Di Bawah Lindungan Gedung

Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Lelaki paruh bayah yang baru pulang dari tanah suci, Mekah. Menceritakan pengalamannya kepada tetamu yang datang di rumahnya. Ia menjelaskan luasnya ruas jalan di kota Mekah, Madinah, dan Jedda. Sungguh berbeda dengan Jakarta, apalagi Makassar.

Ketika salah satu tamu mengajukan tanya perihal bukit-bukit di sekitar Kakbah yang sering ia daki kala menunaikan ibadah haji 30 tahun yang lalu. Dengan lugas lelaki itu menerangkan kalau Kakbah kini bermandikan cahaya dari segala penjuru. Cahaya rembulan pun sepertinya kalah.

Penanya itu diam keheranan sebelum mengangguk.

Tuan Hamka, Mekah yang Tuan rekam 74 tahun silam bukanlah Mekah yang bertahan sebagai kota ziarah. Karena bukit-bukit gersang itu telah berubah menjadi gedung-gedung yang menantang langit, dari sanalah muasal cahaya yang mengalahkan rembulan. Dan sepertinya, kubus kecil yang sering dikerumuni itu sudah kehilangan bayang. Orang-orang yang bertandang lebih senang mendongak menangkap puncak gedung dan mengukur lebar jalan.

Mengapa demikian Tuan Hamka?

Bisakah kita mencegah laju ini! Kota ziarah yang bergegas menyamai New York, London, atau Paris. Apakah kita keliru jika menganggap jejak-jejak Rasulullah dan keluarganya adalah sesuatu yang suci. Tuan Hamka, saya yakin kalau anda juga tidak sepakat jika makam Khadijah, istri Nabi, dihancurkan lalu bekas kediamannya dijadikan kakus umum.

Dan, peziarah yang berjubel tiap tahunnya hanya menjumpai hantu-hantu modernisasi, dan itulah cerita yang akan disampaikan kepada sanak keluarga dan tetangga.

Tuan Hamka! Saya jadi teringat Ali Syariati, cendekiawan muslim yang menulis risalah Makna Haji yang berbeda dengan risalah lainnya yang pernah ditulis. Di buku itu, tak ada penjelasan tentang tata cara haji sebagaimana yang sering diteriakkan orang-orang yang disebut ustaz di layar kaca. Ali Syariati hanya mengingatkan kembali esensi dari haji itu. Amin Rais yang menterjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia, berkomentar: kalau ia sepertinya belum berhaji.

Saya pun teringat gubahan Tuan, Di Bawah Lindungan Kakbah. Tetapi kini, Kakbah yang tuan tangkap sebagai aura tauhid, rasa-rasanya hilang akibat gempuran cahaya yang mengalahkan sinar rembulan. Mekah, tak ubahnya sebuah tempat wisata, layaknya orang-orang menghabiskan uang ke Disney Land.

***


Makassar, 16 November 2012



Komentar

Postingan Populer