Catatan Pembacaan Nurhady Sirimorok
![]() |
Dok. Kamar Bawah |
Di pertengahan tahun 2006, saya
berkunjung ke toko buku Gramedia Mall Ratu Indah Makassar. Menuntaskan dahaga
menatap dinding dipenuhi buku setelah setahun lebih tak saya jumpai di kota
Sorong, Papua Barat. Kota kecil yang saya kunjungi di akhir tahun 2004.
Setelah puas menatap majalah, saya
beranjak menuju rak sastra. Ada banyak sekali karya terbaru terpajang. Tak
biasanya rak berisi karya fiksi itu ramai pengunjung. Apakah ini gejala bila
sastra telah mengalami perkembangan pembaca?
Saya menduga.
Beberapa pengunjung sepertinya
berlomba untuk mencari sebuah buku untuk segera dibawa ke kasir. Kulirik,
mereka memegang sebuah novel lumayan tebal. Wah, warga Makassar memang sedang
gandrung karya sastra. Bermaksud mengetahui novel apa gerangan, saya pun meraih
salah satunya. Laskar Pelangi, itulah
yang tertera di sampul dilengkapi siluet seorang bocah yang sedang duduk .
Tentu saja saya tidak membelinya, sebab harganya terbilang mahal bagiku.
Rupanya saya telat, sejak tahun 2005
ketika awal mula novel ini terbit. Pembahasannya sudah marak di media cetak,
bahkan saya masih mendapati puja-pujinya di tahun 2006. Disebut-sebut sebagai
karya sastra fenomenal dari seorang pendatang baru di jagat sastra tanah air.
Andrea Hirata, putra Belitong penggubah novel super laris itu yang mulanya
kupikir keturunan Jepang.
Karena belum membacanya, tentu saja
membuncah penasaran yang mendalam. Terlebih kemudian sutradara paradigmatik
Riri Riza punya hajatan mengangkatnya ke layar lebar. Seorang kawan di Pangkep
malah lebih dahulu menjadikannya rujukan utama dalam menuliskan tugas akhir
strata satunya. Demam Laskar Pelangi
semakin menggila, layaknya seorang bocah telah menemukan mainan baru.
Saya juga termasuk orang yang setia
menunggu filmnya dirilis, bersama seorang kawan telah kuikat janji untuk ke
Makassar menonton filmnya di bioskop sebagai film yang paling ditunggu-tunggu
itu sebagaimana ucap sang sutradara di salah satu stasiun televisi.
Hingga filmnya meledak di pasaran,
novel itu belum juga saya baca hingga tahun 2009, bahkan ketika dua sekuelnya, Sang Pemimpi dan Edensor menyapa publik. Malah, saya lebih dulu membaca Edensor karena buku itu saya dapatkan di
loakan buku di pelataran masjid Almarkaz di suatu Jumat. Harganya yang miring,
tentu sayang bila dilewatkan. Di sana, Ikal tak lagi di tanah kelahirannya, melainkan
sudah di Eropa dan melakukan sejumlah perjalanan menembus Afrika.
Hal yang tidak saya dapatkan di media
massa, pembahasan (bukan pujaan) mengenai novel yang direncanakan pengarangnya
itu menjadi empat bagian (tetralogi). Rupanya hal yang demikian itu derita saya
sendiri. Lalu lintas di dunia maya sebenarnya sudah ramai sekali. Maklumlah,
saya baru membangun koneksi di dunia maya di tahun 2010. Melalui tautan yang
saya dapatkan di Facebook, saya
mendapatkan bacaan panjang yang mengulas novel yang telah mendongkrak minat
baca masyarakat Indonesia (meski ini masih menyisakan ruang dialog).
Dari judul pembahasan itu sudah
menunjukkan kritik yang mendalam. Andrea
Hirata Mundur Dua Abad, demikian tertulis tebal di laman panyingkul.com, media sosial yang pernah
menjadi ruang pertukaran ide dan informasi pengguna internet di Makassar.
Bermula dari sanalah, melalui googling hingga saya menemukan pajangan
buku Laskar Pemimpi: Andrea Hirata,
Pembacanya dan Modernisasi Indonesia, terbit di tahun 2008. Buku itu saya
dapatkan juga di toko buku Papirus, Makassar. Masih dengan sampul yang menampilkan
deretan sepuluh anak-anak yang rupanya menimbulkan protes dari sejumlah orang
yang menanyakan izin penggunaan gambar itu. Hal ini juga menjadi ramai di salah
satu situs di internet.
