Ada Empat Hal yang Sulit Diterka

Abdurrahman Wahid


1/

Almahrum Nenek saya, suatu ketika menceritakan pengalamannya. Saat usianya sudah 20 tahun, ia masih saja tinggal di rumah orang tuanya. Ia heran, karena belum menempati sebuah rumah bersama seorang suami. Layaknya perempuan seusianya kala itu yang sudah menikah dan membangun rumah.

Hingga usianya beranjak 26 tahun, ia masih saja memasak dan mencuci piring di rumah orang tuanya. Ia berhenti berharap. Di antara perempuan sebayanya, hanya dirinya yang belum jua menikah.

Merasa jenuh berkutat di rumah, ia memilih mengembalakan sapi di sore hari. Suatu pekerjaan yang tak pernah ia lakoni. Karena dari sebelas bersaudara, ia satu-satunya anak perempuan. Tak peduli teguran dan cibiran yang menghampiri. Seminggu setelahnya, ia mendapat pinangan. Ia sangat bahagia.


2/

Ketika masih SMP, ada teman se kelas yang sudah sebulan lebih tidak masuk sekolah. Pasalnya, ia sakit. Minggu pertama, guru kelas mengajak kami ke rumah sakit guna membesuk. Teman itu terbaring lemas, tak bisa melihat kedatangan kami. Di antara kami ada yang menangis, termasuk guru kelas.

Dua minggu sesudahnya, kami kembali membesuk. Kali ini bukan lagi di rumah sakit, tetapi di rumahnya. Ia menyambut kami sambil terbaring di ranjang. Teman itu tersenyum, ia sangat bahagia melihat kami datang. Guru kelas dan beberapa teman tak lagi menangis. Semua tersenyum. Sebelum kami pamitan, teman itu berujar: “Minggu depan, jika sudah bisa mandi pagi. Saya akan ke sekolah.” Kami serentak menjawab. “Amin….!!!”


Seminggu kemudian, guru kelas kembali mengajak kami ke rumah teman itu. Kali ini kami melayat, ia telah wafat. Dan, di wajah kami semua mengalir sungai yang deras.

3/

Ayah saya wafat ketika saya masih kelas satu sekolah dasar. Dengan peristiwa itu, salah satu kakak saya tidak bisa melanjutkan jenjang sekolahnya ke tingkat SMA. Emak saya tak punya kuasa untuk menanggung biaya bagi empat anaknya yang masih sekolah ketika itu, solusinya, mesti ada jeda. Hingga dua kakak lainnya menyelesaikan jenjang SMA, barulah kakak saya itu mendaftar di salah satu sekolah menengah atas.

Emak saya sugguh kewalahan, satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakoni, ialah mattekeng (Penyebutan bagi pedagang yang mendatangi pelanggannya, barang yang ditawarkan tidak dibayar tunai, melainkan dicicil. Di situlah proses pencatatatan dilakukan untuk menandai jumlah pembayaran yang sudah dilakukan. Nah, mattekeng itu bisa diterjemahkan sebagai pedagang yang menawarkan barang untuk dicicil).

Walhasil, dengan usaha itu, saya menyelesaikan sekolah menengah pertama.


4/

Tahun 1999, Tuan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Cerita yang beredar di kampung saya, bahwa negeri ini akan menuju kehancuran. Bagaimana mungkin seorang buta didaulat menjadi pemimpin sebuah Negara. Begitu kekhawatiran masyarakat.

Tahun 1999 hingga 2001, saya kira itu rentang waktu yang singkat. Sangat singkat, Gusdur. Jangankan masyarakat umum, orang-orang di DPR pun tak kunjung memahami keputusanmu. Terlebih saat Tuan mengunjungi Israel guna menjajaki jalinan kerja sama antar Negara. Uh! Kami benar-benar tak bisa menerka jalan pikiran Tuan.

Gus, setelah kau lengser, tembok tebal yang tumbuh di kepala kami perlahan roboh. Sehingga dengan demikian, perlahan pula kami dapat memahami jalan pikiran Tuan. Terlebih saat Tuan wafat di tahun 2009, Rasa-rasanya, kami semua kehilangan.

Gus! tiga fragmen cerita di awal surat saya ini, adalah narasi untuk menggambarkan dirimu. Bahwa di negeri ini ada empat hal yang tak bisa diterka. Pertama, adalah jodoh. Kedua, itu ajal. Ketiga, tentu saja rezeki. Dan keempat, itu pikiran Anda, Gus!

***

Makassar, 9 November 2012



Komentar

Postingan Populer