Humor, Rezim, dan Wiji Thukul




Tertawa adalah hak segala bangsa dan tiap manusia. Di akhir film Warkop DKI bahkan menyebutkan, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Adakah rezim yang mengharamkan manusia untuk tertawa?

Syahdan, dalam cerita pendek ‘Matinya Seorang Buruh Kecil’ gubahan Anton Chekov (1860-1904). Diceritakan seorang buruh bernama Ivan Dmitrich Kreepikov, sedang menonton opera musik di sebuah gedung pertunjukan, ia kemudian bersin. Ya, cuma bersin yang juga merupakan hak setiap manusia, tapi semburan bersinnya itu mengenai wajah seorang jenderal. Karena merasa bersalah, ia lalu meminta maaf kepada sang jenderal. Tampak sang jenderal tak begitu menghiraukannya dan meminta Ivan untuk duduk kembali karena konsentrasinya terganggu menonton opera.

Ivan, sang buruh serabutan tersebut kembali duduk memfokuskan perhatiannya, namun rasa penyesalan dan perasaan bersalah yang amat sangat bergelayut di pikirannya. Ia mulai cemas dan sepenuhnya sadar kalau apa yang baru saja dilakukannya sungguhlah suatu dosa yang amat besar melebihi dosa yang melanggar aturan Tuhan sekalipun. Singkat cerita ia pulang ke rumahnya, bajunya dibuka dan terbaring di sofa, lalu mati. Selesai.

Pembaca tentu mengira kalau cuplikan cerpen Anton Chekov di atas belum tuntas. Tapi percayalah, cerita itu berakhir begitu saja. Inti dari ceritanya memang seperti itu, buruh kecil tersebut diceritakan mati begitu saja. Sama sekali tak ada plot yang mengisahkan tindakan anak buah sang jenderal untuk menghabisi nyawanya, juga tidak ada seorang Sniper yang membidik jantung atau kepala si buruh kecil itu. Begitulah ciri khas Anton Chekov mengakhiri ceritanya yang kemudian dalam ilmu cerpen disebut Chekovian (mengakhiri cerita begitu saja).

Menelaah suatu karya (apa saja) tentunya kita harus lihat konteks di mana pengarang dan muatan karya itu lahir. Anton Chekov memang hidup pada situasi di negaranya, Rusia (saat itu masih Uni Soviet) begitu mengekang warga dalam segala hal. Makna cerpennya itu kurang lebih hendak mengatakan kalau pola kehidupan warga kecil berada pada bayang-bayang dominasi kekuasaan yang tiran.

Kejelian Anton Chekov dengan menggunakan semburan bersin seorang buruh yang mengenai wajah sang jenderal adalah satire yang bisa meneror keheranan sekaligus menggelitik rasa humor kita dengan kalimat: pada negara fasis, bersinnya rakyat jelata pun bisa berakhir pada kematian yang mencemaskan.

Begitulah humor dengan kadar kepahitan, menjadi mikroskop dari keheranan kita atas yang lumrah menjadi tidak lazim. Humor hendak menyingkap kalau pola tertawa kita merupakan suatu gugatan dari suatu penyimpangan atau adanya ketidaksesuaian.

***
Humor itu sesuatu yang serius, kata Jaya Suprana, untuk itu mari kita menoleh sejenak. Empat hari sebelum Ruyati (TKI yang dihukum pancung di Arab Saudi pada 2011). Presiden SBY tampil berpidato di ruang mewah pada forum PBB yang membahas masalah buruh se dunia. Dalam pidatonya yang menggunakan bahasa inggris, presiden menyebutkan kalau negara yang dinahkodainya paling peduli atas nasib buruh, utamanya buruh migran sebagai pahlawan devisa. Namun, itu berakhir sebagi humor, karena Ruyati tampil sebagai negasi (penyangkalan) atas isi pidato sang presiden.

Di situlah letak keseriusannya, kita mungkin tak bisa terbahak, tapi mengedepankan keheranan. Bagaimana mungkin, seseorang mengklaim sebuah kepedulian sosial yang sesungguhnya merupakan ketidakpedulian.

Hal yang sama menghampiri jejak seorang buruh yang juga penyair, Wiji Thukul. Mei tahun ini, berarti sudah tujuh belas tahun ia tak kembali. Kita hanya berjudi dengan dugaan, kalau ia diculik dalam sebuah operasi militer kemudian dibunuh, ataukah ia bersembunyi sebagaimana ia pamit pada istrinya di suatu siang 1996. Namun, asumsi kedua tampaknya lemah, karena sekarang ini kebebasan menulis puisi terbuka lebar. Bahkan seseorang sudah bisa berdialog dan mengajukan kritik dengan pemimimpin rezim di negeri ini, walau itu di dunia maya.

Tapi Wiji Thukul bukan penghamba kebebasan yang seperti itu, andai hari ini ia hadir, dunia maya pastilah bukan rumahnya. Kita tahu, ia tak ingin membangun jarak begitu jauh apalagi hanya bayang. Ia membumi di lorong-lorong pemukiman kumuh para buruh dan membacakan puisinya langsung di hadapan massa,  yang konon membuat para jenderal marah-marah.

Hal itu tentulah juga sebuah humor dengan kadar yang getir. Meneror nurani, malah. Kita sulit membetulkan pola pikir jika ia dihilangkan hanya karena secarik puisi. Sungguh bedebah perlakuan rezim yang seperti itu. Bukankah puisi Wiji Thukul hanya menuliskan ulang realitas yang ia jumpai? Mungkin itulah “dosa“ yang diperbuat, sama dengan bersinnya Ivan yang mengenai wajah sang jenderal.

Tapi Wiji Tukhul bukan Ivan Dmitrich Kreepikov, yang satu melawan dan merancang perubahan, Ivan pasrah pada keadaan yang kisahnya menggelitik kita. Bahwa rezim yang dulu menumbangkan rezim sebelumnya, rupanya sama kuatnya mengekang. Dan itulah yang coba dikatakan Wiji Thukul dalam puisi-puisinya. Tapi tahukah kau, Thukul, kalau rezim hari ini juga memproduksi humor. Saya kira getirnya sama dengan rezim yang membungkanmu, Martir.
***

Makassar, 14 Mei 2013
Dimuat di Tribun Timur, 17 Mei 2013

Komentar

Postingan Populer