Imajinasi Orwell



Saya sudah lupa di bacaan mana pertama kali mengeja nama Goerge Orwell, yang pasti, di sekitaran tahun 2002 hingga 2003, melalui buku-buku wacana sosial, nama ini sering saya dapati menjadi referensi.

Jika tidak keliru, Erich Fromm di bukunya, Revolusi Harapan, juga menyebutkan namanya lengkap dengan karianya, 1984 (Nineteen Eighty Four). Sejak saat itulah niat bergumul dengan novel yang judulnya sama dengan tahun kelahiran saya itu terus tertanam.

Di rentang waktu itu, dari tahun 2002, saya memperoleh sedikit demi sedikit ulasan menyangkut gagasan novel itu. Dikatakan kalau Orwell salah satu penulis terpenting yang pernah dilahirkan di bumi ini. Ia mampu meramalkan masa depan, membayangkan kalau kelak seseorang yang begitu berkuasa tengah mengintai segala perilaku manusia.

Dan, di negeri ini sendiri, sering dihubungkan bila ramalan Orwell telah mewujud di era Orde Baru. Bacaan diseragamkan, kebebasan diharamkan, dan sepertinya selalu saja ada yang mengawasi gerak kita. Tetapi, rasanya, belumlah sreg jika tidak membacanya langsung.

Saya membutuhkan waktu 12 tahun, sama dengan menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga menuntaskan sekolah menengah atas baru bisa menggenggam novel 1984 ini, karya termasyhur Orwell yang pertama kali saya baca. Di sekitaran tahun 2006, saya hampir saja membaca karyanya yang lain, Melarat. Hanya, novel tipis itu gagal saya bawa pulang karena harganya terbilang mahal bagi saya kala itu.

Sebenarnya, dalam perjalanannya, Orwell sudah saya lupakan, saya menghapus namanya dari daftar belanja. Saya jenuh menunggu bukunya terpajang di semua tokoh buku di Makassar. membelinya melalui online shop sempat terpikirkan. Tetapi, hal itu tak pernah saya lakukan.

Di dunia maya, saya menemukan lima macam cover edisi novel ini ke bahasa Indonesia. Tiga di antaranya diterbitkan Bentang Pustaka sejak tahun 2003 yang diterjemahkan Landung Simatupang. Saya membaca cetakan edisi kedua, Februari tahun 2014. 

Gambar dari berbagai sumber, ketiga cover ini terbitan Bentang Pustaka

Sedangkan penelusuran Bandung Mawardi, ia menuliskan di blognya, 1984 sudah beredar sejak era Soekarno. Novel itu diterjemahkan Barus Siregar. Satunya lagi diterbitkan Titah Surga di tahun2013. Saya tidak tahu apakah ini terjemahan dari Landung atau Barus, entahlah, tetapi di covernya diterangkan bila Erich Fromm membubuhkan kata pengantar.

Sumber dari dua link di atas
Pada akhirnya, Maret tahun 2014, saya menemukannya juga di salah satu toko buku. Novel 1984 telah bercover baru, jelas beda dengan cover sebelumnya yang saya lihat di laman website dari seseorang yang meresensinya. Namun, lagi-lagi urung saya bawa pulang. Godaan Knut Hamsun dengan Lapar-nya begitu kuat. Orwell kembali saya lupakan.

Barulah di bulan berikutnya, saya bergegas ke toko buku untuk melamarnya dan segera membawanya pulang. Dan, novel ini dibuka dengan paragraf yang sungguh indah:

Hari cerah dan dingin pada April , dan jam dinding berdentang tiga belas kali. Winston Smith, dagunya dibenamkan ke dada dalam usaha menghindari angin buruk, menyelinap cepat lewat kaca Victory Mansions meski tak cepat untuk mencegah segulung debu masuk bersamanya.

Klop, saya kira, novel ini saya nikmati di April yang lumayan dingin karena hujan sesekali mengguyur.

“Di tengah-tengah kita ada hantu. Bukan hantu kuno seperti komunisme atau fasisme, melainkan hantu baru: masyarakat yang dimesinkan secara total. Dicurahkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi material, dan diarahkan oleh komputer-komputer. Manusia dalam proses sosial semacam ini menjadi bagian dari mesin…,” kembali tulis Erich Fromm di buku Revolusi Harapan.

Dunia yang demikian itulah yang tengah dialami dan dijalani Winston Smith, seorang pegawai di Departemen Catatan. Ia selalu berusaha patuh pada segala aturan yang ditetapkan partai. Walau, kemuakan tentulah ada.

