Kuda Hitam atau Kuda Troya



Korea Selatan menempati posisi ke empat di piala dunia tahun 2002. Sejak awal, banyak yang meragukan tim ini mampu melaju sejauh itu. Jika diperhitungkan, tak lebih karena Korea Selatan salah satu tuan rumah selain Jepang. Usai melumat Polandia 2-0, publik masih menganggap sebagai keberuntungan. Sebab sesudahnya, Amerika Serikat mampu mengimbanginya dengan skor 1-1. Namun, Portugal pun dipaksa meringis, meski hanya kemenangan 1-0.

Hasil akhirnya, tim berjuluk Tigers of Asian itu menjadi juara grup D. Terlebih setelah memaksa Italia takluk di putaran 16 besar. Korea Selatan semakin diperhitungkan, sebutan kuda hitam pun dialamatkan pada tim yang diarsiteki Guus Hiddink itu. Sebuah pengakuan enggan pada rival yang akan dianggap sebagai sandungan.

Berdasarkan sejarahnya, istilah kuda hitam bermula ketika Alec Ramsey, tokoh rekaan dalam novel The Black Stallion gubahan sastrawan berkebangsaan Amerika Serikat, Walter Farley, selamat dari hantaman ombak yang menerjang kapal yang ditumpanginya. Sebelumnya, di kapal itu ia melihat seeokar kuda Arab berkulit hitam. Dia tertarik dengan kuda itu dan menghampirinya, sewaktu badai menghantam kapal. Alec berusaha melepaskan ikatannya. Dan, di hari naas itu, hanya dia dan kuda itu yang selamat. Mereka berdua terdampar di sebuah pulau sebelum datang pertolongan.

Setelah tiba di Amerika Serikat, Alec dibantu Henry Dailey, seorang pelatih kuda. Hanya, kuda hitam Alec tak bisa diikutkan dalam kejuaraan pacuan berhubung kudanya itu tidak memiliki silsilah yang jelas. Akhirnya, The Black Stallion, julukan yang disematkan Alec untuk kudanya itu hanya diikutkan pada turnamen yang tidak memiliki asal usul yang jelas. Tak dinyana, Cyclone dan Sun Raider, sebutan bagi kedua kuda pacuan tercepat di kelasnya itu bisa dikalahkan. Sejak saat itulah sebutan kuda hitam dialamatkan pada orang atau tim yang tak diunggulkan namun juara.

Beralih ke peristiwa piala dunia tahun 2002, Korea Selatan, barangkali hanyalah pelengkap bagi sejumlah tim dari Eropa atau Amerika Latin. Awalnya pun, sang tuan rumah ini dipandang tak lebih sebagai salah satu penyelenggara saja. Tetapi, kemenangan tragis atas Italia di putaran 16 besar, sepertinya merupakan pukulan telak bagi tim lain. Hanya, kemenangan itu mengandung kontroversi yang tak terlupakan. Sebab wasit asal Ekuador, Byron Moreno, menganulir gol Damiano Tomassi dan mengganjar kartu merah untuk Fransesco Totti yang dinilai melakukan diving. Akhirnya, Ahn Jung Hwan, menyarangkan gol emas di menit 118. Banyak tudingan, kalau wasit berpihak pada tuan rumah kala itu.

Si kuda hitam pun berjumpa Spanyol di putaran berikutnya. Sungguh sebuah kejutan. Sebab tim Matador, julukan Spanyol dipaksa mengakui kekalahan lewat adu penalti dengan skor 5-3. Dengan kemenangan itu, sepertinya Korea Selatan bukan lagi kuda hitam, ia telah menjelma selaku kuda Troya. Sebuah perangkap yang diduga sebagai hadiah. Merujuk pada perang kerajaan Sparta dan Troya dalam mitologi Yunani.

Anggaplah Korea Selatan telah mencuri Guus Hiddink yang didapuk sebagai pelatih, lelaki berdarah Belanda itu tentu memiliki pengetahuan yang memadai menyangkut sepak bola Eropa. Terbukti, empat tim dari Eropa (Polandia, Portugal, Italia, dan Spanyol) berhasil diusir (baca: dikalahkan) sebelum kemudian takluk akibat serbuan tim Panser, Jerman, di perempat final. Di perebutan posisi ketiga, si kuda Troya benar-benar hancur. Takluk akibat serbuan pasukan Turki di stadion Daegu. Walau begitu, pertarungan hingga titik penghabisan ditunjukkan sebelum menyerah dengan skor tipis 3-2.

Nampaknya, di perhelatan itu, Korea Selatan merupakan tim yang memberikan kejutan. Karena di gelaran piala dunia berikutnya, tahun 2006 di Jerman. Korea Selatan tidak lolos ke putaran 16 besar. Begitupun di piala dunia 2010 di Afrika Selatan. Hanya menembus putaran 16 besar dan takluk di tangan Uruguai.

***
Pangkep-Makassar, 18 Maret 2014



Komentar

Postingan Populer