Gitar Satu Senar dan Riuhnya Zaman





Segera, setelah era Orba menjumpai takdir kematiannya, tak ada lagi pembicaraan rahasia di balik tembok. Sebagai perayaan, suara-suara bertemu di ruang terbuka. Ramai dan tentu saja penuh kegaduhan.

Kini, teknologi informasi melengkapi kesempurnaan itu. Siapa pun, saya kira, yang memiliki akun di jejaring sosial, tentu tergoda mengandil menuliskan kritik, cemooh, atau menyebar desas-desus. Di dunia maya disebut hoax. Gejala inilah yang menjadi salah satu penanda zaman kita. Era ketika dinding tak berguna lagi.

Lihatlah, gerak-gerik atau ucapan seorang pejabat publik maupun tokoh dengan mudah dan begitu cepat menyebar dalam bentuknya yang beragam. Ada visualisasi disertai penjelasan yang kadang mengundang tawa, iba, hingga memaksa kita menjadi sinis.

Walau ada regulasi menyangkut tata kelola berpendapat di media elektronik (UU Informasi dan Transaksi Teknologi No 2008). Namun, sejauh mana khalayak mengetahui apalagi memahami subtansinya. Faktanya, semua orang serasa menjadi pemberani di media sosial yang miskin pemahaman dan kreativitas.

Mari tengok kritikan yang tumbuh di dalam rumah Orba. Meskipun warga hidup layaknya Winston Smith, tokoh dalam novel 1984 garapan George Orwell, yang hidup dalam pengawasan ketat. Nyatanya, kritik masih berseliweran ke benak masyarakat. Adalah almahrum musisi Harry Roesli yang mendendangkannya. Klip tembang Gitar Satu Senar yang tayang di televisi milik pemerintah, TVRI di program Album Minggu bebas tayang tanpa sensor dari Menteri Penerangan.

Mengapa bisa terjadi, mungkin itulah keteledoran aparat Orba yang memiliki aturan membonsai suara lain yang mencoba mengganggu keamanan dan ketertiban. Dengan santai lelaki tambun cucu sastrawan Marah Roesli itu benar-benar tampil di klipnya dengan memainkan gitar bersenar satu.

Hasilnya, kita mendengarkan aransemen datar dengan lirik penuh makna. “Aku ingin membuat lagu/Tapi tidak punya alat musik/Hanya ada sebuah gitar tua/Milik kantor P dan K/Tapi itu satu-satunya sarana/Yang saat ini aku punya/Jadi ya sudah/Aku pakai saja/Uh!
Jadi, hanya bermodal satu gitar tua milik instansi pemerintah. Harry Roesli tetap bisa membuat karya. “Gitar satu senar bukan halangan/Anggap saja dengan gitar satu senar/Seperti hidup dengan azas tunggal/Jadi memang enggak boleh ada perbedaan.

Musisi multi talenta itu hendak mengajak kita selalu kreatif dalam berkarya (baca: memproduksi kritik) terhadap sistem bobrok yang dijalankan pemerintah kala itu. Jika demonstrasi sebagai bentuk perayaan kritik secara terbuka dapat dihentikan atau dilarang. Maka perlu jalan lain agar kritik itu tetap hidup. Medianya tentu saja beragam. Dan, Harry Roesli menunjukkannya melalui musik.

“Padahal dengan gitar satu senar/Aku mainkan banyak sekali nada/Jadi biar hanya dengan gitar satu senar/Perbedaan tetap kita rasakan/Itu sudah fitrah dari sananya/Semua orang tak ada yang sama/Jadi kenapa?/Sekarang semua harus seragam.

Penyeragaman merupakan agenda dalam menjaga terjaminnya kekuasaan. Orba memang melakukannya. Bacaan sebagai nafas kebudayaan harus diseragamkan dan itu menjadi strategi dalam memupuk kebisuaan yang dilakukan, utamanya di sekolah.

Ingatlah setiap kali pemilu diadakan. Di depan kata demokrasi didahului denga kata ‘pesta‘. Konotasi yang membawa kita pada kebahagiaan,. Tak boleh ada yang bersedih, sebab pemimpin yang kita impikan adalah dia terus menerus. Pengaturan skor di pemilu zaman Orba memang ketat dan penuh pertimbangan kekhawatiran. Khawatir kalau ada golongan lain yang hendak mengganggu ketertiban yang sudah berjalan baik.

Kini, setelah pemilu 9 Juli lalu, pemilu tanpa undangan bagi mereka yang dulu menolak ke TPS. Merasa perlu untuk terlibat di setiap tahapan. Mulai dari sosialisasi, kampanye, hingga pengawasan suara. Mereka tak mau ketinggalan.

Pemahaman akan hubungan diri selaku warga dengan negara terpahami dengan penuh kesadaran dan sebaik-baiknya sikap. Mereka, dan tentu saja kita adalah generasi yang dulu dididik di sekolah Orba yang miskin kreativitas. Kini, kita mengingat semua pengalaman itu dan menolak seragam.

Bahwa riuhnya kesaksian di Mahkamah Konstitusi tak lebih sebagai guyon di zaman tanpa dinding ini. Mereka kritis tetapi ceriwis, yang sulit membedakan subtansi dengan aksiden. Jangan tanya soal kreativitas berfikir, karena yang demikian bukan lagi proses. Hasil yang menjadi tuan yang kemudian mengaburkan cara pandang.

Sepertinya, kualitas kritik di era otoritarian lebih hidup ketimbang ketika semua orang tak lagi takut dengan bedil. Sebab, yang berseliweran tak bisa lagi dibedakan antara curahan hati dengan kritik. Padahal, kedua hal itu tak sepadan dalam membangun demokrasi.

***
Pangkep-Makassar, 14 Agustus 2014
Dimuat di Tribun Timur 16 Agustus 2014



Komentar

Postingan Populer