Tuhan, Maradona Meminjam Tanganmu dan Zidane Menolak Berutang




Setiap kali piala dunia akan digelar, kita tidak hanya berhadapan dengan momen yang akan tercipta. Tetapi juga, jejak yang telah mengendap di benak. Semisal, gol tangan Tuhan Maradona yang membuat Inggris berang di perempat final piala dunia tahun 1986 Mexico. Peristiwa itu tentu takkan terkubur, selalu diingat sebagai heroisme sekaligus kelicikan.
Tuhan maha tahu, tetapi menunda, tulis sastrawan Rusia, Tolstoy. Kebenaran untuk Inggris baru didekap setelah Maradona mengangkat trofi, pengakuan yang sungguh tertunda. Merasa bersalahkah Maradona? Entahlah, yang pasti, ia merupakan hero bagi Argentina. Seolah melengkapi pesta, lelaki bertubuh gempal itu didapuk selaku pemain terbaik.

Sepak bola bukanlah dunia tanpa aturan, sebebas apa pun pemain bergulat di dalamnya, perlu diingatkan untuk melakukan introspeksi. Bunyi sempritan yang ditiup wasit, adalah rem untuk jeda. Bahwa menendang kaki pemain guna menghentikannya merupakan perilaku yang dilarang. Begitupun dengan menyentuh bola secara sengaja maupun tidak bagi pemain selain kiper. Hanya, hal yang demikian bisa saja tidak disemprit bila sang wasit tak melihatnya. Hal itulah yang menjadi keburuntungan Maradona. Melompat menyambut bola, seolah itu merupakan sundulan bagi wasit. Ceritanya akan lain, jika saja wasit melihatnya. Petakalah bagi Argentina, karena Maradona bisa saja diganjar kartu merah.

Tuhan memang bagi siapa saja. Dan, 19 tahun setelahnya, Maradona menyebutkan bila Tuhan punya campur tangan atas gol yang dibuatnya. Bisakah ini diterima? Silakan berpendapat. Sepertinya, sejarah menyangkut sepak bola tak sekadar kejeniusan pelatih, keadilan wasit, atau kegesitan pemain. Lebih dari itu, saya kira. Selalu saja ada yang terlewatkan kemudian lahirlah cerita berupa makian dan pembelaan. Maradona mungkin megak kala ia menggiring Tuhan dalam arena. Tetapi, ia juga membuktikan kalau manusia memiliki otonomi atas narasi takdir yang ditapaki. Gol kedua ke gawang Inggris adalah buktinya. Menggiring bola seorang diri dari tengah lapangan dan mengelabui lima pemain sebelum menaklukkan kiper. Namun, momen itu tetap saja luka bagi Inggris.

Menurut filsuf asal Iran, Murtadha Muthahari, sejarah terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, sejarah tradisional, merupakan kejadian yang terjadi di masa lalu kaitannya dengan masa kini. Kedua, disebut sejarah ilmiah, rangkuman pengetahuan menyangkut hukum yang menguasai kejadian yang berlaku di masa lalu. Ketiga, filsafat sejarah, perihal pengetahuan yang membawa perubahan secara bertahap di masyarakat.

Memakai ketiga pendekatan di atas,  gol tangan Tuhan dan tidak adanya kartu merah bagi Maradona, sudah menjadi kejadian di masa lampau dan merupakan bahan evaluasi. Terbukti, di gelaran piala dunia selanjutnya tidak ada lagi gol hasil kreasi tangan. Sungguh sebuah ketegasan ketika Luis Suarez diganjar kartu merah karena menahan sundulan Dominic Adiyiah dengan tangannya ketika Uruguay berjumpa Ghana di perempat final piala dunia 2010 Afrika Selatan. Wujud perubahan itulah yang dimaksudkan dalam filsafat sejarah.

Namun, tantangan tak pernah mati. Di final piala dunia tahun 2006 Jerman, dua biru kembali bergumul, Italia dan Perancis. Azzuri membawa catatan luka kekalahan di final piala Eropa tahun 2000 Belanda-Belgia ketika gol emas David Trezeguet memastikan Les Blues merengkuh kemenangan. Sebaliknya, pertaruhan bagi Zizou, sapaan akrab Zinedine Zidane, guna membuktikan sisa kejayaan di usianya yang sudah menginjak 34 tahun.

Tetapi, pahlawan Perancis di piala dunia tahun 1998 itu harus melepas ban kapten dan berjalan menunduk meninggalkan rekan-rekannya. Keputusan wasit asal Argentina, Horacio Elizondo, mengganjarnya kartu merah setelah ia menanduk Marco Materazzi. Perlu diingat, jika wasit tak melihat kejadian itu. Sempritan ditiup setelah pemain Italia mengingatkan.

Terjadilah dialog, selaku wasit., tak laik jika hanya mendengar sepihak. Hakim garis turut bersaksi. Di layar kaca pun, dengan jelas kita menyaksikan kepala plontos Zidane menubruk dada Materazzi. Sejarah berhenti sejenak dan ribuan tanya menyeruak, mendesak menuntut jawab.

Setelahnya, Zidane tak melibatkan Tuhan dalam penjelasannya kepada publik, ia cukup menegaskan markahnya selaku manusia yang tak ingin direndahkan. Meski menolak sesumbar, publik menjadi yakin kalau Materazzi memaki Zidane yang membuat pemain berdarah Aljazair itu murka. Bila benar demikian, bukankah memaki juga merupakan pelanggaran. Sayang, jangankan wasit, kita pun tentu tak mendengarnya. Itu sepenuhnya rahasia pemain bernomor punggung sepuluh itu.

Zidane memang melanggar aturan. Karena itu wajib diberi kartu merah. Namun, benarkah warna itu merupakan indikasi buruknya seorang pemain?  Sepertinya tidak, mungkin saja Materazzi menganggap kalau Zidane harus dihentikan, apa pun caranya. Sebab, bukankah pemain terbaik disematkan di pundak eks punggawa Juventus dan Real Madrid di turnamen itu. Lantas, tepatkah kartu merah buat Zidane? Silakan berpendapat.

***
Pangkep-Makassar, 10 Maret 2014



Komentar

Unknown mengatakan…
mantap...jadi review piala dunia :) heheheee
kamar-bawah mengatakan…
Heheheh, sekadar mengulang saja, kanda. Terima kasih telah singgah

Postingan Populer