Orwell memadukan fantasi dan dongeng dalam menggambarkan Inggris berwajah sosialis fasis. Ada tokoh Bung Besar yang sama sekali tak pernah berbicara sendiri, tetapi diyakini ada. Bung Besar inilah tokoh paling berpengaruh di partai. Winston sendiri tak pernah melihatnya.

Melalui Winston, kita tahu di dalam tubuh pemerintahan yang dijalankan si Bung Besar, terdapat empat kementerian yang berbagi kuasa. Kementerian Kebenaran, mengurusi berita, hiburan, pendidikan, dan seni. Kementerian Perdamaian, menangani perang. Kementerian Cinta Kasih kebagian mengurus hukum dan ketertiban. Kementerian Tumpah Ruah bertanggung jawab masalah perekonomian. Melalui ke empat kementerian inilah terbentuk lagi sel-sel kerja berupa departemen, semisal, departemen catatan, dan fiksi.

Bukan hanya itu, partai juga masih memiliki sejumlah alat pengintai yang dapat memantau gerak-gerik warga. Tersebutlah alat bernama teleskrin, yang sepertinya ada di setiap sudut gedung hingga di dalam rumah. Alat ini juga bisa memperdengarkan musik atau menyampaikan informasi. Dan, jangan lupakan keberadaan Polisi Pikiran yang mampu membaca pikiran.

Namun, kediktatoran partai bukannya tanpa perlawanan. Emmanuel Goldstein, adalah orang yang berani menghina Bung Besar. Oleh partai disematkan sebagai seorang pengkhianat dan musuh rakyat. Dulunya, Goldstein adalah salah satu tokoh partai, sederajat dengan Bung Besar.

Guna menabalkan kebencian pada pengkhianat, maka, melalui teleskrin, diperdengarkan olok-olok yang disebut dengan acara Dua Menit Benci. Itulah program partai untuk melakukan dominasi cara pandang agar masyarakat mengenal sosok yang telah dilabeli pengkhianat. Namun, bagi Winston, curahan kebenciannya justru beralamat ke Bung Besar yang kemudian menjadi malapetaka baginya.

Sejatinya, Winston seorang pembangkang, ia mengetahui banyak kebusukan partai dan tidak sepakat keputusan pemerintah, termasuk di departemen di mana ia bekerja. Hanya, pembangkangannya itu dilakukan dalam hatinya sendiri. Ia menaruh minat yang besar pada kaum prol, suatu kaum yang tak dipedulikan walau populasinya yang terbesar, 85 persen. Karena menurut Winston, partai tak bisa digulingkan dari dari dalam. Olehnya itu ia mengandalkan keberadaan kaum prol ini.

Tetapi, pemberontakan yang didamba tak pernah terwujud. Malah, Winston diciduk dan membusuk di sel Kementerian Cinta Kasih guna menjalani proses pembersihan diri dari pikiran menentang partai. Membayangkannya, serupa budak kurus kering bernapas payah. Sisa kematian saja yang tak menimpanya.

Selama proses itu, setidaknya Winston menjalani tiga tahapan. Dimulai dengan pembelajaran, yang dalam praktiknya berupa penyiksaan fisik. Lalu, pemahaman, di level ini lebih lunak. Ada dialog antara Winston dengan introgator bengis, O’Brien. Tetapi, kekerasan fisik tetap saja terjadi bilamana Winston resisten. Terakhir, penerimaan, manusia bersih menurut partai, ialah ketika manusia itu menerima takdirnya hidup dalam ketundukan terhadap kekuasaan yang sudah berjalan di tangan partai.

Winston, merupakan potret manusia kalah, kembali ke habitatnya selaku manusia penurut. Ia kembali dinyatakan bersih dari segala tuduhan. Di otaknya tak lagi tertanam kebencian kepada Bung Besar. Juga, tak lagi merekam pikiran liar di buku catatan hariannya.

1984, tegasnya, laporan pertanggung jawaban atas imajinasi dari pijakan fenomena di dunia yang sedang dipikirkan Orwell. Di eranya, Orwell melihat kebengisan manusia atas manusia di depan kepalanya. Perang menjadi jalan sah untuk menegakkan suatu markah. Saya kira, di situlah Orwell bersaksi.

***
Pangkep-Makassar, 2 Juni 2014

Komentar

Postingan Populer