Presiden Baru dan Tantangannya


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah tuntas selaku negara berdaulat sejak 1945. Dan, Soekarno selaku presiden pertama, telah menjalankan tugasnya membingkai wilayah kepulauan ini ke dalam satu bangsa (nation). Setelahnya, Soeharto melengkapinya dengan aksesoris pembangunan. Kemudian, di era peralihan, Habibie merasa perlu melepas satu wilayah kepulauan (Timor Timur) dan mengamini beberapa tuntutan reformasi.

Di tangan Gusdur, negara ini mencoba mengganti baju agar lebih dekat dengan masyarakat. Imlek menjadi hari raya dan Irian Jaya disebut Papua. Juga menegaskan kepada dunia kalau NKRI adalah negara berdaulat yang tak bisa lagi dipisahkan antar kepulauan. Kembali ke titik peralihan, Megawati mencoba meneruskan kedaulatan itu sebelum kemudian pamit dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memegang amanat rakyat di tahun 2004.

Hasilnya, negeri ini memang tidak bubar, tetapi geliat sosial dan alam tak hentinya mengguncang. Konflik horisontal dan bencana menandai zaman ini. Dan kini, di tahun 2014, proses peralihan kepemimpinan kembali digelar. Bisakah negeri ini menandai jejak zaman dengan hal-hal yang bisa disyukuri bersama sebagai warga negara berdaulat. Jawabnya, tentu bukan pada rumput yang bergoyang. Melainkan pada kecakapan pemimpin di masa mendatang. Itu tak lama lagi, karena sebabnya tengah berjalan.

Masih di pemilihan umum (Pemilu) tahun ini, metodenya sama dengan pemilu sebelumnya. Setelah parlemen (DPR, DPD, DPRD) dilalui, tibalah gilirannya kepala pemerintahan (Presiden dan Wakil) dipilih. Wajah-wajah itu sepertinya telah diakrabi, bahkan kita telah menghafal nama-namanya sebagaimana kita mengingat nama jalan yang saban hari dilalui. Ya, di sudut-sudut jalan memang, wajah-wajah yang nantinya dipilih itu telah lama berada di sana. Senyumnya sungguh manis, juga terdapat kalimat yang tentunya bisa diingat. Semacam mantera yang mereka sebut sebagai visi.

Negeri ini sebagaimana diketahui, dihuni lebih 200 juta jiwa yang tersebar di 33 provinsi. Wilayah itu tentulah dipisahkan bentang laut maha luas. Diperlukan moda transportasi laut atau udara guna menginjaknya. Dan perlu pula diketahui, di dalam wilayah itu juga berjarak antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain, kota dengan kota yang lain. Juga dibutuhkan moda transportasi laut, darat, dan udara untuk saling terhubung.

Di setiap wilayah itu berisi beragam potensi alam yang jika dikelola dengan baik atas nama kedaulatan (berdikari) maka akan menghidupi entitas mahkluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan) di dalamanya. Dengan kata lain, akan terjalin harmonisasi kehidupan. Ini jika dikelola dengan kearifan. Bila tidak, maka akan berlangsung pengusiran salah satu mahkluk hidup. Biasanya, manusia akan memenangkan pertarungan itu. Lihatlah, bagaimana Orang Utan (Pongo Pygmaeus) atau Harimau (Panthera Tigris) di kepulauan Kalimantan, Jawa, Sumatera harus minggat atau mengalami kepunahan lebih awal karena diskriminasi pembangunan. Tak hanya itu, sejumlah jenis tumbuhan yang berdaulat di dalam hutan tropis di sejumlah wilayah di negara ini bernasib sama dengan hewan. Semua itu atas nama pembangunan basis ekonomi.

Kita tentu menyimpan tanya, apakah berjalannya ekonomi harus selalu menyepelekan mahkluk hidup yang lain. Menjawab ini, sepertinya sedikit rumit. Dibutuhkan pelbagai analisis pengetahuan. Tetapi, bukankah keberadaan mahkluk hidup adalah bagian dari kelangsungan ekologis yang pada dasarnya dibutuhkan juga oleh manusia?

Jangan sampai kita melupakan keberadaan gunung yang menjulang di sejumlah daerah, negara ini bahkan terikat dalam cincin api. Itulah alasan ilmiah mengapa gempa selalu hadir. Tetapi, dalam sejarahnya, negeri ini kadang merancang gempa sendiri (baca: korupsi).

Menjawab tantangan

Tak dimungkiri, tantangan yang disebutkan di ataslah yang akan dihadapi pemimpin negeri ini. Luasnya wilayah yang terpisahkan lautan, bentangan daratan di setiap daerah, dan menjulangnya gunung. Memaknai gunung di sini, bisa dibaca dengan dua pendekatan. Pertama, gunung berapi yang selalu memuntahkan lahar dalam setiap waktu erupsinya. Kedua, gunung karst yang menjadi bahan dasar pembuatan semen.

Membaca jejak lima presiden sebelumnya dan SBY yang masih menjabat, adalah bahan evaluasi bagi presiden yang akan datang. Wilayah negeri ini masing-masing memiiki riwayat tersendiri sebelum bersepakat dalam satu ruang bernama Indonesia. Tersendiri itu barang tentu mencakup keberagaman bahasa dan budaya serta kekayaan sumber daya alamnya. Jika tidak disentuh dengan kemanusiaan, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan bara yang kemudian berujung pada chaos.

Perlu disadari sejak awal, bahwa memenangi pemilihan mungkin mudah. Tetapi, yang perlu dimaknai ialah seni memimpin sebuah negeri yang tidak hanya dihubungkan daratan, ditumbuhi julangan gunung, tetapi juga dibentangkan lautan ini. Di situlah titik tolaknya. Sebab, bagaimanapun juga, negara ini menjadi definitif karena keberadaan daerah. Dan, dari daeralah sumber bumi itu berasal.

Itulah yang perlu dikelola oleh presiden mendatang, tak hanya sekadar bediam di singgasana. Melainkan perlu untuk selalu berenang (lautan), berjalan (daratan), dan mendaki (gunung) guna menjumpai dan melihat apa yang terjadi di daerah. Itulah hakikat keberadaan Presiden di negara kepulauan terbesar di dunia ini.
_

Dimuat di Tribun Timur 15 Maret 2014



Komentar

Postingan Populer