Lubang Kenangan

Abdul Razak


“Begitu sampai di rumah. Emak segera mengajakku mandi di sumur di belakang rumah, membuka bajuku dan mulai menyiramiku dengan air yang sudah ditimbanya di ember, lalu menggosok kakiku.”

Kira-kira sejak tahun 2000, sumur di belakang rumah tak lagi ramai. Sama sekali tidak ada aktivitas mencuci apalagi mandi. Sumur itu tak ubahnya lubang raksasa yang menyeramkan, orang di rumah terkadang memperlakukannya sebagai bak sampah yang mengundang pertengkaran kecil, karena saya sama sekali tidak sepakat dengan tindakannya itu.

Boleh jadi, sumur itulah yang engkau wariskan untuk kami. Lubang kehidupan.

Dulu, sering kali sumur itu saya jadikan sebagai kolam ikan kala pulang memancing dan mendapati masih ada ikan yang bernafas sesak. Tak tega rasanya melihat ikan itu meregang nyawa di pisau Emak.

Seingat saya, sumur yang masih menganga menerima air hujan itu pernah menjadi sumur komunal. Tak hanya bagi orang di rumah, tetapi juga tetangga yang tak memiliki lubang penyimpan air. Kadang saya menyembunyikan timba jika tetangga yang mencuci di sana terlampau banyak, terlebih jika di pagi hari. Saya merasa tetangga menggangguku mandi bila telat bangun untuk ke sekolah, karena mesti berdesakan dan antre menimba.

Tetapi kini, Saya merindukan suasana itu. Sungguh.

Saya juga ingat kala sumur di belakang rumah itu digali, ada banyak sekali tetangga yang berkerumun. Sepertinya menggali sumur adalah berkah bagi masyarakat, karena setiap ada orang yang menggali sumur. Maka ibu-ibu akan berkerumun guna memanfaatkan tanah galian untuk membuat tungku.

Setelah hari ini, pengalaman komunal kala menggali hingga sumur siap difungsikan, sudah jauh dari pelupuk mata. Sumur di belakang rumah tak lagi dilirik. Kini, orang-orang di kampung mencuci di balik tembok kamar mandi. Tak perlu repot-repot menimba air, karena sekali putar saja, seketika air memenuhi ember. Di rumah pun berlaku hal yang sama.

Ya! Boleh jadi, sumur itulah yang engkau wariskan untuk kami. Lubang kenangan.

Potongan paragraf di awal surat ini, itu merupakan salah satu alinea dalam cerpen yang saya gubah guna mengenang sumur di belakang rumah.

Kejadiannya, lima jam setelah engkau dimakamkan, saya baru pulang dari tanah lapang. Sesampai di rumah, Emak memandikanku di sumur. Jika diingat, mungkin itu terakhir kalinya saya mandi di sumur yang engkau gali.

Saya tidak ingin melupakan masa lalu. Karena itu, sumur di belakang rumah masih saya rawat, meski airnya tak lagi digunakan untuk mandi dan mencuci. Minggu lalu, saya telah mencabuti rumput yang tumbuh subur di sekitarnya dan membuat pagar pembatas agar sumur itu terlihat jelas. Bila musim kemarau tiba, saya menutupi permukaannya dengan terpal agar daun-daun tidak berjatuhan di dasarnya.

Perlakuan saya terhadap sumur yang engkau wariskan masih sama ketika engkau masih hidup. Karena kupikir, itulah warisan yang engkau tinggalkan. Karena sapi dan sawah sudah lama raib. Sapi-sapi dijual guna membiayai pengobatanmu dan biaya sekolah anak-anakmu, dan sawah digadaikan guna membangun rumah baru.

Saya tidak ingin melupakan apa-apa yang telah membekas di benakku.

Untuk mengenangmu, selain menulis sejudul cerpen yang khusus merekam tentangmu. Saya pun menambahkan inisial ‘AR’ di belakang namahku. Meski di ijazah akronim itu tidak tertera. Dan tentunya dengan proyek penulisan 30 hari menulis surat imajinatif ini. Saya tidak ingin melewatkanmu, Ambe. (Bugis: Ayah).

Kuharap ini sebagai permohonan maafku, karena kepergianmu tidak saya tangisi. Usiaku masihlah 7 tahun kala itu. Sungguh, saya belum paham untuk menangis.

***

Makassar, 19 November 2012

Catatan:
Abdul Razak, adalah bapak saya, wafat di tahun 1997.



Komentar

Postingan Populer