Saya Ingin Mengingatmu Sebelum Kita Benar-Benar Saling Mengenang



#1

Saya masih mengingat jelas teman-teman semasa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Dari fase ini, tentu memiliki cerita yang berbeda, mulai dari perilaku hingga kisah yang tertanam dalam di benak. Beberapa kepingan kisah itu telah saya tulis dengan ragam bentuk. Kadang mengemasnya ke dalam cerpen atau catatan lepas.

Hanya saja, catatan itu hanya mengulas kedirian saya yang tentunya dilengkapi dengan fiksi. Tidak benar-benar nyata, saya tidak menceritakan siapa pun. Tidak ada masalah di sana. Semangat menuliskan ini telah lama hadir, ketika Andi Astrid dan Imran, teman semasa sekolah dasar saya yang telah meninggal. Yang pertama, seorang perempuan jelita, selalu mendapat rangking di kelas dan memaksa setiap lelaki termasuk saya untuk menggunakan pelembab rambut bila ke sekolah. Kedua, seorang lelaki yang selalu mengundang tawa. Di sekolah, ia termasuk murid yang lambat mencerna pelajaran. Sungguh tidak terbayangkan, di usianya yang 21 tahun, ia menggunakan seragam polisi.

Tetapi, keduanya telah wafat. Andi Astrid meninggalkan dua anak dan suami yang tentu sangat ia cintai. Sebaliknya, Imran pergi kala sedang menjalankan tugas. Ia baru merencanakan pernikahannya. Keduanya berpulang di usia yang masih mudah. Andi Astrid wafat di tahun 2008, tepat 23 tahun. Sedangkan Imran di usia 25 tahun di tahun 2010. Dari 30 orang teman sebangku SD saya, merekalah yang telah berpulang lebih awal.


#2

Memastikan lulus sekolah dasar di tahun 1997, saya mendaftarkan nama di sekolah menengah pertama yang berjarak sekitar tujuh kilo meter dari rumah. Itulah sekolah yang paling dekat dijangkau, SMP Negeri 1 Balocci. Terletak di kaki kawasan karst Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Di fase ini, tak satu pun teman SD yang seruangan dengan saya. Kami terpisah dengan adanya kategori.

Sejarah akan selalu dimulai, di masa SMP, saya berjumpa dengan orang-orang yang baru. Cerita akan ditulis ulang dengan kisah yang berbeda. Utamanya membentuk geng, ini tidak dibentuk dengan sebuah perencanaan matang. Semuanya berjalan seiring waktu, hukum besi berlaku. Teringat tesis Thomas Hobbes, siapa yang kuat, maka dialah pemenangnya. 

Di sini saya merasakan itu. Siapa yang disegani, maka ia akan diikuti. Seorang teman anak polisi, telah menerima bogem mentah dari kepalan tangan kananku. Ia menangis dan dua orang teman yang lain bertepuk riah. Hari-hari selanjutnya, dua teman itu selalu mengekor ke mana pun saya melangkah. Termasuk melunasi sepiring nasi kuning di kantin.

Sebenarnya, saat itu saya telah terikat dalam hubungan yang tidak mengingat antara tiga teman se kelas. Dedi Darman, Herman, dan Hadri. Tidak ada ketua geng, tetapi Hadri menunjukkan gelagat untuk selalu diikuti. Sakunya tak pernah kering, setiap hari sebungkus rokok selalu tersedia dalam tas. Sesekali ia mengundang ke rumahnya untuk makan dan menonton film. Ia memiliki kemewahan itu di antara kami. Tidak hanya itu, siswa perempuan di kelas semuanya takut padanya, ia bertindak dengan kekerasan. Merobek buku, memecahkan kaca jendela, merusak kursi, hingga melakukan pemukulan. Tegasnya, Hadri adalah monster di kelas.

Situasi ini berlanjut hingga kami pindah ruangan ke kelas dua. Hadri masih mempertahankan watak brutalnya hingga kehadiran seorang perempuan mulai mengikis watak jahilyahnya itu. Ya, Hadri mulai jatuh cinta pada seorang adik kelas. Di kelas, ia mulai jadi siswa yang pendiam. Buku catatannya sudah terisi dan sudah mengerjakan tugas. Meski itu masihlah hasil contekan.

Di kaki gunung kala keluar main, Hadri tak lagi hadir membagikan kretek. Situasi yang demikian mengharuskan saya, Dedi, dan Herman membeli sendiri di kantin. Kami tidak menggubris perihal Hadri, di sini tidak ada ikatan untuk memberikan cap pengkhianat. Semuanya berjalan begitu saja.