1 Juli 2012, bersama seorang kawan, saya
bertemu dengan penulisnya untuk terlibat pembicaraan menyangkut pelaksanaan
seminar hasil penelitian IPM di Pangkep. Sebagai pengantar, saya menyodorkan
buku itu untuk memperoleh tanda tangan sambil mengutarakan perihal sampul yang
dinilai lalai itu. Nurhady Sirimorok, penulis buku tersebut membenarkan dan
memperlihatkan cetakan terbarunya. Memang telah terjadi kekeliruan yang
dilakukan perancang sampulnya.
Buku ini terdiri 6 bab yang didahuli
catatan pembuka: “Saat catatan ini mulai
saya tuliskan, mungkin orang-orang sedang berdandan, atau tengah buru-buru
menuntaskan pekerjaan, atau bisa jadi sibuk menelepon teman buat janjian.
Mereka siap-siap ke bioskop nonton pertunjukan, sebuah film yang sudah lama
mereka nantikan.” Wah! Sepertinya Nurhady mengetahui rencana saya, dan
jutaan orang di negeri ini yang memang menantikan pemutaran film Laskar
Pelangi.
Di catatan pembuka itu, Nurhady
mengutarakan pengalaman sekaligus alasan mengapa menulis buku ini. Mulanya juga
terjadi di pertengahan tahun 2006, ia membuka halaman Laskar Pelangi yang harus
dihentikannya segera karena menemukan banyak cacat dan sulit dipercaya.
Sebagai peneliti sosial, ia kemudian
kembali berkhidmat di daerah terpencil yang jauh dari akses internet. Setahun
kemudian begitu kembali ke kota, ia menemukan dirinya kaget bukan kepayang.
Menemukan orang-orang di sekitarnya membicarakan novel itu. Intinya, semacam
ada perayaan yang terjadi.
Masih di catatan pembuka, Nurhady
menulis: “Tentu saya tidak ingin
mengatakan bahwa pendapat saya lebih benar daripada pemuja Andrea Hirata, sebab
setiap pembaca memaknai bacaannya dengan dituntun oleh pengalaman dan
pengetahuan masa lalunya. Pembaca adalah subyek aktif yang mencomot apa yang
ingin ia comot, mengingat apa yang ingin ia ingat, membuang apa yang ingin ia
buang. Mereka menilai menurut takarannnya masing-masing. Sehingga, suara saya
hanyalah salah satu suara dari orang yang pernah membaca novel-novel Andrea
Hirata.”
Tidak banyak memang buku kritik kalau
tidak ada sama sekali yang mengiringi pertumbuhan karya sastra di Indonesia sesudah
reformasi. Dan, buku ini adalah salah satunya. Catatan pembacaan Nurhady, ingin
mengingatkan kalau Laskar Pelangi tak
hanya cacat narasi, tetapi juga sesat gagasan. Ia membayangkan seandainya Edwar
Said sempat membaca novel Andrea Hirata ini. Tentulah sang pemikir itu akan
tersenyum kecil sebelum menepuk jidatnya. Takjub dengan pengaruh orientalis
yang tertanam dalam di batok kepala sang novelis. Di balik pemujaan Andrea Hirata
terhadap geliat akademik di Paris. Sesungguhnya merupakan pemaknaan sempit. Edwar
Said dalam karya monumentalnya, Orientalisme
telah mengingatkan bahwa orientalisme merupakan cara pandang Barat memahami
Timur. Di dalamnya terjadi dominasi dan hegemoni. Parahnya, Andrea Hirata
terjebak di sana.
Semangat modernisme inilah yang hendak
dijejalkan, yang tak tak habis pikir mengapa nilai itu masih didengungkan.
Bukankah teori ini sudah mati tak berkutik sejak dua abad lalu. sebagai karya
fiksi bergenre realis, Nurhady dan mungkin kita sebagai pembaca tentu sulit
menyepakati bila Lintang tak pernah sekalipun bolos atau beralasan sakit guna
membantu sekali waktu orang tuanya melaut. Benarkah di sekolahnya ia menjumpai
guru dan teman-temannya yang tak pernah membuatnya jengkel dan membutuhkan
sehari tidak ke sekolah.
