Bukan Aku, Ada Harimau dalam Tubuhku
![]() |
Sampul edisi pertama, 2005 (Dok. Kamar Bawah) |
Berselang
setahun ketika saya membeli Cantik Itu
Luka, novel perdana Eka Kurniawan, tahun berikutnya, 2005. Barulah saya
menuntaskan ingin mendekap Lelaki Harimau,
novel kedua yang terbit pertama kali di tahun 2004, tahun ketika saya baru
membuka halaman novel pertamanya.
Novel
itu saya pesan di Makassar melalui kakak lelaki. Mungkin itu pengalaman
pertamanya ke toko buku dan memintanya menitip pada sepupu yang akan berangkat
ke Sorong, Papua Barat. Tahun itu saya sedang mencuri hidup di tanah Papua.
Kepulauan paling timur negeri ini.
Dari
judulnya, mengingatkan legenda yang diceritakan tetua di kampung. Orang-orang
di zaman dulu, banyak mencari kekuatan lain dengan bersekutu dengan binatang.
Utamanya harimau, monyet, kuda, atau ular. Tetapi itu tentulah hikayat yang
diceritakan dari tutur tiap generasi. Seperti percaya dan tidak. Novel ini juga
mengingatkan judul sinetron di salah satu stasiun televisi (jika tidak keliru,
disiarkan Indosiar) di sekitar tahun 1998 atau 1999 (Saya tidak ingat pasti).
Novel
ini membawa pembaca untuk terus membacanya tanpa jeda bila tak ingin
ketinggalan kaitan cerita. Seumur hidup, baru kali ini membaca novel yang
teknik bertuturnya begitu mengalir. Cerita dibuka dengan pembunuhan dengan cara
purba dan barulah di akhir buku ditemukan alasan itu.
Menuntaskannya
di tahun 2005. Sepertinya teramat mudah mengingat tokoh dan konflik yang
terjadi sehingga saya tidak menuliskan pengalaman pembacaannya. Barulah di
tahun 2014, saya membacanya kembali dengan menyicilnya hingga empat malam dan
harus menunggu istri terlelap karena berulang kali memintanya dijauhkan dari
pandangannya. Tak kuasa menatap sampulnya.
Lelaki
itu bernama Margio, pemuda berusia sekitat 20 tahun dan menjadi saksi
satu-satunya atas pengkhianatan (mungkin pilihan) yang dilakukan ibunya
sendiri. Membiarkan dirinya bunting bukan hasil persetubuhan dengan Komar bin
Syueb, lakinya. Namun Margio nampaknya menyetujui saja demi satu alasan yang
sebenarnya masih sulit ia sepakati. Teramat absurd kalau bukan pengkhianatan
itu sendiri, agar Nuraeni, ibunya, yang selalu menderita sejak menikah dengan
Komar. Terpancar riang di wajahnya. Itu saja.
Teramat
sulit memang diterima, Margio berpihak pada ibunya. Meski ada iba pada ayahnya
juga. Namun itu kadang dikalahkan jijik yang sudah tumbuh sejak kecil. Terlebih
lagi ketika Komar menghilang entah ketika ibunya melahirkan Marian, anak haram
jadah menurut Komar.
Keluarga
ini lahir ketika Syueb, ayah Komar menyepakati perjanjian dengan ayah Nuraeni.
Begitulah laku orang-orang di kampung mereka. Membicarakan pernikahan bahkan
sang anak masihlah bocah. Sebagai anak, Nuraeni menyepakati saja meski belum
mengenal apalagi menatap wajah bakal calon lakinya itu.
Mulanya
kebahagian itu ada, beranjak dewasa, Nuraeni dan lelaki yang tepisah usia jauh
itu terlibat dalam satu penjajakan yang nantinya dipahami sebagai kasih.
Berpisah lagi untuk sementara sebab Komar harus menjalani rantau mencari bekal
untuk mendatangkan mahar sebagai bekal nikah.
Setahun
lamanya mereka terpisah, karena Komar baru datang untuk merayakan lebaran. Di
selah itu, di awal pekan Nuraeni tentulah setia menunggu kabar dari sang
pujaan. Hanya, Komar tak pernah sekalipun hadir mewakili dirinya di sepucuk
surat yang sangat didambah Nuraeni untuk mendekatkan rindu. Tercatat, itu
sebagai kecewa pertama Nuraeni pada calon lakinya.