Hari-hari selanjutnya, saya masih jalan bertiga. Menguasai lapangan basket dan mencuri buku atau bulpoin teman di kelas untuk dijual di kelas satu. Hasilnya, kami nikmati di kaki karst dengan puluhan batang kretek. Madong, teman sekelas yang lain, sering terlibat dalam ritual ini. Ia hadir begitu saja, tidak ada ajakan atau berupa perjanjian menyepakati sebuah aturan. Semuanya alamiah, begitu pun dengan kehadiran teman-teman yang lain dari kelas yang berbeda. Tiyas, Akbar, Kenta, dan yang lain. Tetapi, disaat tertentu, kami tidak mengharapkan kehadiran mereka. Dan, saya yakin mereka juga tidak merindukan kami bertiga. Mereka memiliki ikatan tersendiri dengan teman yang dianggap sejalan. Saya tidak tahu istilahnya. Tetapi, inilah yang dirasakan.

Menjalani rutinitas sekolah kala itu, kami tidak tahu apa yang kami pelajari di ruang kelas. Saya sendiri merasakan kalau aktivitas bangun pagi bukan untuk menjumpai guru-guru menjelaskan mata pelajaran di depan kelas. Melainkan merindukan teman-teman saya, sepertinya tidak lengkap jika tidak bermain bola basket atau mencuri buku teman sekelas. Saya ingat kalau ada mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan, tetapi yang kurasakan, itu sama saja kalau saya mendengarkan cerita. Dan, Matematika, sungguh saya tidak tahu apa manfaatnya. Sepulang sekolah, saya hanya bermain. Bila musim tanam atau panen tiba. Kadang saya tidak membawa buku ke sekolah. Saya pikir, tidak ada yang perlu dicatat.

Kami tidak pernah dibebani untuk meraih peringkat kelas, itu bukan cita-cita kami. Padahal jika mau, saya bisa saja mendapatkannya. Hal yang sama bisa dilakukan oleh Dedi, ia lumayan menguasai bahasa Inggris. Dan, Herman, saya pikir, segalanya akan mudah bila saja ia mau betah di ruang kelas.

Hingga kami menginjak kelas tiga, hubungan semakin lekat, sepertinya kami adalah Big Four yang tak terpisahkan. Guru dan murid dari semua angkatan mengakui itu. Soal Hadri, bagaimana pun juga, kami berjumpa setiap hari. Hanya saja, tidak pernah lagi terlibat petualangan yang sama. Hingga kemudian, kami kedatangan murid pindahan dari sekolah sebuah perusahaan semen, SMP Tonasa. 

Saya tidak tahu mengapa ia memilih sekolah tidak favorit ini, bicara tentang pilihan sekolah. Jelas tidak bisa dilepaskan dari bangunan. Sebagian besar bangunan sekolah kami sebagian masih berdinding kayu, bukan tembok. Itulah mengapa, sekolah kami sering dijuluki sebagai ‘sekolah pembuangan’. Mungkin maksudnya, orang tua yang mendaftarakan anaknya di sini berasal dari keluarga miskin. Entahlah, saya tidak mengerti soal itu.

Namanya Idris, hari-hari selanjutnya, ia mengisi kekosongan Hadri. Saban pagi, kami bertiga ditraktir di kantin mengasup nasi kuning atau mie rebus. Ia benar-benar menggantikan si Hadri, sebab kami tak perlu lagi memutar otak guna mencuri buku untuk dijual dan selanjutnya menukarnya dengan rokok. Idris mampu menutupi semua itu. Dan, tentu saja kami bahagia. Selanjutnya, kami bertiga seolah menjadi pengawal pribadinya. Termasuk menuruti permintaannya kala ia jatuh cinta pada seorang perempuan, adik kelas kami di sekolah. Kamilah yang mengurus semuanya hingga ia berhak atas cinta perempuan itu. Mereka kemudian menjalin kasih.

Masa SMP saya anggap sebagai era tanpa beban, sama sekali tidak ada yang perlu kami risaukan. Tahun 1998, adalah tahun yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Geger di Jakarta yang tersiar di layar kaca, bukanlah halangan bagi guru PPKN kami di sekolah untuk terus menceritakan zaman pembangunan. Bahkan ketika presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998, kami masih menulis di buku catatan menyalin teks dari buku paket perihal Supersemar.

