Lekra, Manifes Kebudayaan, dan Pembacaan Saya

# 1

Telaah ini untuk merenungi, membaca, memetakan, dan mengukur nilai-nilai yang setidaknya belum dapat saya rangkum dengan sebuah keputusan yang kira-kira bisa dikatakan tegas. Hanya saja sebagai anak manusia yang jelas jauh dari zaman polemik penerimaan hadiah Ramon Magsaysay, apalagi pergolakan polemik tahun 1965 yang telah meninggalkan tanda yang tegas dan tebal di kepala saya. Kalau yang bertarung adalah kelompok Lekra dan Manifesto Kebudayaan. Kelak kemudian menjadi pupuk untuk turut membenci dan mendukung. Tetapi apa yang dibenci dan didukung itu sungguhlah garis yang sebetulnya tak juga membuat saya merdeka. Kira-kira itulah yang saya rasakan.

Kepada siapa telaah ini berlabuh, saya juga kurang tahu. Saya hanya ingin menuliskan pengakuan-pengakuan saja perihal apa yang saya baca mengenai kata-kata yang bertarung ketika saya masih anak-anak. Tahun 1965, saya belum lahir, dan tahun 1995. Saya masih sebelas tahun ketika orang-orang dari halaman rumah di tahun 1965 ribut kembali untuk seorang yang dinobatkan oleh sebuah yayasan di Manila untuk mendapatkan hadiah Magsaysay. 

Mula-mula aksara itu saya dapatkan dari sebuah buku yang saya curi di perpustakaan. Karena penulisnya seorang penyair yang ingin sekali saya baca puisinya. Sebelumnya, saya sudah mengenggam novel tebal yang belum saya paham alur ceritanya. Novel itu saya beli saja karena hasil provokasi beberapa teman yang sangat membanggakan sepak terjangnya. Sejumlah kalimat sakti dari sastrawan besar itu kerap diucapkan untuk membakar suasana diskusi. ‘Anda boleh bersekolah setinggi-tigginya, tetapi kalau Anda tidak berkarya. Maka akan dilupakan sejarah’. Kalimat ini pula yang terus membekas di batok kepala saya dan terus membaca novel tebal itu hingga tuntas. Tetapi kalimat hebat itu tak saya dapatkan di lembarannya. Saya tak ingin bertanya pada teman yang sering mengucapkan kalimat itu. Karena ia sama sekali tak tertarik untuk membaca novel yang ditulis dari dalam bui itu. Novel itu merupakan karya sastra kedua yang saya beli, setelah sebelumnya berjudi membeli novel gubahan seorang pengagumnya, Eka Kurniawan. 

Selanjutnya, novel tebal itu saya singkirkan dari menu bacaan sehari-hari. Buku bersampul merah yang telah saya curi itu menyita waktu untuk dituntaskan. Tetapi, tak benar-benar tuntas. Usai membaca kata pengantar panjang dan sejumlah endorsement di sampul belakang. Saya hanya memilih-milah halaman untuk saya baca. Karena memang betul, buku itu tak lain sebagai buku dokumentasi data-data perihal apa yang terjadi di tahun 1965. Ruang ketika Taufik Ismail dan kawan-kawan menjalani hari-hari penuh teror. Kreativitas dibelenggu, orang-orang dicaci, disudutkan, difitnah, dan dituduh. Kuasa siapa atas semua itu. Taufik Ismail menulis tebal: Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya di Lekra. Kira-kira begitulah kesimpulan saya atas pembacaan yang tidak tuntas tentang buku itu. Bisa pula dikatakan sebagai monumen untuk melihat dosa seorang Pramoedya Ananta Toer. Saya pun menyingkirkan buku itu dari menu bacaan dan menyimpannya di rak dengan rapi. Berdampingan dengan Bumi Manusia-nya Pram dan Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan. Sekali waktu, saya mengulum senyum tak jelas. Dua orang ini adalah tokoh idola saya, hingga wafat, saya belum pernah melihat langsung dan berjabat tangan dengan Pram. Di sisa waktu di tahun 2003, saya berhasil mendapatkan tanda tangan Taufik Ismail saat ia mengisi acara Siswa Bertanya, Sastrawan Bicara (SBSB) yang diselenggarakan Majalah Sastra Horison di Makassar. Saya mengujarkan tanya, mengapa Pram tidak diajak serta. Penulis buku puisi Tirani dan Benteng itu tersenyum dan berkata: “Pram sudah uzur, saya tanya lagi. Kalau Sitor Situmorang? “Juga sudah uzur, ucapnya. Taufik Ismail lalu tersenyum lebih lebar ketika saya sodorkan buku Prahara Budaya untuk ia tanda tangani. “Wah, ini buku saya, dapat dari mana? Saya tidak bilang kalau buku itu saya curi di perpustakaan. Usai berjabat tangan, saya berlalu karena banyaknya siswa lain yang ingin mendapatkan tanda tangannya. 

