Lapar: Ada Pegadaian atau Menipu Sajalah
Apa arti lapar bagi
seorang pengemis? Tidak adanya belas kasih dari seorang yang berkelebihan. Di
kota besar, dengan mudah dijumpai para pengemis mengiba, berharap ada yang
peduli dengan keadaannya. Namun, itu kesimpulan yang melupakan struktur sosial
yang tumbuh karena ketidakadilan.
Sulit menyepakati jika
kesalahan ditimpakan pada mereka yang harus berkawan dengan terik saban hari di
tepi jalan kota melihat lalu lalang kendaraan pribadi yang tak ada habisnya.
Fondasi kota sepertinya melupakan mereka setelah mereka memberi jalan.
Saya kira permulaannya
memang demikian. Lalu bertarunglah manusia-manusia di dalamnya untuk memberi
penegasan pada dirinya sendiri. Di sudut manakah hendak berdiri untuk bersaksi
dan memberi makna pada jalannya hidup di gempita pemukiman.
Kota, sejak dahulu kala
pun sudah menjadi lawan bagi mereka yang tidak siap dengan gerak cepat. Di
Christiania tahun 1890, kota berreferensi nama seorang raja itu telah
berlangsung pergulatan batin salah satu warganya.
Andreas Tangen, bukan
nama sebenarnya, itu hanya taktik agar bisa numpang tidur barang semalam di
penjara. Ia sungguh miskin, mengalahkan kesaksian bila harus membandingkannya
dengan orang miskin di sekitar kita. Ia terus merasakan lapar tak terkira hingga
pusarnya pernah mengeluarkan darah. Dan, terkadang memamah potongan kayu kering
sebagai pengganti roti.
Knut Hamsun, saya
mengenal nama novelis peraih nobel sastra tahun 1920 asal Norwegia ini di blog
Eka Kurniawan di tahun 2012. Termasuk telat di tengah lalu lintas informasi
yang tak terbendung di dunia maya, saya baru berjumpa dengan novel Lapar tahun
ini. Sekali lagi, itu sungguh telat. Novel yang diterjemahkan Marianne Katoppo
yang terbit pertama kali di tahun 1993 itu tuntas juga. Ketika berada di toko
buku, saya menyisihkan 1984-nya George Orwell. Saya sedih karena tidak bisa
membawa kedua novel itu sekaligus.
Knut Hamsun menarasikan
jejak hidup seorang penulis miskin yang mencuri hidup di kota. Penulis itu tak
bernama, di novel kita mengenalnya dengan sebutan ‘Aku’. Aku inilah yang terus bercerita, bermonolog menceritakan
kehidupannya yang ringkih. Pengalaman saya, serasa menonton pagelaran tunggal,
rasanya begitu dekat dengan Si Aku ini.
Bagi penulis yang mengandalkan
honor dari sebuah koran, tentu mengalami hal yang sama dengan Si Aku. Ada
kecewa ketika telah menuntaskan sebuah naskah lalu tidak dimuat. Weis, itu bahkan menyakitkan. Apalagi
honor yang diimpikan adalah jalan melunasi utang. Tetapi, Si Aku tidak mau
menyerah dan menolak menengadahkan tangan pada seseorang di jalan. Ia bukan
pengemis dan bangga selaku penulis miskin dengan honor yang tak seberapa. Asal
bisa menutupi uang makan dalam sehari atau melunasi tunggakan indekos, itu sudah cukup.
Ia sungguh terasing
sekaligus mau bertanggung jawab pada prinsip hidup yang diampuhnya. Solider
terhadap seorang bocah yang pernah dilihatnya suatu ketika sedang diludahi dan
memiliki rasa pada seorang perempuan yang pernah ia buntuti di jalan yang
akhirnya berhasil juga mendapatkan ciuman darinya.
Si Aku boleh jadi orang
yang terobsesi dengan pikirannya sendiri. Perawakannya digambarkan sebagai
seorang lelaki yang jarang mandi, berbusana kumal dan tentu saja kurus.
Satu-satunya yang membuat kita memendam kekaguman, karena mengaduh hidupnya
dengan menulis, walau berulang kali pula ia mencari suatu pekerjaan yang lain.
Begitulah, Si Aku,
penulis artikel, cerpen, kadang pula menulis puisi itu dengan sendirinya
mengakui kerendahan diri ketika berpura-pura meminta tulang untuk anjing yang
tak pernah dimilikinya. Sesungguhnya, tulang dengan sedikit daging mentah yang
masih menempel itu untuk ia kunyah. Sedih sekali untuk seorang penulis berbakat
yang dengan telaten selalu menyusun naskahnya dengan baik walau itu tak
sepenuhnya lolos di hadapan seorang redaktur.
Lapar itu gugatan atas
putusnya welas asih, tidak adakah tetangga yang iba. Knut Hamsun membangun
medan tafsir, sebab itu urusan pembaca. Meski telat membayar sewa kamar, induk
semang (Ibu Indekos) mau juga memberi ruang pada Si Aku bergabung dengan
keluarganya karena kamarnya telah disewa seorang pelaut untuk beberapa hari.
Jadilah dirinya penonton atas perilaku kekerasan. Tetapi, itu hanya bergejolak
dalam batinnya. Mana berani ia mengusik ketenangan suami induk semang dan
anaknya yang tanpa dosa mempermainkan seorang lelaki tua lumpuh. Itu sungguh
berat walau Si Aku menegur juga karena sudah tidak tahan.
Satu hal yang perlu
diingat, pegadaian itu sungguh membantu dalam memperolah uang dalam waktu singkat.
Tak hanya bagi seorang ibu yang emoh mengutang pada kerabat atau saudara,
misalnya, untuk pembayaran biaya kuliah anaknya. Keberadaan pegadaian sejak
dahulu pun menjadi dewa penolong bagi mereka yang teramat lapar. Si Aku
mengandalkannya sebagai salah satu jalan guna mengganjal kulit perutnya segera.
Di antaranya, menggadaikan selimut pinjaman kerabatnya dengan kerikuhan yang
dalam.
Terakhir, Si Aku sedang
berusaha menuntaskan satu naskah drama yang digadang sebagai jalan pembuka
pintu nasib yang lebih baik. Walau kemudian memilih pergi meninggalkan kota.
Bersedia menjadi pekerja apa saja di lambung sebuah kapal. Ia berlayar
menyudahi kelaparannya hidup sebatang kara di kota. Mungkin di kapal, ia dengan
mudah memperoleh roti Perancis dan tidak dipusingkan lagi dengan sewa kamar.
Dan, itu dilakukannya hasil sebuah pembualan di hadapan kapten kapal.
***
Pangkep-Makassar,
21 April 2014
Komentar