Rantau Suara Trubadur Jalanan
![]() |
Eno (Foto: Sandy, 2014) |
Gerimis di malam minggu tak menyurutkanku menuju
kawasan kuliner di tepi Sungai Pangkajene. Ditemani seorang kawan, Skuter butut
kulajukan menembus gelap malam. Ingin menyaksikan pengamen di pinggir sungai,
itulah alasan utama menembus gelap dan gerimis dengan laju sepeda motor yang
menyiksa.
Keramaian malam kota Pangkajene, ibu kota kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) yang dibelah sungai berjarak sekitar 50 Km
di sebelah utara kota Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Rupanya mengundang
juga trubadur singgah guna menemani penikmat malam. Saat itulah kulihat lelaki
berambut gondrong memetik gitar. Suaranya berat dan berusaha menghibur
pengunjung dengan tembang balada.
Anak Sekecil itu berkelahi dengan
waktu/Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Tembang lawas Iwan Falls, Sore Tugu Pancoran itu tidak dituntaskan. Segerombolan pemuda
memberi kode untuk berhenti. Sekarang ia bergeser ke meja pengunjung yang lain.
Hingga akhirnya ia berdiri di sampingku.
“Kembang Pete.” Ucapku.
Ia paham dan langsung melantunkan permintaan itu.
Namun, kupikir ia tidak berhasil menyanyikannya. Ada lirik yang tidak dihafal.
“Dari mana!” Saya mengajukan juga tanya ini.
“Dari Makassar.” Balasnya sambil meraih kursi lalu duduk.
Kupinta ia memesan sarabba agar bisa ngobrol lebih lama. Tetapi ia menampik lalu
bangkit untuk kembali mengamen. Kusodorkan kretek dan selembar uang lima ribu.
Ia lalu melangkah ke tenda yang lain.
Begitulah, peristiwa di atas terjadi
di tahun 2007 silam. Guna memastikan informasi kawan tentang adanya pengamen di
kota Pangkajene. Malam itu barulah saya percaya dan menjadi rutinitas di malam–malam
berikutnya mendengarkan para trubadur itu berdendang.
Saya sudah lupa di malam ke berapa
hingga akhirnya berkenalan dengan pengamen itu. Kami kemudian akrab dan saling
berbagi cerita. Pengamen yang pertama kali saya jumpai itu bernama Syaharuddin,
sapaan akrabnya, Sandy. Dari dialah kemudian saya berkenalan dengan
kawan-kawannya sesama pengamen.
Rupanya, Sandy tidak sendiri. Masih
ada tiga orang, Ical, Wandi, dan Eno. Bila di malam minggu tiba, jumlah mereka
bisa bertambah. Ini merupakan jaringan kerja sesama pengamen yang mencoba
peruntungan di luar kota Makassar.
Bermula ketika pantai Losari Makassar
mengalami revitalisasi di pemerintahan Ilham Arief Sirajuddin di tahun 2004.
Kawasan kuliner yang dikenal dengan sebutan meja terpanjang di dunia kala itu
direlokasi yang kini dinamai Metro Tanjung Bunga. Di lokasi baru proyeksi
pemerintah kota ini masih memberi ruang pada pengamen, walau sedikit demi
sedikit akses mulai tertutup hingga benar-benar mematikan kiprah penjaja suara
setelah pengembangan kawasan kuliner pantai Losari bermetamorfosis menjadi kawasan
kafe Laguna. Di mana pengunjung disuguhi hiburan musik melalui tape recorder
atau pemutar compact disk (CD) yang
mulai marak.
Di antara mereka ada yang mencoba keluar.
Sandy mengungkapkan, Eko, Hendrik, dan Dani, yang pertama kali mengamen di
Pangkep. Sandy sendiri dan beberapa kawannya sempat memulai rantau suara ke
Parepare, masih di sisi utara kota Makassar berjarak sekitar 150 Km. Namun
tidak bertahan lama, sesekali masih kembali ke Makassar sebelum mengamini
ajakan Dani berlabuh di Pangkep sebagai sandaran hidup selanjutnya. Kota ini
dijadikan pilihan, boleh jadi dua sebab. Pertama, memiliki lokasi kuliner di
malam hari. Kedua, jarak dari Makassar tidaklah jauh, bisa ditempuh kurang
lebih satu jam.
![]() |
Dari kiri: Sandy (kini berambut cepak), Selly, dan Ical. Di pinggir Sungai Pangkajene (Sumber; KPJ Pangkep) |
Di tengah pergulatan hidup, tentulah jalan
terjal senantiasa menemani. Menjadi alur cerita dalam melengkapi catatan
sejarah mereka. Sandy dan Ical, misalnya, keduanya tak lagi menjadikan ngamen
sebagai satu-satunya sandaran mengais rezeki. Setelah berkeluarga dan sadar
dengan hasil mengamen. Perlu lahan baru guna memastikan dapur keluarga tetap berasap.
