Kita adalah Ingatan

Di jejak waktu sejarah politik modern, mengingatkan kalau hasil perhitungan cepat (quick count), itu tak jauh berbeda dengan hasil perhitungan manual yang dilakukan penyelenggara (KPU). Tentulah di pemilu tahun 2014 hitung cepat juga akan berlaku. Bahkan, kita sudah disuguhi presentasi suara dua pasangan kandidat dari maraknya hasil survei dari sejumlah lembaga.

Pada wilayah itu, peran media elektronik sangat membantu. Hanya duduk di depan layar kaca sambil menyeruput kopi dan menghembuskan asap kretek, kita sudah bisa menakar perolehan suara dari pasangan kandidat yang bertarung. Dan hasilnya! Kita sudah pasti tahu.

Perlu pula diingat, bahwa pemilih yang nanti menggunakan hak pilihnya, berarti telah menunaikan tugas dan telah menitipkan pesan di kertas suara yang dicoblos. Pesan yang nantinya diharapkan memperoleh jawaban indah dari pasangan yang terpilih. Bahwasanya, masyarakat merindukan perubahan taraf hidup yang lebih baik, dan itu erat kaitannya dengan proyeksi program politik pasangan yang terpilih.

Ingatan Selanjutnya

Tanpa riset yang mendalam pun, kita tentu sepakat kalau tak semua masyarakat yang sudah terdaftar sebagai pemilih menggunakan hak pilihnya. Inilah sisi lain perhelatan demokrasi, tetap ada sangsi yang terus terpelihara. Meski wajah pasangan kandidat sudah terpajang di pintu rumah kita. Tetapi, ingatan akan sosok yang menjadi pilihan menjadi virus malas untuk melangkah ke TPS dan bertahan pada argumentasi kalau tidak ada demokrasi di kotak suara. Karena pilihan lagi-lagi telah ditentukan.

Sehingga bisa ditebak kalau orang-orang yang melangkah ke TPS adalah pemilih yang sama dengan lima tahun yang lalu ditambah kehadiran pemilih baru. Mereka juga merawat ingatan, kalau pemilihan kali ini hanyalah pengulangan pengalaman yang sama. Gejala ini menjadi sebuah barometer atas sebuah hegemoni kekuasaan yang bekerja secara apik.

Tentu ada instrumen lain yang digunakan guna memupuk ingatan itu, baik dari pemilih itu sendiri maupun yang membutuhkan suara para pemilih. Hubungan ini terus dijaga melalui pertautan mesin politik yang bekerja di lingkungan masyarakat, serta proyeksi perubahan yang mungkin bisa dibanggakan para pemilih.

Di pemilu kali ini sama dengan sebelumnya, menyadarkan bahwa ada kelumpuhan pada intelektual partai masing-masing yang mengusung pasangan kandidat untuk bertarung. Saya menduga, ada pembacaan sejarah yang keliru yang tak bisa ditutupi melalui program politik, kampanye, maupun iklan politik di media massa. Mungkin salah satu yang alpa dikaji oleh para intelektual partai, adalah instrumen yang digunakan dalam pertarungan. Bahwa manajemen pengelolaan ingatan publik perlu didengungkan karena luka sejarah bukanlah barang mati.

Kerja kreatif yang dilakukan para intelektual partai di balik layar, rupanya harus takluk dari kerja intelektual organik. Ini menarik untuk diperbincangkan, mengingat massa yang menghadiri setiap kampanye pasangan kandidat selalu ramai. Peran intelektual partai dan intelektual organik tentu memiliki andil pada setiap perhelatan itu.

Hanya saja, perlu dicek kesadaran massa yang melimpah. Apakah kehadiran mereka di lapangan merupakan hasil akhir dari sebuah mobilisasi ataukah memang bentuk partisipasi yang lahir atas kesadaran. Kedua motif inilah yang bisa dijadikan rujukan massa riil ketika sudah berada di TPS. Benarkah massa ini mengekor pada intelektual partai atau merujuk pada intelektual organik.

Syahdan! Filsuf politik berkebangsaan Italia, Antonio Gramsci. Mengutarakan sebentuk ejekan, bahwa semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua intelektual berfungsi di masyarakat. Hal ini boleh jadi menghinggapi para intelektual partai, baik dari pusat maupun lokal  yang turut bergerilya dalam panggung kampanye.

Kita tentu tahu kapasitas intelektual partai, mereka yang berjibaku dengan kerja strategi serta menjadikan ketokohan dirinya sebagai gula yang akan dikerumuni. Kerumunan itu memang terlihat sekaligus perlu diingat. Kalau mayarakat tentu lebih dekat pada ketokohan yang tidak membuat jarak. Yakni, orang-orang yang ditokohkan (intelektual organik) yang hidup berdampingan dengan mereka.

Atau boleh jadi, ingatan masyarakat memang kuat. Sehingga tak tergoyahkan dengan isu perubahan yang coba ditawarkan para pasangan kandidat. Dan saya kira memang demikian, seribu satu konsep atau solusi yang ditawarkan melalui iklan, panggung kampanye, hingga gelanggang debat sungguh membosankan.

Lalu apa yang harus dilakukan selanjutnya, saya kira tak cukup merawat ingatan mengenai program yang ditawarkan. Perlu lebih dari itu, ingatan menyangkut sosok dari masing-masing kandidat juga harus dipupuk. Ingatlah, ingatanlah yang bisa dijadikan penuntun agar pemilu kali ini benar-benar menjadi antitesis dari pemilu yang sudah-sudah.

Pilihannya memang tidak banyak, hanya ada dua pasangan, dan dari dua pasangan itulah kita perlu menetapkan pilihan. Itulah politik, jalan untuk menegaskan pilihan dan bersiap dengan segala konsikuensinya. Bersamanya bersemayam imajinasi sebagai peta untuk diperjuangkan.

Jadi, rawatlah ingatanmu untuk bekal melangkah ke TPS pada 9 Juli mendatang. Sebab kita adalah pemilih dan kita adalah ingatan.
_


Komentar

Postingan Populer