Wali Kota dan Don Quixote

Kota memang tak pernah sepi, ia akan selalu ramai dari segala aktivitas. Maka menjadi wajar jika di ruas jalan, sepasang mata kita selalu menangkap geliat itu, mencium aroma dan mendengar teriakan yang bisa saja membahayakan bagi warga kota.

Orang-orang yang berkeliaran nampaknya selalu sibuk, berlomba tiba di sebuah tempat untuk mengambil sesuatu kemudian bergegas pulang ke rumah masing-masing. Mengurung diri di dalam kamar dan menyusun peta baru sebagai petunjuk ke esokan harinya. Tentu saja berbuat yang sama sebagai rutinitas warga kota, sebuah ciri agar tetap eksis di rimba tembok.

Bahkan ketika sebuah kota hendak menggelar hajatan, sebentuk peruntungan untuk mendapatkan mandat warga kota agar menjadi pemimpin kawasan yang ramai ini. Tiba-tiba saja, orang-orang yang sebelumnya tak pernah kita jumpai di pasar, di taman, dan di ruang publik lainnya, muncul menyapa kita. Sayangnya, ia mengetuk pintuh rumah kita melaui sehelai kertas (sticker) yang memajang fotonya. Lewat kertas itu, ia mengingatkan kalau kota ini mengidap penyakit, dan dialah dokter yang tepat untuk menyembuhkannya.

Sepertinya selama ini ia tak hidup di kota ini, tapi tahu banyak seluk beluk masalah kota dan memproklamirkan diri sebagai penyelamat. Jumlahnya bukan hanya satu, tapi puluhan, wajahnya terpajang di mana-mana, mengenalkan diri sebagai sahabat, orang tua, bahkan mengaku sebagai saudara kita sendiri. Sungguh kita terpanah dengan pengakuan itu, apalagi mereka berjanji akan memperjuangkan nasib warga kota menjadi lebih baik. Wow! Luar biasa, seolah di zaman kita telah kedatangan ‘nabi’ baru yang akan menampung kita dalam biduk untuk mengarungi bahtera menuju kehidupan yang adil dan sejahtera.

Kota yang seharusnya saling mendekatkan seseorang karena jarak rumah begitu dekat, malah menjelma sebagai benteng. Pagar tinggi nan kokoh menjadi penanda itu, dengan kata lain, warga kota merawat kekhawatiran akan keselamatan diri. Siapa yang menghasut perilaku tersebut, jawabannya amat rumit. Tapi kita bisa menduga kalau patron hidup modern adalah sebabnya. Impian modernlah yang mengamputasi keakraban warga kota, memaksa kita berlari menggapainya.

Ilusi sang penyelamat

Miguel de Carvantes Saavedra (1547-1616), menciptakan sosok kesatria dalam novelnya, Don Quixote de La Mancha. Diceritakan petualangan kakek miskin dari Spanyol, Alonso Quixano. Meski tua, sang kakek pembaca yang tekun. Ia menuntaskan beragam bacaan perihal perjuangan kesatria yang membela perempuan cantik dari gangguan para bandit. Sang kakek terkesima dengan kisah itu, kemudian ia mulai menyusun agenda petualangannya. 

Mula-mula, ia mengenakan zirah, baju perang terbuat dari besi yang digunakan kesatria di medan tempur. Meski karatan, dengan bangga Alonso Quixano menobatkan Don, gelar kehormatan di Spanyol, pada dirinya sendiri. Selanjutnya, ia membayangkan dirinya layaknya kesatria sebagaimana ia jumpai dalam buku bacaannya. Tapi apa lacur, Don Quixote rupanya berperang melawan imajinasinya sendiri, ia terluka melalui pertempuran yang ia bayangkan. Seolah itu tindakan nyata yang telah dilakukan layaknya seorang kesatria.

Novel ini hendak mengabarkan kepada kita, bahwa banyak orang menyebut dirinya sebagai juru selamat atas suatu persoalan publik. Hanya saja, ia tidak benar-benar bertindak berdasarkan situasi nyata yang sedang terjadi. Ia memiliki ribuan impian akan kehidupan masyarakat banyak, tapi sekaligus itu hanyalah mimpi, absurditas, dan ilusi yang mustahil diaktualkan. 

Perilaku yang demikian saya kira bisa disematkan pada mereka yang memproklamirkan diri selaku wakil untuk mengurus suatu kawasan yang ramai dan padat, selanjutnya disebut ‘Wali Kota’. Mereka hadir menyapa kita ketika pintu menuju istana mulai dibuka pelan-pelan. Ia sangat ramah, senyumnya merekah sepanjang hari, dan tiba-tiba bisa hadir di tengah kita tanpa ada angin dan hujan. Mereka bahkan melakukan jelajah hingga ke sudut pemukiman yang paling kumuh.

Bila menengok sejarah, pasangan “kesatria” yang bertarung memperebutkan kursi walikota Makassar selalu ramai, hal itu akan terjadi lagi pada pemilihan kali ini. Di antara mereka adalah petarung dari masa lalu yang kembali berdesakan masuk arena. Selebihnya diisi wajah baru yang nampaknya memiliki mimpi (baca: ilusi) yang lebih tinggi, dengan tegas, ia mengatakan kalau dirinya adalah solusi atas masalah kota ini. Sebuah keberanian yang patut diapresiasi. 

Namun, ke mana mereka selama ini. Kita tak pernah menjumpainya kala masyarakat miskin kota bertarung melawan tirani penggusur, mereka bersembunyi ketika demonstran berteriak di jalan, dan mereka selalu alpa di ruang hati kaum yang dikucilkan sistem. Mereka yang mengaku penyelamat itu, sibuk dengan impiannya sendiri dan tidak membumi, karena masyarakat masih saja dilihat sebagai masalah yang harus diselesaikan, padahal, masyarakat itu baik-baik saja. Sistemlah yang menyebabkannya teralienasi.

Lantas, solusi apa yang kita harapkan dari para “kesatria” berbaju zirah karatan itu. Adakah kita bahagia dengan pajangan fotonya yang tersebar di mana-mana, menggunakan pohon sebagai etalase sembari berteriak penghijauan. Entahlah, saya hanya menuliskan kenyataan saja, selebihnya, silahkan sidang pembaca membangun asumsi.
_

Dimuat di Tribun Timur, 30 April 2013


Komentar

Postingan Populer