Saya kembali duduk. Dengan jelas saya melihat Asrul Sani duduk di kursi roda didampingi sang istri, salah satu penanda tangan Manifes Kebudayaan itu sempat membacakan puisi terkenalnya, Anak Laut. Meski dengan suara yang parau dan tak lagi jelas. Ia memang sedang sakit. Saya membayangkan, kalau Pram dan Sitor kira-kira setua dengan sosok Asrul Sani ketika itu. Ya, tokoh-tokoh sastra itu memang sudah pada uzur.

#2

Perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 2005. Saya kembali berhasil mencuri buku puisi Taufik Ismail yang sangat saya dambakan itu. Tirani dan Benteng, berdasarkan riwayatnya, puisi-puisi dalam kumpulan ini pernah terbit terpisah. Tentu saja saya sangat senang dengan keberhasilan ini. mengingat sangat sukar menemukan buku puisi salah satu tokoh penanda tangan Manifes Kebudayaan ini di Makassar. Buku itu saya dapatkan di perpustakaan Universitas Al-Alamin Sorong, Papua Barat. 

Saya menemukan sosok Taufik Ismail yang garang sebagai penyaksi maupun pelaku sejarah pada zamannya yang aktif. Sangat berbeda ketika saya menemukan puisi-puisinya maupun esainya di Majalah Horison bertarikh 2002 ke atas. Ataupun puisinya yang digubah ke dalam lagu oleh Good Bless dan Bimbo. Saya melihat perubahan semangat puisi itu karena arus zaman yang bergerak seiring usia yang mendata salah satu penyair yang turut terlibat dalam menerjemahkan karya monumental filsuf sekaligus penyair Mohammad Iqbal. The Reconstruction of Religous Thouhg in Islam.
 
Selanjutnya lagi, saya mulai menemukan Catatan Pinggir Goenawan Moehammad di lembaran majalah Tempo maupun yang yang telah dibukukan. Tetapi sulit sekali mengeja puisinya yang malayang-layang. Beberapa buku hasil suntingan HB Jassin juga perlahan menyesaki rak buku saya, Doktor Honoris Causa ini memang layak disebut sebagai wali penjaga sastra Indonesia sebagaimana A Teeuw menyebutnya demikian. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck gubahan Buya Hamka yang menjadi salah satu tema pembahasan di lembaran Lentera asuhan Pramoedya Ananta Toer itu menjadi khasanah tambahan untuk mengenal sosok lain ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama ini. Seorang teman pernah meminjamkan buku puisinya WS Rendra yang sangat memihak kaum pinggir di ibu kota. Dan secara terpotong, saya menemukan esai-esai Mochtar Lubis, Wiratmo Sukito, dan Arief Budiman. Belakangan saya mulai tertarik membaca novel eks pemimpin harian Indonesia Raya yang disebut-sebut sebagai koran paling dimusuhi di zaman orde lama.