Sebagaimana
kemudian, kepulangan berikutnya, Komar sudah sah memperistri Nuraeni. Dan,
lahirlah Margio dan Mameh, anak lelaki dan perempuan mereka dari hasil
persetubuhan yang tidak membahagiakan Nuraeni. Disebabkan lakinya lebih
mengedepankan birahi kebinatangan ketimbang laku manusia melakukan proses
menumbuhkan manusia.
Boleh
jadi ada sesal di benak Nuraeni, mengapa Tuhan mengirimkan lelaki bejat
untuknya. Tetapi itu tak pernah ia ungkapkan. Sekadar oceh yang tak terpahami
ketia ia berada di depan tungku yang kemudian disimpulkan Komar kalau bininya
telah sinting. Belakangan kedua anaknya juga menganggap sama. Tanggung jawab
Komar sebagai kepala rumah tangga bukannya lalai. Tak lama setelah menikah,
lelaki yang berprofesi tukang cukur itu berani menyewa rumah untuk sang istri
yang menurut Nuraeni lebih tepat disebut kotak semata. Tak ada petak di
dalamnya, hanya dinding saling berdiri dan bertemu di setiap ujung yang ditutup
atap.
Benar
saja, rumah yang disewa Komar itu adalah gudang kelapa milik seorang kaya.
Untuk beberapa lamanya, di sanalah keluarga itu berteduh menyambung hidup
sebelum akhirnya Komar punya rencana besar menggiring keluarganya menuju rumah
milik sendiri setelah cincin enam gram yang dulu maharnya dijual untuk
mendapatkan rumah 131, demikian Komar menyebutnya yang hampir roboh di tanah Ma
Rabiah.
Sekali
lagi, Komar menempuh jalan heroik dengan mempersembahkan sertifikat kepemilikan
tanah bercap jempol keriput Ma Rabiah. Kini, tak hanya rumah sendiri, melainkan
tanah tempat berdirinya rumah yang dulu sarang tikus itu. Belakangan, Komar
mempercantiknya dengan mengganti genting yang rapuh, membongkar dinding
kusamnya, dan bersama Margio yang beranjak dewasa mengalas rumah itu dengan
lantai plester. Lengkaplah tanggung jawab Komar mempersembahkan rumah utuh buat
anak bininya. Meski tak juga membuat Nuraeni menyunggingkan senyum sekadar
menghormati usaha lakinya yang terlanjur membuatnya sakit hati itu.
Sebenarnya
sulit juga memahami kejengkelan Nuraeni, bila itu terkait kelalaian Komar tak
berkirim surat di masa lalu. Atau polah suaminya yang dikuasai setan kala si
tukang cukur itu memaksanya telanjang di malam pertama. Tidak laik memang,
tetapi bukankah hal yang demikian memerlukan dialog. Paling tidak Nuraeni
mengingatkan atau mencoba melawan. Sayangnya, di novel ini miskin dialog. Eka
Kurniawan sepertinya hendak menceritakan semuanya. Saling terkait dan
memadatkan kisah di setiap bab.
Disepakati
saja kalau kemiskinanlah hulu segalanya yang mengakibatkan keluarga ini
terjerembab dalam nestapa berkepanjangan. Di balik tanggung jawab Komar selaku
ayah. Juga mendadak menjadi bajingan bagi Nuraeni dan Margio. Terkadang Mameh
yang pendiam, belum lengkap bila tidak kebagian hantam.
Jejak
itulah yang menumbuhkan dendam di tubuh Margio, hendak memenggal leher ayahnya
atau mencabiknya dengan taring ketika ia menyadari kalau harimau putih itu
rupanya terwariskan untuknya. Ia tergugah kala kecil mendengar dongeng Ma Muah
tentang harimau yang tak sungguh hidup di alam nyata. Tetapi benar ada dan
kakek Margio salah satu yang memeliharanya. Margio kecil tertarik untuk
memilikinya, dan selalu menempuh perjalanan menjumpai sang kakek. Itulah hari
ketika ia memiliki waktu untuk menghindari kejenuhan di rumahnya. Tak lagi
melihat murung ibunya atau menghindari murka Komar.