Tahun 2000, adalah fase mengakhiri keceriaan masa SMP. Sekaleng cat semprot dan beberapa buah spidol menjadi pelengkap guna merayakan kelulusan itu. Kami melengkapinya dengan nongkorong di pinggir jalan, menyulut puluhan batang rokok sambil mengulang-ulang Terlalu Manisnya Slank. Sepertinya kami tak menginginkan malam tiba.

Setelah ijazah sudah digenggam, saya dan Dedi heran melihat nilai akhir Idris dengan Herman. Bagaimana mungkin dua orang ini memperoleh nilai yang tinggi dan masuk lima besar. Pada ujian akhir, kami memang tidak berada dalam satu ruangan. Kami terpisah, hal ini dikeluhkan Idris dan Herman. Sebab, pada ulangan harian, kedua orang ini selalu mengandalkan saya untuk memperoleh jawaban. Intinya, jawaban kami berempat tak pernah beda.

Akan tetapi, inilah yang saya herankan, mengapa Idris dan Herman memperoleh nilai layaknya ia seorang bintang kelas. Dan pada akhirnya, persoalan nilai inilah yang mengakibatkan kami terpisah. Sebab, saya dan Dedi tidak bisa mendaftar di SMK 1 Bungoro, Pangkep. Karena adanya kualifikasi NEM (Nilai Ebtanas Murni). Akhirnya, hanya Herman yang mendaftar di sana. Idris menolak, sebab ia didaulat oleh kakak lelakinya untuk sekolah di SMK Kebangsaan Maros. Dedi kemudian memilih di SMA Tonasa. Dan, saya harus meninggalkan tanah kelahiran menuju Makassar. Jadilah saya terdaftar di SMK 1 LPP YBW UMI.


#3

Hari pertama menginjakkan kaki di sekolah, rasanya saya sedang memasuki sebuah museum. Tidak ada tegur sapa, semua pada sibuk pada aktivitas masing-masing. Ya, ini masih masa orientasi. Saya hanya duduk diam di bangku belakang menjalani takdir. Sesekali saya membuka obrolan dengan teman sebangku yang kuyakin kalu ia juga orang baru di Makassar.

Tebakan saya benar, ia datang dari daerah yang lebih jauh. Melintasi lautan guna sampai di kota termegah di kawasan timur negeri ini. Namanya Tengku Ahmad Yani, berasal dari Ambon. Kulitnya legam tetapi tidak berambut ikal, raut wajahnya keras menyembunyikan sisa-sisa. Akh! Saya tidak berani menduga kalau itu oleh-oleh yang ia bawa dari rusuh sosial Ambon di tahun 1998. Tetapi, bekas luka di telinga kanannya boleh jadi merupakan tanda.

Ia sulit sekali melebarkan senyum, kedua tangannya selalu mendekap erat tas punggungya. Seolah seisi ruangan adalah makhluk yang siap menerjangnya. Pun ia menolak bangkit kala seorang senior memintanya tampil di depan kelas. Ia bergeming dengan sorot mata yang marah. Untunglah senior itu mengalah dan meminta siswa yang lain menggantikannya menyanyi. Saya yakin kalau ia akan menerkam senior itu jika tetap memaksanya.

Saya merasa beruntung sebangku dengannya, sebab itu solusi agar tidak didaulat menyanyi atau berjoget di depan kelas. Sebab saya pun mulai memasang wajah keras, kulit saya memang tak jauh beda dengan Tengku. Mungkin senior itu menganggap kalau saya akan bertindak sama jika dipaksa.

Dalam perjalanan selanjutnya, Tengku bukanlah teman jalan saya. Ia pendiam dan memilih Hendro dan Zainuddin sebagai teman jalannya. Mereka bertiga dikenal sebagai siswa yang baik. Tidak pernah membolos dan rajin salat di masjid. Saya melihat situasi di sekolah keras, saban hari selalu saja ada warga yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah melakukan pemalakan pada siswa. Mereka adalah pemuda setempat yang disegani. Beberapa teman saya sering menjadi tumbal, menyerahkan uang jajan atau harus dipukuli.

