Bento dan Hio di Depan Mata Kita

“Namaku Bento/Rumah real estate/Mobilku banyak/Harta berlimpah/Orang memanggilku
Bos eksekutif/Tokoh papan atas/Atas segalanya/Asyiik”

Sejatinya, potongan lirik di atas adalah tokoh fiktif dalam tembang ‘Bento’. Kita tahu, kala tembang ini terngiang di telinga, negara tengah tumbuh menjadi manusia besi, apa saja akan dilibas jika ada yang coba mengusiknya. Tapi tetap saja ada geliat perlawanan, sekali itu hanya sebuah lagu.

“Ketika semua orang berteriak, maka tidak ada yang dikatakan pemberani. Tapi ketika semua orang diam, dan ada yang berteriak, maka dialah pemberani yang sebenarnya“. Ucap Sawung Jabo, salah satu dedengkot band Swami. Kelompok musik inilah yang pertama kali meneriakkan Bento, ejekan buat orang yang berwatak rakus. Penuturuan Iwan Falls, maestro balada yang juga terlibat di band Swami, tembang Bento digagas sebagai bentuk interupsi terhadap kesewenang-wenangan seseorang terhadap kemanusian. Muasal nama Bento sendiri asal copot saja, karena saat itu dianggap tidak ada orang yang menyandang nama itu. Tapi nalar publik tak bisa dibendung, Bento disebut akronim Benny Soeharto, sapaan akrab Hutomo Mandala Putra, anak Soeharto, ada juga yang menyebutkan sebagai ‘Benteng Soeharto’. Tapi terlepas dari dugaan itu, tembang ini telah menggelitik kemanusiaan kita tentang sosok manusia rakus, licik, dan narsis.

Dialah Bento, pemilik wajah ganteng, harta berlimpah, dan banyak simpanan. Perjalanan bisnisnya menjagal apa saja sesuka perut, yang penting ia menang dan senang. Ia juga sok tahu, mampu bicara moral dan keadilan, sekaligus ahli menipu dan sangat angkuh. Katanya, sebut saja namaku tiga kali, Bento, Bento, Bento. Maka tak ada yang bisa menghalangimu.

***
Antonim Bento adalah Hio, personifikasi manusia yang menolak bejat, ia ingin jujur-jujur saja dan tak mau mengingkari hati nurani. Tembang tersebut seolah menjadi solusi atas ulah Bento, Swami perlu dua tahun guna mempublikasikannya. Bento termaktub di album perdana pada 1989 dan Hio lahir di album kedua, 1991. Di album perdana, band Swami memang marah, selain Bento yang memekakkan telinga, di album itu juga terdapat Bongkar, tembang perlawanan lainnya yang menjadi lagu wajib didendangkan di setiap demonstrasi.

Hio dan Bento, mewakili dua watak manusia yang saling bertentangan, semuanya selalu ada di setiap fase zaman, sebagaimana sejarah mengingatkan. Nabi Musa berhadapan dengan Firaun, Nabi Muhammad menghadapi kejahiliaan Abu Lahab, dan Imam Husain, cucu Rasulullah SAW, bertarung dengan Yazid bin Muawiah.  Bahkan Ali Syariati, intelektual  muslim dari Iran, mengajukan tesis kalau perilaku fasik dan baik sudah dimulai ketika Qabil membunuh Habil (keduanya anak Nabi Adam).

Swami melahirkan Hio dan Bento sebagai pengingat atas pertempuran umat manusia melawan sifatnya sendiri. Kembali meminjam tesisnya Ali Syariati, bahwa berdasarkan proses penciptaan, pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk menumbuhkan sifat nur (cahaya) dan turoob (tanah). Jika sifat nur menonjol, maka perilaku manusia cenderung bersih, begitupun sebaliknya. Jika unsur turoob yang menguasai perkembangan manusia, derajat kemanusiaannya sangat rendah.

Secara eksplisit, tembang Hio hanya menceritakan sebuah perilaku, tidak menyebutkan nama dan tindakan sebagaimana di tembang Bento. Penyebutan Hio hanya diulang berkali-kali di akhir penggalan lirik, seolah tak ada tokoh di sana. Tapi saya anggap justru di situlah kritikan hendak dibangun untuk menetapkan asumsi, karena tokoh yang bersih itu menolak menyebut dirinya. Ia hanya mengucap kata yang menunjukkan perbuatan.

Aku tak mau terlibat persekutuan manipulasi/Aku tak mau terlibat pengingkaran keadilan/Aku mau jujur jujur saja/Bicara apa adanya/Aku tak mau mengingkari hati nurani/Hio Hio Hio Hio Hio


Bento dan Hio Kini

Tak disangkali jika sosok Bento dan Hio ada di depan mata kita, simaklah “sinetron” korupsi yang hampir tak berkesudahan. Meski sudah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, toh, mereka yang tersangka tetap bisa menggunakan kekuasaannya. Di sisi lain, sosok Hio tak hentinya berteriak tentang penegakan keadilan. Pertarungan abadi yang akan terus berulang.

Bentoisme (orang-orang berwatak Bento) nampaknya memang telah mewujud di dunia nyata, ia bukan lagi tembang sindiran yang selalu kita dendangkan, melainkan telah menjadi orang yang siap mengamputasi hak kita. Mereka kini ada di mana-mana. Bahkan mungkin, saat ini tengah bertarung untuk berebut kursi di parlemen dan di panggung Pilkada hingga Pilpres mendatang.

Tengoklah ruas jalan, ada ribuan wajah yang tiba-tiba saja muncul dengan kata-kata yang sebenarnya tidak kita paham. Mereka sibuk sendiri, seolah itu solusi atas kegetiran masyarakat. Narsis, kan! Memaksakan wajah mereka ditatap orang-orang dan berharap menjadi pilihan di hari pencoblosan. Sebenarnya mereka ini siapa, tak lain adalah pemilik harta berlimpah, menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah hanya untuk membingkai wajah mereka.

Saya anggap, mereka yang berlaku demikian bukanlah kawan kita, apalagi kaum miskin, dan kaum termarjinalkan. Mereka hanya berkawan dengan orang yang sederajat, buktinya, sejak berlaku pemilihan langsung para legislator, kepala daerah, dan presiden. Sangat sedikit kalau tak ingin dikatakan sama sekali tidak ada keputusan yang memihak kaum miskin. Dominan untuk orang-orang yang memiliki kemelimpahan harta saja.

Masih sangat sedikit memang Hioisme (orang berwatak Hio) di pemerintahan kita, kalaupun ada, jejak mereka selalu dihadang. Jadi, Bentoisme sepertinya akan menjadi pemenang ketika uang menjadi rujukan kita dalam menetapkan pilihan. Ah! Kita sungguh merindukan Hio.
_

Dimuat du Tribun Timur, 23 Mei 2013


Komentar

Postingan Populer