Meski
kakenya pernah mengucap keyakinan kalau kelak dirinyalah yang akan menjadi
pemilik. Margio diderah juga perasaan iri kepada ayahnya. Jangan-jangan si
tukang cukur kejam itu yang berhasil merawatnya. Sebelum meyakinkan dirinya di
suatu pagi setelah semalam rebahan di surau, harimau seputih angsa yang bulunya
selembut kemoceng dan hampir sebesar sapi itu menjilati kakinya di kala pagi.
Dengan sadar Margio memanggilnya, Kakek.
Margio
yang tumbuh menjadi pemuda berbadan kekar akibat tempaan alam karena seringnya
bergabung dalam komplotan Mayor Sadrah berburu babi hutan. Dan mungkin pula
didikan kejam ayahnya. Membuat Komar sadar dengan tubuhnya yang terbalik makin
ringkih. Tentulah itu tantangan yang harus disadarinya. Walau Margio tak juga
menggigit lehernya ketika kembali memukul dan menendang Nuraeni yang di balik
keceriaannya rupanya merawat benih lelaki lain di rahimnya. Alasan itulah
mungkin yang membuat Margio iba pada Komar. Dan kemudian menempuh jalan lain
sebagai pelarian. Bersedia menjadi perawat binatang di rombongan sirkus yang
kadang singgah pentas di kampung mereka, Margio pikir itu jalan menjauh dari
realitas keluarganya sendiri sembari mencari tahu cara menjinakkan harimau
meski itu sulit bila yang dimaksudkan si harimau putih itu.
Begitulah
hingga ia kembali lagi ke rumahnya setelah seorang supir bus menyampaikan kabar
duka kematian ayahnya yang hampir membusuk karena Mameh tak tahu harus berbuat
apa di malam ayahnya wafat, apalagi Nuareni hanya berdiam dan bercakap dengan
panci dan tungku di dapur.
Sebagai
anak yang masih merawat dendam, Margio emoh menaburkan bunga mengiringi keranda
menuju pemakaman. Namun takluk juga atas desakan Mameh agar turut ke serta di
sisa sore yang mendebarkan. Penggali kubur sudah kelimpungan setelah
berkali-kali menambah panjang lubang galian yang tak juga bisa memuat jenazah.
Tak ada pilihan lain, selepas doa yang dirapal Kyai Jahro. Mayat malang itu
dikubur juga sebagaimana adanya. Meringkuk serupa anjing di lahad di samping
makam Marian sebagai permintaannya sendiri. Anak haram jadah, ia bilang dulu.
Kematian
Komar bukannya membuang jauh nestapa keluarga ini. Nuraeni terus dirundung
murung tak bertepi. Makin menjadi-jadi selepas Marian yang tak cukup sebulan
menghirup udara harus ia lepas kepergiannya. Margio sepenuhnya memegang kendali
untuk mengembalikan keceriaan ibunya. Ia rela memutus hubungannya yang sedang
tumbuh dengan Maharani, putri bungsu Anwar Sadat yang ternyata memilihnya
sebagai kekasih. Berat bagi Margio untuk terus menjalaninya. Sebab itu kunci
utama bagi ibunya guna memperoleh kebahagiaan, pikirnya.
Dan,
kembali di sisa sore ia memberanikan diri menuju rumah gadis itu. Bukan untuk
menjumpainya melainkan mencari ayahnya. Sebab perempuan itu keburu berlalu ke
kota meninggalkan sisa liburnya yang masih ada setelah Margio berterus terang
padanya kalau hubungan mereka sulit dilanjutkan. Barangkali saja itu momen
mengakhiri nestapa panjang keluarganya.
Di
ambang pintu Anwar Sadat muncul dari dalam. Kesempatan yang tak ingin disiakan
pemuda yang ditubuhnya bersemayam harimau putih. Dihampirinya lelaki paruh baya
itu. Tak disangkanya, rupanya Margio mengetahui perselingkuhannya. Maksud
Margio baik, ingin berdamai dan menawarkan solusi agar Anwar Sadat menikah
dengan ibunya.
Tetapi
maut tak dapat ditolak, Anwar Sadat memintanya sendiri. Ia menampik jalan
perdamaian itu. Begitulah kemudian harimau putih di tubuh Margio keluar dan
memutus leher penanam benih di rahim ibunya itu. Tetapi Margio bersikukuh.
“Bukan aku,” ucapnya di sel rayon militer ketika ia diamankan di sana. “Ada
harimau dalam tubuhku.” Katanya lagi tanpa dosa.
***
Pangkep,
19 Januari 2014
Komentar