Dari Tuah Soekarno dan Asumsi Lainnya

Jelas sudah, dua bakal calon presiden dan wakil untuk Pilpres pada 9 Juli tahun ini. Dari dua kubu koalisi telah mengumumkan dua pasangan kandidat. PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura bersepakat mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Di kubu lainnya, Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB, serta Golkar mantap mendukung Prabowo Subianto berpasangan Hatta Rajasa.

Dari PDIP yang diketuai putri sang proklamator, Megawati, sejak mulanya selalu diselimuti aroma Soekarno. Puan Maharani, cucu presiden pertama itu sesaat setelah deklarasi kembali mengulang pernyataan kalau pengajuan Jokowi dan JK diharapkan sebagai bentuk perwujudan cita-cita Bung Karno. Apa itu, negara mandiri, berdaulat, dan pro rakyat jelata.

Lalu bagaimana dengan Prabowo, di beberapa kesempatan kala ia berpidato, gaya Bung Karno senantiasa membaluti dirinya. Peci hitam bertengger di kepala, kemeja putih berkantong sepasang di dada, dan tentunya, lumayan memiliki kecakapan beretorika tanpa teks di tangan.

Eks ketua MPR, Amin Rais, bahkan memujinya mirip Bung Karno bila dilihat dari samping maupun depan. Pernyataan itu dilontarkan ketika dirinya diminta protokol untuk memberikan sambutan di deklarasi pencalonannya di hadapan partai pengusung. Sontak, riuh tepuk tangan menyambut pujian itu.

Lalu, siapa pilihan rakyat. Di sinilah letak pertarungannya. Pilpres tahun 2014 sebagaimana perhelatan sebelumnya selalu penuh dengan simbol hingga mitologi. Lihatlah, bagaimana Jokowi dilihat sebagai perwujudan pemimpin yang menolak glamor. Klop dengan pasanganya, Jusuf Kalla, walau termasuk pengusaha sukses dan eks wakil presiden di periode 2004-2009, penampilannya tidak berubah. Bersahaja dan apa adanya.

Di sisi yang lain, Prabowo Subianto, eks komandan pasukan baret merah (Kopassus) di era orde baru, ditengarai selaku sosok pemimpin tegas dan berani menetapkan sebuah keputusan. Mendengar obrolan seseorang di warung kopi, Prabowo digambarkan selaku pemimpin yang akan disegani di antara pemimpin di kawasan Asia Tenggara.

“Saya yakin, Malaysia tidak akan berani lagi mengganggu wilayah perairan Indonesia jika Prabowo menjabat presiden,” ungkap orang itu mantap yang diangguki kepala berulang kali lawan bicaranya. Mendengarnya, saya menjadi yakin kalau masyarakat merindukan pemimpin tegas. Tetapi, bisakah itu dijadikan fondasi. Saya kira belum, sebab, ketegasan tak melulu menyangkut kekuatan militer.

Besar sekali kemungkinan kalau orang itu, yang saya dengar obrolannya di warung kopi adalah bagian masyarakat yang merasa menemukan ketenangan di era orde baru. Namun, hal yang demikian sesuatu yang wajar.

Bila kita menghitung generasi yang akan terlibat selaku pemilih di pemilihan presiden mendatang. Sebagian masih generasi dari era orde baru. Sebagian lagi generasi yang hidup dengan ragam perspektif. Di tengah arus informasi yang tak terbendung seperti sekarang ini. generasi yang disebutkan kedua, ialah mereka yang memiliki saluran informasi lebih beragam ketimbang yang disebutkan yang pertama.

Jadi, referensi yang digunakan tidak selalu warta dari saluran televisi. Melainkan dari diskusi, hasil kajian, dan buku. Artinya, dengan banyaknya rujukan, memungkinkan untuk melakukan penilaian terhadap sosok yang akan bertarung di Pilpres. Paling tidak, mereka ini mampu memberikan tanggapan dan menetapkan keputusan setelah membaca rekam jejak sang tokoh.

Kita tentu bertanya, mengapa Puan Maharani mengulang cita-cita perjuangan kakeknya dan bukan pada prestasi ibunya yang juga pernah menjabat presiden. Dan, mengapa pula Prabowo Subianto seolah ingin menjelma seorang Soekarno. Lokasi pendeklarasiannya pun dilakukan di rumah Polonia di kawasan Jakarta Timur yang dulu menjadi rumah Bung Karno.

Dugaan awamnya, apalagi kalau bukan mengandalkan mitologi presiden RI pertama. Berharap ingatan pemilih (masyarakat) mampu menjangkau jejak bapak bangsa. Bahwa Soekarnolah yang dengan berani telah mengumandangkan proklamasi. Jadi, silakan memilih pasangan yang hendak kembali melanjutkan impian beliau. Kira-kira begitulah penggunaan mitologi perihal Bung Karno akan bekerja.

Tetapi, cukupkah semua itu sebagai bekal strategi guna menyelesaikan permainan. Hanya koalisi yang tidak belajarlah yang hanya menggunakan satu ujung tombak untuk menyentuh hati pemilih.

Siapa Jokowi, ia bukanlah ketua partai dan genealogi biologis dari Bung Karno. Mengapa Golkar memilih mundur dari bursa pencapresan dan wakil. Bukankah suara Golkar yang disebut-sebut suara rakyat itu pemenang kedua perolehan suara pada Pileg lalu. Lantas, mengapa mendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Ah! Rasa-rasanya, Golkar hendak memenangkan permainan yang lain.

Dan, Jusuf Kalla, akan berseberangan dengan partai di mana ia pernah menjabat selaku ketuanya. Jangan lupakan Wiranto dengan biduk Hanuranya yang memilih merapat ke mazhab Teuku Umar pimpinan Megawati. Bagi saya, dua koalisi yang telah terbentuk ini sama sekali bukan hal baru. Hanya melahirkan asumsi baru dari peta politik yang tengah berjalan.

Mengingat, bangsa hanyalah komunitas bayang-bayang sebagaimana tesis Indonesianis, Benedict Anderson. Karena itu, guna merekatkan komunitas perlu lem politik yang kuat. Menjadikan sosok pemersatu dari masa lalu (Soekarno) boleh jadi merupakan pilihan. Sisa menyembunyikan saja dulu kepentingan tertentu sebelum disibak kembali jika telah memenangkan permainan.
_



Komentar

Postingan Populer