Hasil membangun jaringan selama di
Pangkep, Sandy kini seorang jurnalis di salah satu harian lokal dan juga di
media online. Di jejak hidupnya
memang, ia aktif di jaringan jurnalis yang bertugas di Pangkep. Chermanto
Tjaombah, kini wartawan Kompas TV, adalah mentornya. Orang inilah yang pertama
kali memperkenalkan padanya kerja wartawan. Di tahun 2010, ia juga terdaftar di
Sekolah Demokrasi Pangkep, sekolah non formal yang digagas Komunitas Indonesia
untuk Demokrasi (KID) yang berkedudukan di Jakarta bekerja sama dengan Yayasan
Pendidikan Anak Rakyat (Lapar) di Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan
diskursus pemahaman demokrasi. Tentu, Sandy mereguk banyak pengetahuan di situ.
Sedangkan Ical, semasa mengamen
dahulu, sudah aktif selaku freelance video
shooting dan fotografer hajatan
pengantin. Kini, ia membangun kedai pisang epe di kawasan kuliner Pinggir
Sungai. Menurut Sandy, Ical memang punya kepandaian di bidang itu.
Yang tersisa, maksud saya, yang masih
aktif ngamen sebagai jalan menopang hidup walau telah berkeluarga. Tinggallah
Eno. “Ya, mau apa lagi, hanya pekerjaan
ini yang bisa saya lakukan. Lebih mulia daripada mencuri,” ujarnya.
Mengamen bagi Eno merupakan tapak yang dilalui setelah di suatu sore di awal
tahun 2003 mengalami kecelakaan kerja. Saat itu, ia mengampuh selaku tenaga
honor lapangan di salah satu ranting PLN Makassar. Arus listrik bertegangan
tinggi mengakibatkan jemari hingga pergelangan tangan kanannya lumpuh.
Frustrasi tentu mendekap jiwanya, dengan
tangan buntung, ia tak dapat lagi melanjutkan kariernya di perusahan listrik
negara itu. Sebagai jalan menutupi kekosongan, ia menerima tawaran seorang
kawannya mengamen di Losari, suaranya yang serak dan menghafal hampir semua
tembang Iwan Falls, menjadi modal utamanya.
Adalah Sandy, yang mendoronganya untuk
kembali memainkan gitar yang sudah dikuasainya sejak SMP. Tangan buntungnya
dipasangi potongan plastik lalu dikuatkan dengan lilitan karet yang
memungkinkannya dapat memainkan gitar dengan baik kembali.
Di tahun 2004, Eno memenuhi tawaran
Sandy melirik kota Pangkajene. Kota yang hingga kini dijadikan ruang berpijak.
Selain mengamen di Pinggir Sungai di malam hari, ia juga menjajal kemampuan di
warung Sop Saudara Tujuh-Tujuh. Gayung bersambut, ketika meminta izin mengamen,
oleh pemilik warung diberi kelonggaran. Kadang mendapat jatah makan sehingga
Eno bersama Edi, Jabal, dan Mamat, tiga kawannya kini yang menemaninya
berkelahi menantang waktu tak lagi mengeluarkan hasil derma pengunjung untuk
makan.
Kehadiran trubadur jalanan ini di
Pangkep, saya menyebutnya demikian untuk membedakan dengan kelompok penyanyi
yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain guna menghibur kalangan
bangsawan. Sandy dan kawan-kawannya mendeklarasikan juga Komunitas Penyanyi
Jalanan (KPJ) cabang Pangkep sebagai atap bersama. Mereka kerap diundang oleh
LSM setempat yang menggelar dialog untuk mengisi sesi hiburan.
“Memetik gitar dan
bernyanyi/Pada waktu tak bertepi/Di atas langit di bawah tanah/Dihembus angin
terseret arus/Untuk saudara tercinta/Untuk jiwa yang terluka/…..”
Tembang berjudul Di Balik Bening Mata Air Tak Ada Air Mata gubahan Iwan Falls di
atas, dilantungakan Eno di sisa sore di tahun 2009 di depan kamar indekosnya di
jalan Sukowati, Pangkep. Tembang ini selalu ia nyanyikan.
Sepuluh tahun, bukanlah jejak yang
pendek. Di awal mereka membangun jejak, pelabelan destruktif pastilah
dirasakan. Tetapi mereka bergeming. Terus berjalan. Terus bernyanyi. Terus
menjalani hidup. Dan, sepertinya telah menjadi kekuatan sosial tersendiri di Pangkep.
***
Pangkep-Makassar, 8 Desember 2014
Komentar