Hikayat Pohon di Kota






Menanam pohon di kota, rasa-rasanya serupa membangun pasar tradisional. Bila sudah waktunya jubelan kendaraan menghendaki pelebaran jalan, pohonlah sasaran utama yang akan disingkirkan. Pasar pun demikian, biasanya mengalami kebakaran bila ada mega proyek insfraktrur baru.

Jika cara itu tidak ditempuh. Maka dicampakkan saja. Pohon, dengan lahan sedikit, sebab dipaksakan ditanam di tepi atau di tengah jalan akan tumbang diterjang angin musim penghujan. Sedangkan pasar, biarkan saja sampah berserakan dan melubernya pedagang. Karena yang demikian bisa dijadikan alasan melakukan relokasi.

Pohon di kota telah dihinakan sedemikian rupa. Di musim pemilihan, mulai dari legislator dan kepala daerah semua tingkatan, termasuk presiden hingga pada pemilihan organisasi pemuda ataupun lembaga yang lain yang kita tidak tahu apa manfaatnya bagi warga, juga ikut-ikutan memasang wajah mereka di spanduk kemudian ditempelkan di pohon. Tentu saja dengan memakunya.

Pohon, meski hidup. Namun, tak dianggap sebagai kehidupan. Keberadaan manusia dianggap bukan bagian alam kehidupan makhluk hidup yang lain. Seperti tumbuhan dan hewan. Begitulah yang terjadi. Perilaku manusia kadang memaksakan kemanusiaannya yang sesat berlaku bagi tumbuhan dan hewan.

Hingga kini, kita masing sering menjumpai bangkai tikus, ular, kucing, atau biawak dibiarkan tergilas di jalan raya. Dalam pola pikir yang demikian, hewan yang dianggap tak berguna itu, utamanya tikus. Biarkan saja dibunuh berkali-kali hingga tak tersisa. Bagi mereka, pengguna jalan berpikiran sama, menggilas bangkai tersebut bagai pengingatan kembali. Kalau jenis hewan itu pembawa sial.

Saya pikir, posisinya bukan di situ. Sebab, tak semua pengguna jalan mau melakukannya. Kecuali bila terpaksa atau lalai melihatnya. Saya, tentu tak ingin menambah penderitaan dengan membiarkan ban sepeda motor dilengketi bangkai. Lagi pula, apa masalah dan susahnya jika bangkai itu dikuburkan saja. Tak perlu ada prosesi layaknya mengubur mayat manusia, kan! Sisa menggali lubang sesiku, misalnya. Maka, kita sudah terhindar dari pola sesat pikir memperlakukan kematian hewan. Juga, telah membantu orang lain terhindar dari bau menyengat di jalan raya.

Balik mengenai pohon yang masuk kategori tumbuhan. Di film The Lord of the Rings, kita saksikan bagaimana kawanan pohon turut ambil bagian berperang mengalahkan kekuatan kegelapan yang dikomandoi Saruman. Gambaran ini hendak mengingatkan kesatuan makrosmos kehidupan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan komponen lainnya yang saling melingkupi dan melengkapi.

Film yang diadaptasi dari karya trilogi John Ronald Reuel Tolkien (akrab ditulis JRR Tolkien) The Fellowship of the Ring, The Two Towers, dan The Return of the King. Pohon pun dapat berbicara dan berbagi rasa kepada ras Manusia dan Hobbit dalam novel warisan abad 20 tersebut. Habitat pohon disebut Ent, mulanya kehidupan mereka tentram. Tetapi hasrat kekuasaan Saruman, habitat pohon turut dibasmi.

Para Kawi, sebutan penyair Jawa kuno, menempatkan pohon selaku inspirasi sebagai jalan mengapreasiasi kehidupan alam. Diterangkan kehadiran pohon bagi manusia menjadi simbol petak kehidupan. Sufi, Maulana Jalaluddin Rumi, di kitab Mastnawi. Menggambarkan sepotong bambu yang telah diubah menjadi seruling. Bahwa bunyi yang mengalun, sesungguhnya ratap karena telah terpisah dari rumpunnya di kesatuan pohon bambu.

Meresapi kehadiran pohon-pohon yang ditumbuhkan di kota, perlu lebih dari kampanye penghijauan atau pembangunan ruang terbuka hijau. Kita tahu, jenis pohon Mahoni atau Trembesi yang jamak ditanam sebagai penghias jalan itu, sesungguhnya tidak layak memberinya lahan sempit. Kedua jenis pohon ini memiliki usia panjang dan batang membesar seiring pertumbuhannya.

Perhatikanlah akar Trembesi yang tak hanya menjalar ke dalam tanah, tetapi juga muncul di permukaan. Di taman Musafir kota Pangkep tahun 2013 lalu, jenis pohon ini tumbang dirobohkan angin. Jaringan akarnya kekurangan ruang mencengkram tanah. Di Makassar sendiri, kita bersyukur masih mendapati beberapa tumbuh di area lapangan Sultan Hasanuddin dan di pekarangan masjid IMMIM. Tengoklah sejawatnya di kawasan Karebosi, yang tersisa menunggu ajal, tak jauh dari area bekas patung legenda bola Sulawesi Selatan, Ramang.

Begitulah nasib pohon di kota. Menemukan takdir kematiannya tak sesuai sari manfaat yang telah diberikan. Pohon sekadar penghias atau bentuk pencitraan pemerintah kota agar disepakati pendukung penghijauan. Jika tak dibutuhkan lagi, pohon begitu mudahnya dimatikan.

Dalam epik La Galigo, dikisahkan penebangan pohon Welenrenge sebagai bahan membuat perahu yang akan digunakan Sawerigading berlayar ke negeri Cina guna meminang We Cudai. Terkait ini, Nurhayati Rahman dalam buku Cinta, Laut, dan Kekuasaan. Menerangkan bila pohon tersebut tidak asal ditebang. Ada proses dan ritual yang perlu ditempuh. Artinya, pohon dalam kisah itu dimaknai dan dihormati selaku kesatuan kosmologis. Memperlakukannya tidaklah semena-mena.

Kini, pohon dan manusia saling memunggungi. Seolah ada dendam menggiring ke dalam kubangan keterasingan. Pohon-pohon di kota hanyalah cermin kecil dari keberlangsungan ini.

***
Pangkep-Makassar, 12 Januari 2015

Komentar

Postingan Populer