Jakarta, 25 Maret 1992

Hamid Jabbar

Sejak Proklamasi diteriakkan 17 Agustus 1945, esoknya, negeri ini masih mengeluarkan darah hingga usianya ke 67 tahun. Sebuah angka yang semestinya menikmati hasil dari jalan terjal yang telah ditapaki. Layaknya seorang kakek yang duduk di kursi melihat cucunya bermain layangan.

Tuan Hamid Jabbar, di kurun waktu 2005 hingga sekarang, negeri ini masih saja sinonim dengan tahun-tahun kala Tuan masih bersua. Getir.

Tuan! Ada segerobak sajak yang telah lahir dari tangan-tangan penyair, masing-masing merekam peristiwa yang tak sepertinya hanya mengulang-ulang peralihan waktu. Korupsi, pemerkosaan, amuk sosial, dan gempa. Itulah tema besarnya.

Rasanya ingin memproklamirkan ulang negeri ini. 

Tuan Hamid Jabbar! Delapan tahun sudah Tuan di sana, sejak Tuan terjatuh dari mimbar usai membacakan sajak.

Apakah di sana Tuan masih menggubah syair untuk negeri ini? Ataukah Tuan sudah memproklamirkan sebuah negeri yang Tuan impikan. Negeri di mana rakyat berhak mengatasnamakan diri sebagai pemilik sah setiap jengkal tanah air.

Ah! Saya ingin sekali melihat Tuan membacakan sajak Proklamasi Kedua di bulan Desember tahun ini, agar peralihan tahun tak sekadar hitungan.

SAJAK PROKLAMASI KEDUA

Kami bangsa Indonesia
dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia
untuk kedua kalinya!
Hal-hal yang mengenai
hak asasi manusia
utang piutang
dan lain-lain
yang tak habis-habisnya
INSYA ALLAH
akan habis.
diselenggarakan
dengan cara yang seksama
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya

Jakarta, 25 Maret 1992

Atas nama Bangsa Indonesia
Boleh-Siapa saja

***


Makassar, 17 November 2012



Komentar

Postingan Populer