Desa di Balik Gunung Itu

Di pinggang gunung Bulusaraung di ketinggian delapan ratus meter di atas permukaan laut, di situlah letak desa Tompobulu, kecamatan Balocci, kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Senantiasa berudara sejuk 18 hingga 22 derajat celcius. Desa ini merupakan titik perlintasan dan persinggahan para pendaki menuju puncak Bulusaraung, gunung tertinggi di kabupaten ini.

Menempuhnya, memerlukan perjalanan sekitar satu jam menggunakan kendaraan roda dua atau empat. Medan menanjak dan berkelok menjadi tantangan yang perlu dilalui. Di sepanjang jalur itu, yang dijumpai hanyalah kesunyian hutan. Rumah warga yang berada di luar pusat desa baru bisa dijumpai sekitar 3 Km sebelum memasuki pintu gerbang.

Kantor Desa Tompobulu (Dok. Pribadi)

Sebagai mahasiswa yang ditempatkan di sana guna menjalani masa Kuliah Kerja Lapangan Profesi (KKLP) selama dua bulan di tahun 2010 silam. Tentulah cukup waktu mendalami aktivitas warga yang mayoritas petani, juga melihat praktik tradisi turun temurun yang terus dilanjutkan. Di antaranya, sepasang pengantin diwajibkan menanam pohon sebagai bukti keseriusan menyiapkan kelahiran. Filosofinya, ketika anak-anak mereka besar nantinya,  pohon yang ditanam itu juga sudah besar dan kayunya bisa digunakan membangun rumah.

Walau desa ini tersembunyi di balik gunung dan hutan, menanam pohon sepertinya tak pernah surut. Bahkan sebelum adanya kelompok tani yang menjadi paguyuban bersama untuk menyiapkan benih pohon, mereka juga tak mengerti propaganda pemerintah menyangkut penghijauan. Jauh sebelumnya, sudah sejak nenek moyang mereka, kegiatan menanam pohon sudah dilakukan dan memang menjadi kebutuhan

Setiap rumah tangga dipastikan memiliki hutan keluarga, di mana mereka memperoleh kayu membangun rumah bagi keturunan yang sudah berkeluarga dan keperluan perapian (kayu bakar). Dengan cara itulah, warga desa menyiapkan bahan baku pemukiman. Aturan penebangan pohon pun sudah tersepakati di masing-masing benak warga. Bahwa, hanya pohon yang benar-benar sudah layak yang perlu ditebang. Menanam penggantinya pun sudah harus dilakukan sekitar tiga atau empat bulan sebelum pohon tersebut ditebang.

Masukan yang saya terima ketika memaparkan program KKLP, warga mengharapkan menyusun agenda penghijauan. Usulan ini bersambut baik, karena sejalan dengan program sekolah dasar dan menengah dalam satu atap yang sudah mencanangkan program ini sebelumnya. Menyangkut bibit, kelompok tani telah menyiapkannya. Jadi sisa pelaksanaan saja.

Kelompok tani, siswa, KPA, dan peserta KKLP memulai menanam (Dok. Pribadi)

Di hari kegiatan, sejumlah kelompok pecinta alam (KPA) yang melakukan pendakian ke Bulusaraung juga melibatkan diri. Jadi, terjadi pertemuan misi yang hari itu bisa langsung dilaksanakan.

Di luar kegiatan formal seperti itu, warga secara mandiri telah melakukannya hampir saban hari. Naja, salah satu pemuda, telah menanam hampir 50 batang pohon sengong di hutan keluarga. Dilakukan setiap kali ia ke kebun. Di antara pohon yang ditanamnya itu, ada yang sudah menjulang, walau ada juga yang mati terinjak ternak.

Berdasarkan nomenklatur desa, Tompobulu resmi terbentuk di tahun 1964. Di tahun itu pula, desa ini telah menggelar pemilihan langsung kepala desa yang di masanya tidak pernah terjadi di desa yang lain. Lokasinya yang jauh dari pusat pemerintahan daerah kabupaten Pangkep. Menjadikan desa ini selalu telat tersentuh pembangunan. Pembangunan jalan, misalnya, barulah dirintis di tahun 2002. Tetapi sebelumnya, gotong royong warga memantik terbentuknya rintisan jalan.

Di desa ini pula, satu-satunya di Pangkep terdapat instalasi biogas yang memanfaatkan tahi sapi sebagai sumber energi listrik bagi 70 kepala keluarga di salah satu dusun yang jauh dari pusat desa. Di dusun yang lain, Pak Misbah menggunakan biogas sebagai sumber perapian. Sehingga tak perlu lagi membeli tabung gas yang memang jarang masuk di desa.
 
Program ini bermula atas prakarsa Sekolah Rakyat Payo-Payo (SRP), LSM dalam naungan Ininnawa. Namun, metode kerja LSM ini tidaklah bertindak layaknya pemadam kebakaran yang datang memadamkan masalah. Terbentuknya instalasi biogas digagas atas partisipasi warga. Idenya dimulai dari Najamuddin yang mengikuti pelatihan pengelolaan energi alternatif di Solo, Jawa Tengah tahun 2008. Sepulangnya, bersama warga yang lain mulai menggagas pembangunan instalasi. 

Instalasi Biogas di belakang rumah Pak Misbah (Dok. Pribadi)
Kisah ini dituturkan Supriadi, warga Tompobulu yang juga anggota SRP. Di waktu luang usai mengajar anak TPA di masjid, saya menghampirinya berdialog, menanyakan pelbagai hal menyangkut kegiatan SRP. Selanjutnya, ia runut menjelaskan program, riwayat, serta kegiatan bertani organik yang sedang dijalankan oleh anggota.


Perbincangan dengan Supriadi (Dok. Pribadi)

Kegiatan bertani di Tompobulu sebelum adanya pengorganisasian yang dilakukan SRP, semuanya melakoni gaya bertani sebagaimana lazimnya. Penggunaan pupuk pestisida yang membuat biaya produksi membengkak dengan risiko merusak kualitas tanah.
 
Melalaui program bertani yang dikembangkan di SRP itulah, anggotanya beralih ke model menanam SRI (System of Rice Intensification) dan memproduksi pupuk organik sendiri. Perlahan, biaya produksi dapat dipangkas dan petani lebih memahami dalam memuliakan alam. Pasalnya, pertanian yang digalakkan tidak merusak keberlangsungan ekosistem.

Boleh jadi, apa yang tengah dilakukan oleh masyarakat Tompobulu ini melalui tradisi turun temurun menghormati alam maupun gerakan pertanian di SRP menjadi menyumbang pertumbuhan konservasi alam.

Aktivitas yang dijalankan merupakan dorongan agar bumi tetap lestari. Memberi jaminan keberlangsungan alam sebagai kesatuan kosmologis. Di titik itu, aktivitas manusia melebur ke dalam jiwa alam. Sudut pandang demikian memaknai segala yang berjejak di bumi adalah makhluk hidup yang memiliki keterkaitan.

Saya yakin, di titik bumi yang lain, perilaku serupa ada di kehidupan masyarakat. Selayaknyalah dijadikan panutan dan kompas guna menetapkan resolusi kehidupan berspektif hijau.
_



Komentar

Postingan Populer