Sefiksi apapun sebuah karya sastra,
tentulah sulit diterima bila mengandung tata logika yang kacau. Misalnya saja,
Andrea Hirata telah melukiskan dengan sempurna kondisi bangunan sekolah mereka
yang hampir roboh, miskin fasilitas, dan kawanan kambing sering memanfaatkannya
sebagai kandang. Tetapi, demi memuluskan jalan Lintang sebagai anak cerdas, Andrea
Hirata tiba-tiba menemukan Lintang di suatu ketika sedang menyapu di ruangan
kantor kepala sekolah. Di sanalah Lintang menemukan buku-buku hebat seperti
filosofi Pascal, binominal Newton, teori limit, diferensial, dan lainnya.
Tegasnya, Lintang sudah menguasai semua itu ketika kelas satu SMP, mulanya
tentulah dari sekolah Muhammadiyah yang
miskin tanpa fasilitas dan dianaktirikan pemerintah karena untuk membeli kapur
saja, sekolah ini harus mengutang. Lantas, dari mana buku teori yang ditemukan
Lintang itu yang tentu mahal bagi sekolah ini.
Nurhady mengajukan dugaan kalau Andrea
Hirata telah kehabisan akal dan menempuh jalan pintas dengan meminjam adegan
film Finding Forrester, yang tokoh
utamanya menemukan ‘ilmu’ sebagai tukang sapu. Adegan itu dipindahkan ke
ruangan kepala sekolah dimana Lintang sedang membersihkan (menyapu) dan
menemukan ‘ilmu’ (buku). Sungguh fantastis.
Sekolah sebagai ruang legitimasi
sosial sekaligus bentuk praktik pencapaian rancangan strategi kebudayaan yang
dicanangkan Orde Baru benar-benar menjelma sakti bagi Ikal. Sepertinya jalan
lurus guna mencapai cita-cita yang didamba. Itulah impian yang menjadi dogma
dan Ikal mempercayainya.
Di sekuel film Laskar Pelangi, Sang Pemimpi.
Ikal yang duduk di bangku sekolah menengah atas sempat mengalami nilainya
jeblok yang membuatnya malu sendiri pada ayahnya. Ada niat untuk meninggalkan
sekolah dan menjadi pelaut. Sekali lagi, guru mengingatkan untuk tetap merebut
cita-cita melalui sekolah. Dan, ikal kembali untuk memperbaiki nilai di akhir
sekolah dan menuju Jakarta melanjutkan kuliah.
Sekolah lebih dari apa pun, sebagai
perbandingan, Nurhady memperkaya bukunya ini dengan mengajak pembaca menjejaki
penganjur modernisme sebelum Andrea Hirata. Adalah penulis angkatan 60-an,
Mansur Samin. Di luar dari gagasan, karyanya ini sudah merupakan bagian dari
kampanye modernitas ala Orba yang coba melakukan penjejalan literasi dengan
bacaan yang membuat mereka mengamini ketertinggalannya hidup di daerah
terpencil.
Kuto Anak Dusun Terasing, judul cerita anak itu. Mengisahkan
kehidupan masyarakat di pedalaman yang belum tersentuh pembangunan. Karena itu,
untuk mengangkat harkat habitat mereka. Anak-anaknya perlu diperkenalkan dengan
pengalaman baru selain bercocok tanam sebagaimana yang selama ini berlangsung
di kehidupan mereka. Ruang mendapatkan pengalaman yang dimaksud tentu saja di
sekolah.
Narasi selanjutnya sudah bisa ditebak,
penggambaran sosok manusia modern dan tertinggal. Pak Abdi, guru baru yang
diutus ke sana menjadi muasal kampanye pembaharuan. Menerapkan upacara bendera saban Senin sebagai bentuk
nasionalisme. Dan yang terpenting, anak-anak pedalaman itu memupuk cita-citanya
untuk terbebas dari ketertinggalan rumpun mereka. Ajaib, anak-anak suku
terasing yang bersekolah berhasil menjumpai cita-citanya. Di antaranya menjadi
guru dan pemimpin perusahaan negara. Itulah cita-cita yang dimaksudkan,
menjauhkan diri dari lingkungan asal. Seolah bercocok tanam (petani) bukan
merupakan profesi umat manusia.
“Tiba-tiba saya teringat
sebagian besar anggota Laskar Pelangi yang ketika dewasa bisa mencapai
cita-cita masa kecinya. Bagaimana bisa akhir cerita Laskar Pelangi sangat mirip
dengan Kuto Anak Dusun Terasing?” Tulis
Nurhady. Sungguh penegasi atas karut marut sekolah yang kita alami.
***
Pangkep-Makassar, 22 Januari 2013
Komentar