Situasi itulah yang mengarahkan saya bergaul dengan dengan siswa yang tidak dianggap ‘baik’. Gaffar, Aco, dan Nurdin, saya kira bisa dijadikan teman jalan. Ketiganya tinggal di jalan Nuri, Makassar. Salah satu kawasan di mana tawuran merupakan pengalaman komunal bagi anak-anak muda di sana. Gaffar dan Aco sering menceritakan itu. Jadilah kami mengisi waktu keluar main dengan menyulut kretek di belakang sekolah. Jalan ini menjadikan saya berkenalan dengan para pemalak yang ditakuti itu, terlebih lagi setelah saya mengenal Dupak, seorang siswa yang tinggal di jalan Kakatua 3. Kehidupannya di luar sekolah, ia berkawan baik dengan pemalak itu. Maklum, mereka memang tinggal di lokasi yang sama. Setidaknya selama setahun bersekolah di Makassar, saya tidak pernah dipalak.

Setelah menginjak kelas dua, saya sudah mulai menjaga jarak dengan Gaffar, Aco, dan Nurdin. Kala itu, saya sudah tinggal di asrama Tahfidzul Quran, salah satu UKM yang ada di UMI. Diperuntukkan bagi mahasiswa dan siswa dari daerah. Jadi, di sepanjang tahun 2002 saya lebih giat ke masjid dibanding Hendro, Zainuddin dan Tengku. Dan, tentu saja saya kembali membangun jalinan dengan ketiganya. Zainuddin sangat bahagia ketika saya sudah berhenti merokok dan tidak lagi membolos.

Di sekolah saya mulai aktif bertanya perihal mata pelajaran yang diajarkan guru. Pun saya selalu didaulat membaca teks UUD 45 kala upacara bendera saban Senin. Sejumlah persoalan yang dihadapi siswa kaitannya dengan tidak adanya ruang praktik saya suarakan di hadapan kepala sekolah. Dengan aktivitas ini, saya didukung kelas otomotif dan listrik guna maju dalam pemilihan ketua OSIS. Hanya saja, saya menolak dan mendorong Zainuddin untuk menempati jabatan itu. Sejumlah siswa dari kelas otomotif mengutarakan kekecewaannya, utamanya Dupak. 

Akan tetapi, saya meyakinkan kalau perjuangan guna mendapatkan ruang praktik akan tetap disuarakan. Tak lama setelah Zainuddin memenangkan pemilihan ketua OSIS, ruang praktik untuk kelas otomotif dan listrik pun sudah disediakan oleh pihak sekolah. Semua itu berkat advokasi yang dilakukan teman-teman di OSIS dan meyakinkan kelas otomotif untuk tidak bertindak brutal. Sebelumnya memang santer terdengar isu kalau kelas otomotif pimpinan Dupak akan melakukan tindakan merusak fasilitas sekolah jika ruang praktik tidak segera disediakan.

Selanjutnya, saya mulai tidak betah di sekolah. Ruang praktik bukan dunia yang kuimpikan. Jika dirunut, saya memang tidak menginginkan berada di kelas yang berisi lelaki semua. Saya tidak mau berpisah dengan kawan-kawan SMP, berada dalam satu ruangan di sekolah yang sama, itulah impianku. Namun, apa boleh buat, NEM mengharuskan saya berpisah dengan mereka.

Dua tahun saya menjalaninya sebelum semuanya berubah. Kala itu, di tahun 2003. Saya lebih banyak mendengarkan pidato-pidato yang tidak biasa di mimbar masjid. Seseorang bisa berbicara tanpa mengutip ayat Alquran. Sesuatu yang belum bisa saya terima. Bisakah mimbar masjid digunakan untuk marah-marah. Entahlah, saya tidak berani menanyakan hal ini pada siapa pun di sekitar saya. Saya hanya berusaha mendengarkan semuanya. Orang-orang bedebat dan melakukan unjuk rasa.

Ada banyak sekali kepingan-kepingan peristiwa yang saya alami di tahun itu. Termasuk perdebatan kala pemilihan ketua asrama yang baru. Banyak yang hendak saya protes, tetapi semuanya hanya saya simpan di dalam hati. Sungguh tak ada keberanian bersuara. Setelah itu semua saya saksikan dan tumbuh di otak dengan kuat. Cara pandang saya terhadap sesuatu mulai lain. Kuliah, misalnya, mengapa banyak mahasiswa begitu patuh masuk kelas dan yang lain memilih menghabiskan waktu di teras kampus berdiskusi. Dan, ketika dosen mereka melintas, tidak ada teguran yang memaksa mereka bubar berlarian masuk kelas. Kejadian ini mengapa tidak berlaku di sekolah. Sungguh saya bosan duduk berlama-lama di ruangan mendengarkan guru mendikte . Saya menghendaki seperti para mahasiswa itu, menolak masuk kuliah jika tidak senang dengan dosennya.