Bagi saya, membaca karya dari orang-orang yang dulu serumah dalam rahim sastra Indonesia ini, kemudian membangun dinding penyekat dengan jendela yang sangat sempit. Sama sekali tak ada jalan untuk membutakan mata anak zaman selanjutnya. Karya-karya itu merekam zaman berdasarkan kapasitas keilmuan masing-masing. Menyuarakan dan mengabarkan yang yang tak sepatutnya menjadi riil di masyarakat. Sekaligus mengingatkan kepada kita yang tak turut serta dalam perseteruan itu kalau selalu saja ada yang tidak tuntas di setia zaman.

#3

Sebelum lebih lanjut, saya ingin mengatakan kalau semangat dan referensi utama dalam menuliskan pembacaan ini ditopang oleh dua buku. Prahara Budaya karya DS Moeljanto-Taufik Ismail dan Polemik Hadiah Magsaysay hasil suntingan AS Laksana. Masing-masing merupakan kumpulan data dan pendapat yang sudah tersiar di media massa. Yang pertama, rekaman situasi ketika Pram mengganyang sastrawan dari kelompok Manifes Kebudayaan. Hasilnya, HB Jassin dikeluarkan dari fakultas Sastra UI, begitupun dengan Wiratmo Sukito yang angkat koper dari RRI. Hasil lain yang masih meninggalkan rentetan pertanyaan, Buya Hamka dituduh sebagai plagiat atas novelnya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Terparah, ulama yang mengislamkan calon suami salah satu anak Pram ini dijebloskan ke penjara karena dituduh terlibat dalam rencana pembunuhan presiden Soekarno.

Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, buku Prahara Budaya yang tidak saya tuntaskan itu, namun menjadi pemantik awal untuk terus gelisah mencari informasi tambahan perihal tahun-tahun gesekan di periode 1950 hingga 1965. Sebelum menjumpai buku Polemik Hadiah Magsaysay, saya sudah menjumpai buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat, 1950-1965, sebuah karya yang kira-kira bisa mengimbangi data pada buku Prahara Budaya itu. Namun sayang, saya gagal menggenggamnya. Buku hasil kerja keras dua penulis muda Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Merupakan buku trilogi data yang menghimpun karya, data, dan semangat Lekra (Laporan dari Bawah: Sehimpun Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965, Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965). Tetapi, dalam perjalanannya, buku ini mengalami pencekalan dari Jaksa Agung di tahun 2009. Toko buku Gramedia pun menarik peredaran buku ini. Alasannya, sampul buku ini menampilkan logo palu arit yang masih dilarang.

Sebenarnya ada apa dengan gerakan kebudayaan di periode itu, sehingga Lekra dan Manifes Kebudayaan saling berseteru. Melalui informasi yang bisa diakses di internet, dengan mudah kita bisa memilah dan memilih tulisan-tulisan menyangkut itu. Di era demokrasi terpimpin, presiden Soekarno sangat mengkhawatirkan impasi budaya pop yang turut menyebar luas di tengah masyarakat Indonesia yang sedang tumbuh mencari bentuk kebudayaan nasional dari gesekan penjajahan. Di era itu, Indonesia sama sekali belum bebas dari segala ancaman. Dibutuhkan kekuatan politik untuk untuk mengarahkan dan menjaga semangat nasionalisme. Doktrin ini kemudian diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai tugas nasional seorang pengarang turut andil dalam pembangunan. Wilayahnya melawan bacaan-bacaan sastra pop, musik ngak ngik ngok, seni rupa cabul, dan segala gerakan seni yang kira-kira bisa mengaburkan semangat masyarakat yang sedang tumbuh. 

