Bumi Pram
Dok. Kamar Bawah |
Saya membeli Bumi
Manusia, seri pertama tetralogi
buru
Pramoedya Ananta Toer cetakan
kesembilan tahun 2002. Dan, saya perlu membacanya sampai tiga kali baru bisa memahami alur dan
konteks ceritanya. Setelahnya, barulah saya mengenal Minke, Nyai Ontosoroh, dan
Annelies. Ketiganya
terkait selaku menantu, mertua, dan anak.
Sepeninggal Pram, saya membaca artikel penyair
Eka Budianta di
Kompas, 7 Mei 2006. Dari situ saya
mengetahui kalau di Inggris Selatan ada seorang perempuan yang menulis panjang
untuk berterima kasih setelah membaca roman Bumi
Manusia-nya Pram. Sastrawan Prancis penolak Nobel tahun 1964, Jean Paul Sartre mengirimkan mesin tik buat Pram. Heinrich Boel,
pemenang Nobel sastra
tahun 1972 dari Jerman
mengirimkan lukisan ayam jago sedang
bertarung sebagai simpatik kepadanya.
Barulah di tahun 2009 saya baru bisa mendapatkan seri
kedua, Anak Semua Bangsa cetakan kesepuluh April 2008. Jadi, terhitung tujuh tahun baru bisa menyambungkan bacaan
tetralogi buru.
Maklum, di rentang waktu dari tahun 2002 hingga 2009, saya pengangguran. Saya
hanya menyimpan keinginan untuk menuntaskan tetralogi itu.
Dok. Kamar Bawah |
Tahun
2002, kala itu saya masih kelas dua sekolah menengah atas. Dan membaca novel
bukanlah tren di lingkungan di mana saya tumbuh, termasuk di komunitas
mahasiswa tempat saya sering bergaul. Namun begitu, mereka tidak mencibir bacaan
saya. Malah bangga sekaligus heran saja, sebab nama Pram di tahun itu belumlah
lepas dari bayang-bayang Lekra. Lembaga di mana Pram pernah berkhidmat dan
selalu dihubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saya
sendiri tidak tahu pasti mengapa bisa gandrung dengan novel Pram. Bahkan saya
lupa siapa yang pertama kali memperkenalkan sosok ini. Jika harus menduga,
mungkin ini ada kaitannya dengan Liga Mahasiswa Demokrasi untuk Indonesia
(LMND), saya sering menghadiri diskusi yang digelar di kampus. Di antara
aktivisnya, mereka sering membaca puisi Wiji Thukul. Nah! Siapa lagi itu, saat
itu saya tidak tahu. Di tengah pergumulan itulah mungkin saya mendengar sosok
Pram, kalau negeri ini memiliki sastrawan yang pernah dipenjara akibat
karya-karyanya. Di penjara karena berkarya, besar kemungkinan kalau informasi
itulah yang tertanam sehingga saya penasaran ingin membaca karyanya. Benarkah
novelnya berisi hasutan untuk segera melakukan revolusi.
Berbekal
sebuah baju koko pemberian dari Yayasan UMI yang kemudian saya jual lagi kepada
teman seharga Rp 40.000,- agar bisa membeli seri pertama tetralogi buru.
Hasilnya, saya malah mengantuk membacanya. Itulah pengalaman pertama membaca
novel. Meski begitu, saya tetap tertantang untuk mengoleksi keseluruh seri itu
bahkan semua karya Pram.
Begitulah,
hingga kawan-kawan mengenal saya sebagai penggemar berat Pram. Meski label itu
terdengar berlebihan. Terlebih lagi, saya sering mendengar kalimat menggugah: “Anda boleh bersekolah setinggi-tingginya.
Tetapi, jika tidak berkarya maka Anda akan hilang dari sejarah dan dilupakan
masyarakat”. Ampun! Lalu apa yang bisa saya harapkan dari bersekolah. Di dalam
gedung itu saya hanya didikte dan diingatkan untuk membayar iuran SPP.
Cukup
buku Sekolah Itu Candu yang membuatku
malas ke sekolah. Eh, Pram menantangku untuk berkarya. Karya apa yang bisa
kulakukan jika di sekolah hanya mendengarkan pengulangan-pengulangan. Saya
menolak memenuhi buku catatan saya dengan diktean guru, lembaran kosong itu
saya penuhi corat-coret yang tak jelas, kadang pula saya menggambar wajah guru
dan teman-teman saya di situ meski tak pernah benar-benar mirip. Saya harus
berkarya agar tidak dilupakan. Doktrin itu terus tertanam. Dan, mulailah
menulis puisi. Saya rikuh mengakui ini.
Seorang
kawan pemilik toko buku di
pelataran masjid di kampus II Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Safwan Yusuf, mengabari kalau ia memiliki salah satu karya Pram, tetapi cuma antologi cerpen Percikan Revolusi Subuh. Tentu saja saya bahagia mendengar
kabar itu, paling tidak saya bisa memperoleh potongan harga.
Dok. Kamar-Bawah |
Persisnya
saya lupa kapan berkunjung ke toko buku itu. Yang pastinya, saya tidak
memperoleh potongan harga sebagaimana yang kuharapkan. “Kita harus menghargai Pram dengan usahanya menulis cerpen yang merekam
sepotong jejak revolusi negeri ini,” ucap kawan itu. Saya manggut saja dan
membenarkan, harga buku Pram memang tergolong mahal. Setidaknya untuk ukuran
saya, tetapi itulah salah satu jalan untuk menghormatinya. Membeli buku asli
dan bukan bajakan.
Satu hal yang masih saya pendam,
adalah perjumpaan langsung dengan Pram.