Pada tahun itu juga, saya menemukan oase yang selama ini saya impikan. Berkumpul dan berkegiatan sesama pelajar dari sekolah yang lain. Bukan saling membenci sambil membanggakan sekolah kemudian terlibat adu jotos. Di sini, di PPIM (Perhimpunan Pelajar Indonesia Makassar), saya mengenal Anton, Yuni, Siska, Amma, Arin, Anas. Mereka dari SMA Negri 5 Makassar. Awal dan Siska Ayu dari SMA Negeri 16 Makassar. Ipa dan Alwiah dari SMA Negeri 4. Senja, Delton, Amin, Irex, Yuki, dan Arief. Masing-masing dari SMA 8, 11, dan 17 Makassar). Serta pelajar-pelajar yang lain yang saya tidak ingat lagi namanya.

Dari sekolah saya sendiri, SMK-SMA LPP YBW UMI Makassar, Bim, Jamil, Ami, dan beberapa nama yang juga sudah saya lupa, selalu meluangkan waktu di lembaga pelajar ini. Terkait pembahasan PPIM, bisa di baca di sini. (Ada 9 seri, tersimpan di rubrik Ingatan blog ini).


#4

Saya tidak ikut mengantre mendaftarkan nama di salah satu universitas di Makassar di tahun 2004. Saya punya utang di sekolah, iuran uang pembangunan yang belum terlunasi sejak awal masuk sekolah. Untuk itu, saya kerja serabutan guna melunasinya. Begitu ijazah kugenggam, saya membawanya melintasi laut Banda menuju pulau Papua. Mengadu peruntukan nasib di tanah rantau.

Di Papua, saya memilih Sorong sebagai pijakan selama dua tahun. Benar kata orang, di perantauan apa saja harus dikerjakan jika ingin bertahan. Dan, saya melaluinya mulai dari menjaga konter hape seorang kerabat, menjual sandal, dan terlibat dalam proyek pembangunan sejumlah gedung.

Di malam-malam tertentu, saya bercengkrama dengan Manto dan Alwan, keduanya perantau dari Jawa. Rupanya, perantau di tanah Papua bukan hanya dari Sulawesi dan Jawa. Ada juga dari Papua itu sendiri, saya mengenal Ilyas dan Hamid dari Fak-Fak. Mereka inilah kawan sepermainan. Sebenarnya, masih ada kawan yang lain. Akan tetapi, saya telah lupa namanya. Persfektif lain menyangkut kehidupan di tanah Papua, bisa dibaca di sini.

Sepulang dari rantau di akhir tahun 2005, tanah kelahiran menjadi tempat untuk berdiam. Tidak ada pilihan lain, saya kira. Sebab saya tidak ingin lagi melakukan perjalanan. Sepenuhnya saya ingin di Pangkep. Bertani dan menikah.

Di tahun 2007, saya memperoleh kesempatan bekerja di salah satu koperasi simpan pinjam sebagai colektor. Fase ini kujalani selama dua tahun, di tahun ini juga saya mendaftarkan nama saya sebagai mahasiswa di STAI DDI Pangkep. Sebuah pilihan yang kutegaskan melalui perenungan, karena saya tidak ingin bekerja selaku colektor. Memasuki dunia kampus ketika teman seangkatan saya telah menuntaskan studi strata satu, sungguhlah membuatku sebagai seorang yang telat bangun. Tetapi, semuanya kujalani saja. memulai dari awal saya kira bukan dosa.

Ada 30 orang teman seangkatan saya di kampus ini, yang dalam perjalanannya ada yang menghilang karena telah menikah dan tidak lagi melanjutkan studinya. Saya termasuk yang bertahan hingga melewati masa kuliah kerja lapangan (KKLP) di desa Tompo Bulu.

Saya bahagia menjalani proses perkuliahan selama empat tahun. Di kampus inilah saya menemukan jodoh. Jika orang kuliah ingin cepat-cepat menyelesaikan studi, saya dan beberapa kawan, Dato, Ansar, dan Muhlisin justru ingin segera menikah. Dan, Keinginan itu terwujud yang mengakibatkan studi kami tertunda.
*
Pangkep-Makassar, Oktober-November 2013



Komentar

Postingan Populer