Membaca Buku Itu Pekerjaan Egois


Membaca buku itu pekerjaan egois. Menuntut perhatian lebih. Memerlukan suasana khusus, serta buang-buang waktu. Tidak sepakat! Silakan mencoba, maksud saya, lakukanlah pekerjaan itu dengan buku yang menarik minat masing-masing.

Tak banyak buku yang bisa dituntaskan dengan sekali duduk. Saya, misalnya, tidak memiliki pengalaman sampai sepuluh buku. Mayoritas setiap judul membutuhkan waktu sebulan hingga dua bulan. Itu menurut saya yang benar-benar terpahami. Di atas mayoritasnya lagi, ada hingga setahun bahkan bertahun-tahun. Kesunyian bersamanya.

Buku-buku itu saya beli saja dan tercampakkan di rak. Untungnya, saya masih ingat kapan membeli, karena di halaman depan saya bubuhi tanda tangan lengkap dengan tanggal pembelian.

Membaca dan membeli. Sepertinya hanya kecanduan pada membeli saja. Takut tidak menemukannya lagi kelak. Atau, merasa bangga jika berhasil mengoleksi cetakan pertama. Tetapi, belum sampai seratus halaman, buku itu sudah saya tinggalkan. Ook Nugroho benar, mengejek perilaku kita yang mengaku pembaca. Lewat puisi ia mencibir:

Ia sebuah buku
Yang tak dibaca lagi
Terselip kesepian
Dalam rak kenangan

Kulit sampul meluntur
Saru dimangsa waktu
Judulnya gagap
Kikuk menatap zaman

Tema dan gaya
Sama kadaluwarsa
Halaman yang pernah perkasa
Nelangsa tak berdaya

Ia sebuah buku
Yang tak dibaca lagi
Bahkan saya lupa
Dulu pernah membelinya

(Buku yang Tak Dibaca: 2008)

Namun, saya masih ingat persis kapan dan di mana membelinya. Bahkan motif membawanya ke kasir dan merelakan isi dompet berkurang. Saya kecanduan membeli. Bukan membacanya.
Saya merawat hegemoni yang dulu diingatkan Antonio Gramsci, filsuf politik asal Italia itu menegaskan bila hegemoni bagian dari penindasan. Parah, saya terjebak di sana. berkutat pada label untuk dikatakan seorang pembaca.

Jadilah sebentuk pengakuan sebagai peta. Bahwa buku dari penulis yang pernah mendapat penghargaan adalah yang terbaik dari yang baik-baik. Sesungguhnya itu merupakan jalan pintas walau tidak sepenuhnya keliru. Meski begitu, tetaplah mata rantai hegemoni.

Kita perlu tahu, sebenarnya siapa yang menentukan selera baca kita. Sering ditimpali kalau pasarlah yang menjadi aktor utama. Kasarnya, biang kerok atas konstruksi selera. Itu cara aman guna menyelamatkan diri dari kelemahan menetapkan asumsi. Serupa SBY menyatakan kalau Pilkada langsung itu perlu, walau kemudian Fraksi Demokrat memilih abstain di paripurna yang kemudian. Akh! Pembaca sudah tahu, kan!

Anggota DPR itu juga egois, sama dengan membaca buku. Sama-sama menolak pendapat yang lain. Hanya saja, kadar egoisnya berbeda. Jika pembaca buku itu memiliki argumen rasional, tentu saja iya dikarenakan banyaknya ragam perspektif yang didapat. Sedangkan anggota DPR yang memaksa kembali pemilihan kepala daerah keharibaan dewan perwakilan. Mengedapankan ego karena miskin sudut pandang.

Jika ada yang mengatakan buku itu lebih penting dari sebuah gadget, perlu dipertanyakan posisi dan bagaimana caranya ia membangun paradigma. Sebab, bila hanya duduk di atas bangku kayu yang menghadap ke barat sambil menunggun sunset tenggelam. Apalah bedanya dengan Adolf Hitler yang juga seorang pembaca bahkan buku yang ditulisnya, Mein Kampf merupakan salah satu buku klasik di dunia yang perlu dibaca.

Membaca pekerjaan sepi, berlaku bila buku, sedikit berbeda dengan membaca koran atau majalah di warung kopi. Orang, mungkin sebagian. Risi bila di depannya adalah novel tebal sedangkan di sampingnya sedang asik melayar di dunia maya dengan perangkat elektronik.

Sekali waktu saya pernah melakukannya di salah satu cafĂ©. Dan, jadilah saya tontonan walau orang-orang sebatas melirik. Namun itu penuh keheranan. “Plis, ini eranya dunia maya, frend!”. Saya hanya menduga, boleh jadi ada di antara mereka mengucap kalimat itu.

Hal demikian sengaja kulakukan untuk menemukan pengalaman. Bahwa apakah membaca buku di tempat publik sama halnya dengan orang memfokuskan diri dengan gadget. Bukankah keduanya merupakan aktivitas. Tetapi, membaca buku memang pekerjaan egois. Kita tak bisa melakukan hal berbeda dalam waktu bersamaan. Kecuali, mungkin berlaku bagi sebagian orang kalau mendengarkan musik bisa dipadukan.

Sebab itulah, masih banyak buku yang telah terbeli namun belum terbaca. Menunggu giliran! Tidak juga, sebab begitu banyak resensi bertebaran. Saya selalu menghindari yang satu ini. Untuk sejudul buku, misalnya, saya harus menuntaskannya lebih dahulu baru menengok ulasan orang lain untuk buku yang sama.

Oh, iya! Saya merawat keyakinan, kalau perbedaan sudut pembacaan untuk buku yang sama itu niscaya. Saya kira itulah alasan mengapa buku selalu ditulis walau temanya sama. Psikologi, Filsafat, atau Novel. Tentulah jalan yang digunakan Albert Camus dengan Knut Hamsun berbeda. Meski tokoh dalam novel Orang Asing dan Lapar menceritakan keterasingan seorang manusia.

Membaca juga tak ada gunanya, tulis Wiji Thukul. Alquran di surah Al Maun ayat empat dan lima juga punya peringatan yang tak kala ngeri. Celakalah orang-orang yang mendirikan salat. Wow! Sudah salat tetapi ketibang sial.

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut peringatan bahwa salat bukanlah ritual semata. Walau dilaksanakan namun berperilaku korup, hasilnya sia-sia. Apakah demikian dengan membaca buku yang sudah menyita waktu, tetapi tak juga membuat kita semakin bijak! Ah! Rasa-rasanya saya masihlah bagian golongan ini. Naudzubillahi min dzalik.

***
Pangkep-Makassar, 27 September 2014


Komentar

Postingan Populer