Dimas Suryo ingin Pulang ke Karet

Novel Leila S Chudori
Dok. Kamar Bawah


Kita diajak kembali ke masa lalu, era ketika negeri ini baru saja menjadi saksi bisu pembantaian anak-anaknya sendiri. Jika ada yang selamat, namanya akan dihapus dan diharamkan tinggal di tanah air. Sangat pahit memang. Tapi itulah yang dialami Dimas Suryo, wartawan kantor Berita Antara.

Kala peristiwa berdarah September 1965 meledak, Dimas Suryo sudah berada di Cile, menggantikan Hananto Prawiro, seniornya. Sebenarnya, Hananto yang harus menghadiri International Organization of Journalist itu. Tapi entah mengapa ia mundur. Di sebuah warung kopi di jalan Cidurian, Hananto menyerahkan surat permintaan delegasi itu lengkap dengan arloji kesayangannya pada Dimas Suryo. (Hal. 47).

Bermula dari keberangkatan itu, Dimas Suryo tak bisa lagi pulang, paspor dicabut  dan dicap terlibat PKI. Maka dimulailah petualangan, berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Hal ini mengingatkan kita pada kisah eksil politik pasca tragedi berdarah September 1965. Sobron Aidit, misalnya. Adik kandung DN Aidit itu kini telah menjadi warga negara Prancis dan membangun usaha restoran di sana. Hanya dengan pilihan itulah, para eksil di yang bertebaran di Eropa dapat melanjutkan hidup. 

Sama dengan yang dialami Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf. Kawanan eksil ini kemudian memilih Prancis sebagai tanah air baru, bertahan dan membangun restoran, sambil terus berusaha agar bisa pulang ke tanah air yang sesungguhnya. Sebuah penantian panjang, hingga Lintang Utara, anak perempuan Dimas dengan Vivienne Deveraux, mahasiswa Sorbonne yang dijumpai pada Mei 1968. Kala itu, Prancis juga tengah dirundung tuntutan perubahan. Lintang Utara mendahului Ayahnya menginjak Indonesia, ia menjelma menjadi mahasiswa kritis dan hendak membuat film dokumenter tentang korban politik 1965 sebagai tugas akhir di Sorbonne.

Leila S Chudori nampaknya ingin membuat pembacanya tak ingin meletakkan novel gubahannya ini sebelum tuntas. Pasalnya, lengah sedikit, pembaca kehilangan alur dan mesti mengulang dari awal lagi. Selain teknik flashback, novel ini juga dilengkapi surat menyurat antar tokoh. Surat itu bukan pelengkap semata, melainkan bagian nafas dan keutuhan cerita.

Dan, jadilah novel yang menyesakkan dada, bukan hanya latar cerita politik berdarah yang dilabeli oleh Orba dengan sebutan G30S/PKI, yang kemudian menjadi alasan bagi pemerintah transisi untuk mengubur semua orang-orang yang terkait dengan PKI beserta organisasi yang dianggap berafiliasi. Sulit membayangkan orang-orang berpisah dengan keluarganya, dan harus hidup di tengah masyarakat dengan stigma negatif,  terteror, menjadi budak seks, hingga eksekusi. Kesemua itu berlangsung secara sistematis.

Tegasnya, novel ini dilengkapi drama keluarga, cinta, persahabatan, dan pengkhianatan. Sebagaimana tertera di sampul belakang. Tema itulah yang menjadi sumbu cerita dan melengkapi latar Indonesia  September 1965, Mei 1998, dan Prancis 1968. 

Dibalut dengan hubungan cinta yang sulit dijelaskan antara Alam dan Lintang Utara. Kedua orang tua remaja ini di masa lalu juga melakoni kisah yang tak kalah rumitnya. Surti Anandari merupakan kekasih Dimas yang direbut Hananto. Itulah mengapa Dimas sulit menerima ketika Hananto memintanya ke Cile, Dimas menganggap itu sebagai taktik Hananto untuk menjauhkannya dengan Surti, karena Dimas tahu kalau Hananto bukanlah suami yang setia. Tapi, itulah narasi takdir yang tak terjelaskan, mungkin saja Dimas akan dieksekusi jika ia tak memenuhi undangan ke Cile, sebagaimana yang dialami Hananto.

Setelah Lintang berada di Indonesia, ia membangun hubungan dengan Alam, putra sulung Hananto dan Surti. Uniknya, nama Alam merupakan impian Dimas kala ia membangun harapan dengan Surti. Mereka ingin anak-anak mereka kelak bernama Alam, Bulan, dan Kenanga. Ketiga anak itu memang lahir dari rahim Surti, tapi bukan bersama Dimas, melainkan dengan Hananto. 

Akhirnya, narasi sampai pada Mei 1998. Rezim Orba tengah dironrong teriakan reformasi dan meminta Soeharto mundur. Lintang Utara intens mengabarkan keping peristiwa itu pada Ayahnya melalui surat elektronik. Akhir pergolakan itu tentu menjadi penantian sebagai pintu untuk pulang ke tanah air. Tak disangkali, 32 tahun mereka menanti tumbangnya rezim yang mengharamkan para eksil politik untuk pulang. Tapi, Dimas Suryo tentu sudah uzur, usianya sudah 68 tahun ketika Orba bubar.

Di hari-hari sebelum anaknya bertolak ke Jakarta, ia menceritakan kerinduannya untuk pulang. Ia tak bisa menganggap Prancis sebagai tanah airnya, meski negeri itu menjadi nafas bantuan baginya. Pun ia tak ingin dikubur di Cimitiere du Pere Lachaise, lokasi pemakaman di Prancis, sekalipun berdampingan dengan Jim Morrison. “Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.” Kata Dimas (Hal. 282)

Pada novel ini, Dimas Suryo mungkin hanya perwakilan teriakan dari para korban tragedi 1965 yang dipaksa melupakan tanah kelahiran. Tapi,tak secuil pun bisa melupakannya. Mereka ingin pulang menemui sanak, menengok leluhur, dan kampung halaman. Dimas Suryo sendiri dalam penantian panjangnya untuk pulang, akhirnya terkabulkan. Namun, sebagaimana impiannya di usia senja. Ia hanya ingin pulang ke Karet, lokasi pemakaman umum di Jakarta pusat. Tak ada seremoni yang berlebihan, dihadiri kerbat dekat, Tjai yang memimpin doa, dan Risjaf melalui harmonika melantunkan Tak Me Home Country Roads, satu tembang dari Jhon Denver.
_



Komentar

Postingan Populer