Bermain Puzzle atau Tetris





Pemilu di Indonesia bukanlah serupa menyusun puzzle, kategori permainan teka teki yang mengandalkan imaji dalam menangkap potongan acak kemudian menyusunnya menjadi lengkap dan nampaklah gambar secara utuh. 

Rupanya, pemilu serupa tetris, permainan yang dikembangkan ahli komputer asal Rusia, Alexey Pajitnov di tahun 1985. Caranya, menyusun balok yang disebut tetromino yang dapat diputar agar dapat menutupi celah balok lainnya. Begitu utuh, tetromino itu akan hilang. Begitulah selanjutnya. Permainan selesai apabila terdapat celah yang tak dapat ditutupi.

Setelah hajatan Pilpres 2014 selesai, tidak serta merta  menjadikan segalanya berakhir. Pemilu kali ini melahirkan dan menegaskan dua kubu yang saling tolak menolak. Walau kemudian sudah terjalin komunikasi guna memutar satu kutub agar dapat tarik menarik. Nyatanya, itu masihlah kamuflase.

Jika membaca alur pertarungan dua kubu. Jelas, jalan yang dirintis tentu saja bagaimana memotong saluran suara rakyat dalam penentuan kepala pemerintahan. Tujuan ini dipelopori kubu Koalisi Merah Putih (KMP). Sedangkan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mempertahankan peta yang sudah berjalan. Pemilihan langsung, di mana suara rakyat dalam pemilu menjadi penentu.

Menjadi pertanyaan, mengapa wacana perubahan pemilu langsung mengemuka setelah Pilpres 2014. Tidak lahir pasca pemilu 2009, misalnya. Atas dasar apa mensahkan SBY secara personal sungguhlah menarik simpati rakyat ketimbang JK atau Megawati. Kemenangan kedua SBY, saya kira tidak terletak di sana, melainkan pada keterlibatan pemain dalam sistem yang mengutak atik suara.

Kepemimpinan dua periode SBY berimbas pada sempurnanya titik jenuh masyarakat. Imbasnya, pemilih mensandarkan pilihan pada sosok yang dirasa berasal dari bawah. Momentum ini dibaca dengan baik oleh Megawati dan membunuh karier politiknya sendiri. Menguatlah sosok Jokowi yang dilengkapi kehadiran JK.

Mencuatnya keterlibatan masyarakat  secara sukarela pada pilpres 2014, merupakan peluru yang membunuh sosok manusia politik serupa SBY. Sayangnya, jalan itu pula yang ditempuh Prabowo. Menyadari kemenangan Jokowi-JK, di masa mendatang sudah pasti tak dapat dilawan secara terbuka. Itulah mengapa, perlu mengubah perangkat dasar pemilihan langsung.

Geliatnya di tingkat partai sudah jelas, setidaknya perpecahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar menjadi pengantar guna mendalami kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang (Pemilu 2019).

Kondisi di Daerah

Terbitnya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, seolah menjadi buah simalakama. Walau begitu, kesiapan pelaksana pemilu di daerah tetap bekerja menyiapkan langkah menggelar pemilihan kepala daerah.

Mengingat di tahun 2015, terdapat suksesi 245 kepala daerah. 7 di tingkat Provinsi, 203 tingkat Kabupaten, dan 35 pemerintah Kota. Lantas, jika legislator di tiap daerah membeo pada putusan di pusat, lebih runyam lagi bila pertentangan dua kubu di DPR ikut merembes di daerah. Tentunya demikian, karena komando partai perlu diikuti kader.

Di Sulawesi Selatan sendiri, KPUD sudah dimintai pengajuan danah hibah oleh Badan Anggaran DPRD sebagai bentuk persiapan menghadapi 10 pemilihan kepala daerah di tahun 2015. Artinya, keterangan ini menunujukkan kalau parlemen di daerah akan mengikuti putusan elite partai di pusat. 

Bagaimana mungkin, pelaksanaan kepala pemerintahan didanai hasil merengek di parlemen. Apalagi berupa hibah, jika ini yang terjadi,  pelaksanaan pemilihan kepala daerah tak ubahnya kontes mencari bakat saja. Bukankah anggaran dana pelaksanaan suksesi sudah jelas dari APBD masing-masing daerah. Inilah imbasnya dari kekisruhan dasar pelaksanaan pemilu.

Pemilu di Indonesia, sejak awal memang diporsir memilih anggota perwakilan di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen di tahun 2002, pemilihan Presiden dan wakil yang sebelumnya wewenang MPR, menjadi bagian dari pemilihan umum yang melibatkan rakyat kali pertama di Pilpres 2004. Melengkapi paket itu, di tahun 2007, pemilihan kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, resmi menjadi daulat rakyat.

Meresapi kerangka perjalanan pemilu di Indonesia. Seperti telah melewati pelbagai varian dengan tingkat berbeda. Di era Orba, kita rasakan miskinnya akses walau sekadar untuk mengetahui tanggal kelahiran calon kepala daerah yang akan memimpin. Kini, kita menjumpai titik balik, kedigdayaan teknologi informasi membeberkan semuanya hingga hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Pemilihan umum secara langsung bukanlah produk pergulatan sekelompok elite, ini gagasan hasil protes yang diteriakkan penggiat demokrasi yang ruangnya terbuka di tahun 1998. Pemegang kunci ruangan itu telah menyerahkan setelah 32 tahun menggemboknya rapat-rapat.

Begitu terbuka, terhamparlah potongan realitas yang selama ini disembunyikan atau sengaja dihancurkan bila terdapat pemikiran yang dapat merongrong kekuasaan Orba. Selanjutnya, itulah tantangan yang bakal dihadapi. Menemukan potongan yang lain agar pemilu mendekati sempurna.

Bahwa pemilu bukanlah definisi baku yang haram hukumnya ditafsirkan ulang anak zaman. Karena itulah, perkembangan pemilu dari bentuk perwakilan ke secara langsung bagaikan menyusun puzzle. Tidak justru berusaha menutupi celah guna merobohkan tatanan yang sudah rapi. Sebagaimana permainan tetris.
***
Makassar, 6 Desember 2014

Komentar

Postingan Populer