Melalui harian Bintang Timur, ia mengasuh lembar kebudayaan Lentera untuk tugas nasionalnya itu, di sanalah ia menurunkan sejumlah tulisan yang ia sebut sebagai ruang untuk berpolemik. Namun, Taufik Ismail dan sejumlah pelaku seni lainnya mengalami sebuah penjajahan kreativitas. Karena sebuah pemahaman seni yang berbeda dengan kubu Lekra. Pelaku seni yang teraniaya ini tampil melawan dengan terploklamirkannya Manifesto Kebudayaan, 13 tahun setelah lahirnya Lekra di tahun 1950. Selanjutnya, polemik yang mulanya didengungkan Pram perlahan bergeser menjadi ajang untuk saling mendiskreditkan. Seniman dan sastrawan yang berada di kubu Manifes Kebudayaan dibatasi kerja seninya. Mengapa demikian, karena pemerintah berpihak pada kelompok seni di kubu Lekra. Maka aparat memiliki sinyal yang kuat untuk membubarkan pagelaran seni yang disinyalir dilaksanakan seniman kubu Manifes Kebudayaan. Begitupun dengan sastrawan yang tertutup aksesnya untuk menulis di media massa. Goenawan Moehammad mengakui kalau ia tak boleh bertanda tangan di buku tamu pagelaran teater Usmar Ismail, karena itu merupakan petunjuk teknis untuk membubarkan acara. WS Rendra juga mengakui masa-masa sulit ketika ia kehilangan ruang untuk mengirimkan karyanya di media massa. Puncaknya, Manifes Kebudayaan dilarang oleh Soekarno pada 11 Mei 1964. 

Usai pristiwa Gestok, kekuatan politik berubah total. Kini giliran Lekra yang diharamkan oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai kaki tangan PKI. Kader dan simpatisan partai dikebiri layaknya domba yang siap dikurbankan. Dalam satu riwayat, jika saja Pram tidak diasingkan ke pulau Buru, maka ia salah satu orang yang akan dibunuh massa yang marah. Pram pernah diwawancarai terkait soal ini. Sikapnya tak berubah, ia kokoh dan realistis. “Saya tidak mau berandai-andai,  ucapnya.


#4

Majalah Tempo edisi  30 September-6 Oktober 2013, menurunkan liputan khusus mengenai perseteruan dua kelompok ini. Sebagai kerja jurnalis, hamparan bacaan yang dusuguhkan saya kira berimbang. Dua pentolan Lekra dan Manifes Kebudayaan diberi ruang yang sama untuk menulis di luar alur reportoar. Masing-masing dilakukan oleh Hersri Setiawan, eks Sekum Lekra di Yogyakarta dan Goenawan Moehammad sebagai salah satu pendukung Manifes Kebudayaan.

Melalui liputan khusus ini, kita menjadi tahu kalau dalam tubuh PKI sendiri sedang terjadi gesekan. DN Aidit dan Njoto selaku orang yang terlibat dalam pembentukan Lekra rupanya memelihara perang dingin. DN Aidit hendak menjadikan Lekra sebagai organ resmi partai, sedangkan Njoto menolak itu. Njoto menginginkan agar Lekra berdiri sendiri. Sebab di Lekra ada anggotanya yang bukan orang PKI, salah satunya Pramoedya Ananta Toer. Pram hanya didapuk sebagai peminpin redaksi lembaran kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur.

Terkait gaduh pembunuhan tujuh jenderal pada malam 30 September 1965, banyak anggota Lekra yang tidak mengetahui hal itu. Termasuk Hersri Setiawan, makanya ia heran ketika ia diciduk militer dan dijebloskan ke penjara.

Pada akhirnya, Soeharto jua yang berhasil menjadikan Lekra sebagai PKI, bukan DN Aidit. Seluruh anggota lembaga kesenian di daerah, seperti Yogyakarta dan Solo yang berafiliasi dengan Lekra diuber. Dipenjara tanpa proses pengadilan, bahkan ada yang dibunuh hingga diasingkan ke pulau Buruh.

Bagaimana pun juga, peristiwa di medio 1965 merupakan luka sejarah yang mengiringi perjalanan negeri ini. Perlu sikap untuk saling memaafkan. Namun, jangan dilupakan.
_



Komentar

Postingan Populer