. Meski berbuat sesuatu. Berbaring bermalasan bukan pekerjaan muslim yang baik. Ia sudah mendengar kabar, orang kampung sedang mendirikan surau baru.”

Berbekal ingatan itulah petualangan orang tua ini bermula. Ia ingin menyumbangkan sesuatu atas pembangunan surau baru itu. Namun, ia tidak ingin diketahui. Baginya, cukup dirinya dan Tuhan saja yang tahu. Orang tua tersebut tak ingin disebut riya, watak dalam Islam yang menyombongkan diri di hadapan manusia.

Ia menemukan ide brilian. Di kebunnya terdapat pohon nangka yang sudah mati. Kayunya tentulah sudah berkualitas tinggi dengan permukaan kekuningan menandakan kokohnya kayu itu. Jika di Lelaki Tua dan Laut, Hemingway menampilkan sosok tua, Santiago yang bertarung di lautan berhari-hari dan menaklukkan seekor ikan marlin raksasa. Orang tua yang dihidupkan Kuntowojiyo tidaklah sekuat itu, yang tersisa hanyalah semangat. Ia sadar dengan usianya untuk merobohkan pohon nangka.

Dibuatlah kerjasama dengan penebang pohon dan ranting menjadi upah atas jasanya. Latar cerita di kampung memang klop. Uang bukanlah bentuk pembayaran satu-satunya. Ada kalanya transaksi tak melulu mencakup nilai tukar di selembar mata uang.

Dibayangkanlah sepotong kayu yang telah ditulisi arang: SEPOTONG KAYU UNTUK TUHAN  itu akan diketemukan oleh warga di sungai dekat lokasi pembangunan surau. Dan, warga akan heran dan bertanya-tanya siapa gerangan yang telah mengirim kayu sebagus dan sekuat itu. Paslah bilah dijadikan tiang utama.

Tentu saja usaha orang tua ini tak semulus dalam impiannya. Di sisa subuh sebagai proses akhir mengirimkan kayu melalui aliran air di sungai, gagal. Hingga fajar menjelang, dijumpailah fakta kalau kayu itu telang hilang. Semalam telah dikaburkan banjir.

“Lelaki tua berdiri. Penebang berdiri. Sesuatu telah hilang. “Tidak, tak ada yang hilang,” kata lelaki tua itu. Pak penebang mendorong kembali gerobak. “Kakek, kita pulang.” Lelaki tua itu berdiri sejenak lagi. Tersenyum. Sampai kepadaMukah, Tuhan?

Akhir cerita di atas menjadi pertanyaan kita semua. Kesimpulan yang dijabarkan hasil situasi kesadaran masing-masing. Tentu ada ragam asumsi yang bakal lahir. Begitulah saya kira, Kuntowijoyo memperlakukan pembacanya.

Mengapa juga orang tua itu tidak menyampaikan saja pada panitia atau orang-orang yang bekerja membangun surau menyangkut kayu nangka di kebunnya yang akan dia sumbangkan? Mengapa mesti menyalurkannya secara rahasia yang membuat warga menduga atau malah linglung  penasaran? Pertanyaan dasar semacam ini boleh jadi jamak dilontarkan. Dan, jangan mencari  jawabanya dalam cerita. Latar belakang Si orang tua pun tidak menjadi pelengkap kaitannya dalam struktur sosial.

Kuntowijoyo tidaklah sedang menggagas cara pandang melihat situasi sosial. Saya anggap, ia sebatas memberikan jalan lain dalam memandang realitas. Membeberkan variasi kesadaran yang tumbuh mengiringi jejak hidup manusia dalam situasi di mana mereka hidup. Di alam kehidupan desa, rasionalitas bukanlah semata satu-satunya mata sosial. Mitologi juga penting dan hidup seiring kesadaran bagi manusia yang menjalankannya.

Segenggam Tanah Kuburan, menceritakan akan tuah tanah kuburan sebagai pelengkap mantra bagi seorang pencuri. Tersebutlah seorang lelaki bersama kawannya, seekor anjing yang dinamai Kliwon. Keduanya sahabat dalam menjalankan misi. Namun, di malam itu keduanya gagal menjarah uang seorang juragan sapi. Keduanya diperhadapkan pada lelaki tua sedang merapal kidung tolak bala. Mantra si pencuri hambar dan ia menyadari ilmunya tiada guna.

“...Kekalahannya membuatnya tak berdaya. Kini ia meragukan segalanya: guru, tanah kuburan, anjing itu, dan dirinya sendiri. Di mukanya terbayang orang-orang dusun mengejeknya...”

Properti kematian memang sering dijadikan syarat mencukupkan ilmu. Walau banyak menganggapnya sebagai takhayul. Namun, Mengail Ikan di Sungai menguatkan laku demikian. Seorang anak terpukau kepiawaian Pak Kajin memancing di sungai. Pasalnya, lelaki tua tukang cukur itu menggunakan bambu bekas pengukur mayat dan umpannya tahi manusia.

“...Ketahuiliah, katanya. Dalam memancing, kadang-kadang aku merenungkan sesuatu. Lihatlah, alangkah sukanya ikan pada tahi manusia. Itu tandanya manusia makhluk yang sempurna...”

Keinginan Romli, seorang bocah yang memendam niat memiliki pancing ajaib tersebut akhirnya terpenuhi setelah usahanya merengek pada orang tuanya selaku kepala desa tak terpenuhi. Padahal, sebagai anak kepala desa, ia bisa saja memerolehnya dengan mudah. Hanya saja, bapaknya melarang dan menganggap perbutan demikian takhayul. Di akhir cerita, pahamlah kita, kalau bambu pengukur mayat itu rupanya yang digunakan memastikan panjang tubuh orangtuanya yang telah mangkat.

***
Pangkep-Makassar, 19 Februari 2015

Komentar

Postingan Populer