Papua, Saya Pernah Tumbuh di Sini



“Papua adalah realitas, ke sanalah!”

Kalimat di atas diucapkan oleh Dulhamidin Furu, kawan saya yang berasal dari Fakfak, Papua Barat, ketika menjabat tangan saya sebagai perpisahan di sisa sore di kampus satu UMI Makassar di akhir tahun 2004. Ia masih bertahan di Makassar guna menyelesaikan studinya, dan saya harus berangkat ke Papua sebagai pilihan untuk terus menumbuhkan hidup.



Mengapa Papua, bukan Kalimantan atau Malaysia sebagai tujuan rantau. Saya tidak mau berspekulasi dengan daerah tujuan ini. Dua kakak perempuan saya sudah menetap di Sorong, Papua Barat, tetangga dengan Fakfak. Beberapa rumpun keluarga juga sudah ada di kepulauan itu.


“Sorong itu merupakan pintu masuk ke Papua, di kepala burung itulah kapal bersandar sebelum menjelajah daerah Papua yang lain.” Ucap Noy, sapaan akrab Dulhamidin Furu, ia juga menjelaskan perihal geografis Papua, katanya, Fakfak, tidak mendukung OPM (Operasi Papua Merdeka). “Tetapi rakyat Papua perlu berdaulat atas sumber daya alam yang melimpah.” Tegasnya.

Di akhir tahun 2004, Tsunami mengguncang bumi Indonesia bagian barat, tepatnya di Aceh. Banyak kerabat yang mengingatkan agar saya menunda perjalanan ini, semuanya kutampik. Ransel sudah di punggung, peta sudah kugenggam. Tidak ada alasan menunda keberangkatan ini. Selepas isya, saya melangkah menuju lambung Labobar. Kapal inilah yang akan membawaku menginjak tanah Papua.

Papua adalah realitas, pesan Noy yang terus terngiang selama dua hari dua malam melintasi lautan. Saya melengkapinya dengan impian berjumpa dengan burung cenderawasi atau menyaksikan masyarakat Papua memangkur sagu. 

***
Hari-hari selanjutnya, Papua yang kujumpai bukanlah hasil impian saya. Sorong tumbuh melupakan masyarakat lokal, jejeran rumah tokoh yang menghiasi badan jalan protokol bukanlah milik orang Papua. Begitupun dengan sumber ekonomi di pasar sentral Remu, tak satu pun masyarakat lokal yang memegang kunci kios di sana. Semuanya didominasi perantau Bugis, Jawa, dan Manado.

Sorong tak ubahnya dengan kota-kota yang lain yang sedang tumbuh, bergegas menuju titik untuk disebut modern. Cap abstrak hasil kreasi kaum neoliberal. Selama dua tahun di sini, saya tidak pernah melihat cenderawasi bertengger di ranting pohon, pun tidak menyaksikan pesta rakyat memangkur sagu. Sebaliknya, pemuda-pemuda Papua tersungkur di selokan kota usai menenggak bir. 

Seorang kawan yang lebih dulu mengadu nasib di sini, menceritakan kalau pemuda Papua, lebih banyak menghabiskan uangnya di meja minum. Sejak pertama kali datang, pemandangan yang demikian tak pernah berubah hingga ia menetap selama lima tahun.
Hal ini memang kasuistik, sebab di sudut lain, saya menyaksikan pemuda Papua menuju kampus, berdiskusi dan merancang impian untuk melanjutkan studi di Sulawesi atau di tanah Jawa.

Membaca Papua memang tidak cukup dengan hidup di kota, kita perlu ke distrik terpencil. Menyelami kehidupan masyarakat adat yang berkebun dan memanggang babi. Kesempatan itu saya tempuh, menetap dua bulan di sebelah selatan kota Sorong yang berjarak sekitar 150 Km. Lokasi ini dinamai kilo 24 atau tugu merah. Tidak ada aliran listrik dan gelombang signal. Di sinilah saya bisa memandang hutan tropis yang kekar. Bersapa dengan masyarakat lokal yang di punggungnya terdapat busur dan seekor anjing setia menemaninya.

Papua bukan hanya Sorong, sepertinya perlu menginjakkan kaki di Merauke, Nabire, Manokwari, Kaimana, atau Timika. Namun, lebih dari menapaki jalan-jalan di kota-kota itu, peta perjalanan perlu diarahkan ke distrik terpencil agar keindahan Papua dapat direngkuh dan menemukan realitas kehidupan adat. Bukan hanya kota yang berlomba meninggalkan warganya.

Tanah Papua memang tanah harapan. Seluas tanah sebanyak batu adalah harta harapan, lirik tembang Aku Papua gubahan Franky Sahilatua. Tanah Papua layaknya gula yang selalu dikerumuni para perantau. Saya dan para perantau yang lain berutang budi pada Papua.

*** 
Makassar, 30 Agustus 2013




Komentar

Postingan Populer