Tetapi hal itu
sepertinya tak akan terjadi lagi karena ia sudah wafat. Di tahun 2003 ada sedikit kesempatan untuk berjumpa, itu terjadi ketika saya dan teman-teman berkunjung ke Yogjakarta. Karena kami menumpang nginap di kantor Insist
di Belimbing Sari, salah seorang aktivis Insist memberi info dengan membawa selembar poster
kalau di kampus UGM bakal ada seminar
yang mempertemukan antara si buta dan di si tuli, atau Gusdur (si buta)
dan Pram (si tuli). Sekaligus peluncuran karya-karya Pram termasuk
terjemahan Tikus dan Manusia karya Jhon Steinbeck, sastrawan asal Amerika Serikat yang
meraih Nobel di tahun 1962.
Namun, hal itu urung kami hadiri, sebab harus segera berangkat ke Bandung. Saya hanya meminta
poster seminar itu yang menampilkan Pram, di bagian bawahnya ada tumpukan buku dengan secarik kertas yang terselip
bertuliskan: “Anda boleh bersekolah
setinggi-tingginya. Tetapi, jika tidak berkarya maka Anda akan hilang dari
sejarah dan dilupakan masyarakat”. Duh, kalimat itu lagi.
Tahun 2006 saya baru bisa mendapatkan
novel Tikus dan Manusia edisi revisi, cetakan kedua tahun 2003. Di luar dugaan, novel itu sangatlah tipis
dengan jumlah 102 halaman saja. Karena sebelumnya saya mengira novel itu lebih
tebal dari Cannery Row yang juga
karya Jhon Steinbeck.
Tetralogi buruh sejauh yang saya baca. Pram berada dalam kultur dan alam pikiran masyarakat Jawa sebagai
pusat bagi kolonial menguasai Hindia. Dalam pemetaan saya, kerajaan Belanda
memiliki hajatan semisal Inggris untuk membuat suatu koloni negara
persemakmuran, seperti yang terjadi pada Australia, Fiji,
dan Hongkong yang hari ini masih
menjadi negara persemakmuran Inggris. Itulah yang dibedah Pram, sebuah garapan yang masih sangat sedikit orang (sastrawan)
yang melakoninya.
Tetralogi pulau buruh di mata saya telah mengambil tempat
sebagai penyadaran dalam melihat sisi lain sebuah mega proyek negara-negara
Eropa untuk merebut suatu wilayah di Asia Tenggara. Karena secara tersirat
watak kolonial sudah terjelaskan dengan sendirinya melalui bahasa para tokohnya.
Sebutlah misalnya peryataan dari
seorang dokter Kompeni, Letnan Dokter H H Mortsinger yang mengambil kesimpulan dalam mengakhiri
wabah penyakit cacar. Yakni, dengan membakar mayat-mayat yang sudah mati karena
penyakit itu, termasuk penderita yang masih hidup sekalipun. tindakan seperti
itu jelas menunjukkan sikap bertindak kaum penjajah dalam menyelesaikan
masalah.
Melalui Minke seorang pribumi yang menikah dengan Annelies,
keturunan Belanda dari rahim Nyai Ontosoroh yang kemudian berpisah dengan suaminya. Sebab
hukum Belanda mensahkan kalau hidup
Annelies lebih sah di tangan saudara Belandanya dari Bapak yang lain dibanding
di tangan ibunya, karena Nyai Ontosoroh adalah seorang pribumi.
Minke mengambarkan generasi pribumi yang melihat tanah
kelahirannya dalam penjajahan dan mencoba hidup dalam ranah aturan hukum
Belanda dan menjadi pembelajar yang tekun dengan memperhatikan gerakan-gerakan
perlawanan di Asia Tenggara dan perkembangan bangsa-bangsa Eropa.
Nyai Ontosoroh, seorang selir yang menyadari keberadaanya
dalam suatu sistem yang tidak adil, karena ada kemiripan pada raja-raja Jawa
yang memiliki beberapa selir dan yang dilakoni oleh para petinggi Kompeni di
Jawa. Ia berada dalam keluarga besar pengusaha Herman Mellema yang
menjadikannya selir. Dari dalam keluarga itu ia belajar mengelola usaha di
samping mempelajari bahasa penjajah itu sendiri. Ia sosok perempuan yang kuat
yang digambarkan oleh Pram. Melalui sejumlah pernyataan-pernyataannya,
nampaknya ia begitu paham akan ideologi kolonial.
Hingga
kini, saya baru menyelesaikan tiga seri tetralogi buruh. Seri ketiga, Jejak Langkah saya peroleh dari esais
yang juga seniman, Asdar Muis RMS. Buku itu merupakan hadiah karena telah
memenuhi undangan menginap di kediamannya.
Ceritanya
bermula ketika saya menggeledah koleksi bukunya, saya mendapatkan Jejak Langkah dua exemplar dengan perbedaan cover dan tahun terbit. Kedua
buku itu lalu saya perlihatkan kalau salah satunya telah dimakan tikus, meski
tidak sampai merusak isi buku karena hanya menggigit di sisi jilidnya. Meski
begitu, Asdar sigap meraihnya kemudian memeriksa dengan seksama. “Apa bedanya, ya! Pasti ada sehingga saya
membeli keduanya. Oh, ini dia, penempatan endorsementnya.” Terangnya.
“Kau ambil saja ini,” ucapnya
kemudian sambil menyodorkan Jejak Langkah
yang sudah digigit tikus itu.
Jadi,
saya sisa berburu Rumah Kaca guna melengkapi dan menyempurnakan
bacaan tetralogi Buru agar bisa berada di bumi Pram. Saya pikir itu agenda
selanjutnya.
***
Makassar,
5 Desember 2013
Komentar