Membaca Laku Transisi

Ketika Soekarno menyerahkan pemerintahan ke pundak Soeharto, bisakah itu dimaknai sebagai bentuk pembangunan jalan politik baru dan sebagai cermin warisan di era selanjutnya?

Begitu juga ketika Soeharto meletakkan jabatan dan Habibie memegang kendali pemerintahan. Dapatkah Soeharto dibaca sebagai pemberi warisan transisi yang nantinya menjadi pegangan di era yang akan datang?

Proses politik kemudian memberi legalitas kepada Abdurrahman Wahid sebelum Megawati menjadi kepala pemerintahan. Dari proses yang berlangsung, apakah peralihan dari Habibie ke Abdurrahman Wahid kemudian ke Megawati dapat dimaknai selaku tata kelola dalam merancang peralihan pemerintahan. Dan, ketika SBY terpilih selaku presiden, tentulah kita ingat kalau hubungan Megawati dan SBY mengalami kebuntuan.

Wacana peralihan sering didengar dalam proses suksesi, di dalamnya terkandung beragam hal yang tentu memerlukan analisis. Hal inilah yang menjadi bahan yang dapat kita baca melihat keberadaan tim transisi dalam menjembatani proses peralihan dari kepemimpinan SBY-Boediono ke Jokowi-JK. Setelah 60 tahun lebih kemerdekaan, baru kali inilah ada media komunikasi dari kedua belah pihak yang akan saling menyerahkan dan menerima.

Tantangan di Parlemen

Jika melakukan perhitungan kekuatan, koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta di pemilihan presiden yang telah lalu. Dengan enam pertai politik yang menguasai 63 persen kursi melawan empat partai pendukung Jokowo-JK dengan komposisi 37 persen. Jelas, bisa menjadi batu sandungan.

Saya kira, realitas ini juga menjadi bahan diskusi di tim transisi, tentang bagaimana melakukan komunikasi politik demi berjalannya tata kelola pemerintahan untuk pembumian visi misi politik Jokowi-JK.

Menarik menyimak pernyataan JK, katanya: “Partai itu tidak ada yang dibuat untuk menjadi oposisi karena kalah. Jadi, kemungkinan sikap mereka bisa berubah. (Kompas, 3/9). Setidaknya ada dua hal yang dapat dicermati dari pernyataan ini. Pertama, kehadiran partai politik dalam dua kubu di perhelatan pemilihan presiden, bukanlah simbol pemihakan terhadap nilai-nilai perjuangan (ideologi) masing-masing partai. Melainkan sekadar hitung dagang keuntungan belaka.

Kedua, JK mengingatkan kembali jika partai politik dan kekuasaan adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Ini boleh jadi sesuatu yang keliru, tetapi konstalasi politik sepertinya menghendaki demikian. JK bermain dadu dalam lima bulan ke depan untuk membuktikan analisisnya ketika sejumlah partai selesai melakukan suksesi kepemimpinan internal.

Makna lainnya, JK mengingatkan kalau pemerintah tetap bisa eksis walau dukungan di parlemen minim. Sebab sistem ketatanegaraan yang dianut ialah presidensial. Parlemen tidak punya kuasa menjatuhkan pemerintah, namun dalam perjalananya, presiden dan wakil bisa diberhentikan jika terjadi pelanggaran konstitusi. Sebaliknya pun demikian, pemerintah tidak bisa membubarkan parlemen. Jadi, keduanya  dapat eksis dalam lingkup demokrasi.

Cara Pandang

Tentunya perlu cara pandang baru, sejak mula, Jokowi secara personal telah menjadi efek yang kemudian mewujud ke dalam bentuk cara pandang terhadap sosok kepala pemerintahan. Bermula di tingkat kota di Solo, Gubernur di ibu kota lalu kepala negara.

Bacalah kembali, ada beberapa macam kekuatan sosial yang yang berkerumun. Mereka bukan dipanggil tetapi terpanggil, seolah sosok yang selama ini dicari telah muncul. Hal ini berlaku juga di tubuh tim transisi yang telah terbentuk.

Membaca keberadaan tim transisi, saya kira perlu dimulai dari upaya sebuah era yang coba menancapkan tonggak baru dalam sejarah politk di negeri ini. Meski begitu, transisi pemerintahaan barang tentu perlu pengawasan juga.

Bahwa era pemerintahan baru bukanlah barang diktean dari era sebelumnya. Wacana yang menjadi tren, menyangkut komposisi kementerian di kabinet yang akan datang. Perlu tidaknya pengurangan, penambahan, ataupun penggabungan sejumlah kementerian, bukanlah bentuk bahan perdebatan yang menguras energi terlalu lama. Dibutuhkan memang proporsional hasil visi pemimpin terpilih.

Cara pandang baru berikutnya, transisi saya kira perlu juga mengaung di gedung parlemen. Bagaimana caranya, JK telah memberi isyarat melalui pernyataannya, beberapa partai, baik yang telah melakukan musyawarah besar atau pun yang segera. Dan ada juga yang tengah mengalami gejolak internal sebagai imbas dari pemilihan presiden.

Cerminnya adalah, ketika ragam kekuatan sosial yang dulu anti dan muak dengan proses politik yang berlangsung malah turun tangan memberikan pencerahan dan terlibat dalam segala penciptaan momentum untuk turut bergembira merayakan suksesi politik. Belum cukupkah itu sebagai gelitik dalam menyegarkan kesadaran.

Dan, setelah 60 tahun lebih kemerdekaan, sebagaimana yang telah disebutkan. Keberadaan media komunikasi politik dalam melakukam persiapan peralihan pemerintahan hadir sebagai cermin baru, semoga saja menjadi laku pembangunan jalan politik tanpa dendam dan menjadi tugas bagi penerima untuk dituntaskan.
_



Komentar

Postingan Populer