Perempuan itu Melawan dengan Doa
“Lihatlah tanda merah di
pipi/Bekas gambar tanganmu/Sering kau lakukan bila kau marah/Menutupi salahmu”
Masih ingat dengan lirik tembang di
atas! Bisa dipastikan kalau Anda yang menjadi remaja di medio 80-an hingga
akhir dekade 90-an, mengenal dan bahkan menghafal tuntas hits yang dipopulerkan
Behtaria Sonata.
Kira-kira saya masih berusia tujuh
tahun ketika mendengar tembang ini mengudara, saya mendengarnya jika kakak
perempuan menyetel radio, ia memang mengidolakan penyanyi kelahiran Bandung 14
Desember 1960 itu dan menghafal sejumlah tembang dan memajang beberapa poster idolanya
ini di dinding kamarnya.
Di medio 90-an program musik belumlah
seramai hari ini, maklum saja saluran televisi baru ada dua, TVRI dan TPI. Itu
pun lebih banyak didominasi musik dangdut, mendengarkan tembang pop boleh
dibilang sesuatu yang langka. Dan, tembang Hati
yang Luka menjadi salah satu favorit dari kelangkaan itu. Saya sungguh
menikmatinya jika suara Behtaria Sonata berkumandang di rumah.
“Samakah aku bagai
burung di sana yang dijual orang/Hingga sesukamu kau lakukan itu/Kau sakiti
aku.” Benarkah
tembang ini cengeng sebagaimana yang dialamatkan Harmoko, Menteri Penerangan di
era Orba, sehingga ia memproklamirkannya kalau tembang ini tidak laik didengar.
Tembang gubahan musisi Obie Meshak ini
memang menceritakan pilu seorang perempuan yang berusaha menjaga keutuhan rumah
tangganya. Akan tetapi, itu tidak berhasil dan meminta agar ia dikembalikan
pada Ibu atau Ayahnya saja.
Harmoko mungkin heran karena sosok perempuan
dalam tembang ini sangat lemah, ia hanya bisa merintih tanpa melakukan
perlawanan. Melaporkan perilaku suami ke pihak berwajib, misalnya, karena ia
telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tetapi, hati perempuan
dalam imaji Obie Meshak tidaklah demikian. Ada perlawanan yang digelorakan
dengan caranya sendiri. Ia menceritakan ikhwal kala ia dipersunting. Janji dan
harta, inilah senjata andalan para lelaki ketika melakukan diplomasi.
Setelahnya, ada yang memilih setia. Namun tak sedikit yang melakukan
pengkhianatan.
Dan pada akhirnya, si perempuan
mengundurkan diri (menuntut cerai) sebagai wujud akhir dari perlawanannya. Jadi,
tidak tepat kalau si perempuan dalam tembang ini cengeng. Justru ia menampilkan
diri sebagai perempuan yang heroik, ia tidak gegabah dalam bertindak melainkan
ditempuh dengan strategi yang matang. Mari kita simak bait pertamanya: “Berulang kali aku mencoba/Selalu untuk mengalah/Demi keutuhan kita berdua/Walau kadang sakit.”
Lirik di atas tentulah membawa kita
pada situasi lampau, kalau sebelumnya telah terjadi penghkhianatan pada si
perempuan yang mengakibatkannya mengalami kekerasan psikis. Namun, ia mengalah
dan berharap bisa diperbaiki. Hanya saja, situasinya semakin parah. Sebab si
perempuan sudah mengalami kekerasan fisik. Hal ini mengingatkan kalau perilaku
penindasan itu bermula dari yang tidak terlihat. Hadir sebagai kawan dan
berakhir sebagai lawan. Bukankah jejak kolonialisme seperti itu, mulanya
mencari rempah, membangun diplomasi dagang kemudian melakukan penguasaan.
Tetapi, saya pikir Obie Meshak
tidaklah sejauh itu membangun asumsi. Boleh jadi ia hanya ingin mengingatkan
kalau penindasan itu sangatlah dekat, ada di rumah sendiri. Rasa-rasanya, Obie
Meshak sepakat dengan pemikir feminisme dari Perancis, Simone de Beauvoir.
Bahwa dalam situasi penindasan perempuan selalu saja menjadi korban.
Kita patut merenungkan kalau dalam
situasi kekerasan, kasus KDRT, misalnya, perempuan masih merawat harapan untuk
kebaikan. “Kalaulah memang kita berpisah
itu bukan suratan/Mungkin ini lebih baik
agar kau puas membagi cinta.”
Di sini, si perempuan memutus rantai
penindasan itu dengan bijak, inilah akhir dari strateginya. Melawan kekerasan
dengan kekerasan sama saja merawat kekerasan itu tumbuh subur. “Biar, biarkanlah ada duka malam ini/Mungkin esok kan kau jelang bahagia bersama
yang lain.”
Si perempuan yang tersakiti itu
menutup perlawanannya dengan doa. Sungguh, ia bukan perempuan cengeng. Memang
dia tidak menempuh jalan hukum sebagaimana yang marak kita lihat di televisi,
boleh jadi ia sadar kalau hukum itu sangatlah maskulin, di zaman Orba perempuan
yang melaporkan suaminya ke pihak berwajib justru bisa menjadi bumerang.
Perkara inilah yang harus dibaca, sehingga doa adalah pilihan. Sebab, bukankah doa
adalah bagian dari strategi yang selama ini alpa dalam gerak perlawanan!
***
Makassar, 13 November 2013
Komentar