Siapa Pewaris Sumber Daya Alam

Sering kali kita mendengar perseteruan kelompok masyarakat dengan sebuah perusahaan atas klaim pengelolaan sumber daya alam (SDA) di suatu daerah. Atau terjadi konsesi antara pemerintah dan pemodal dalam membangun legitimasi percepatan ekonomi, yang mana SDA menjadi komoditas utama untuk mencapau target yang diinginkan. Meski sebenarnya hal yang demikian hanyalah dalih guna meraup keuntungan.

Imbasnya kemudian, ialah meninggalkan kegetiran bagi masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Kehilangan sumber hidup, terjadi kepincangan ekologis, dan mengamputasi tatanan sosial. Parahnya lagi, masyarakat kehilangan sejarah asal-usul yang berpotensi mengaburkan tradisi yang sudah dibangun sejak lama. Kasus yang demikian tentu sudah banyak terjadi di negeri ini, dan bisa dikatakan kalau hampir semua daerah tengah dicokoli perusahaan yang melakukan aktivitas eksploitasi yang dalam bahasa pembangunan diperhalus menjadi pemanfaatan sumber daya alam.

Gejala ini tentu sudah lama berlangsung, kira-kira dimulai ketika revolusi industri di Eropa mulai menggeliat. Pada saat yang sama kaum kapitalis mengembangkan sayap hingga lintas teritorial negara. Untuk kasus di Indonesia sendiri, besar kemungkinan dimulai ketika era orde baru. Dengan semangat pembangunan, maka terbitlah UU Pokok kehutanan No 5 tahun 1967 dan UU Pertambangan Umum No 11 tahun 1967. Dari kedua regulasi tersebut, lebih jauh rezim orba menerjemahkannya secara radikal dengan mengeluarkan PP No. 21 tahun 1970. Regulasi inilah yang dijadikan dasar atas pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pengelolaan hutan tanam industri (HTI). (Hening Parlan: 2002).

Tahun 2002, Forest Warch Indonesia melansir data setelah berlangsung 30 tahun eksploitasi kawasan lingkungan di negeri ini. Hasilnya sangat mencengangkan, dari 168 juta hektar hutan tropis perawan, menciut menjadi 98 hektar. Hal ini diperparah lagi setelah daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) sudah bisa mengeluarkan izin untuk pengelolaan hutan skala 100 hektar.

Gerakan Lingkungan

Lantas siapa pula yang disebut sebagai pelaku gerakan lingkungan itu. Apakah pemerintah yang telah mencanangkan program Go Green? Ataukah perusahaan yang sedang melakukan penanaman pohon sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan? Ataukah orang-orang yang tergabung dalam sebuah lembaga yang memiliki konsentrasi program pada penguatan lingukungan? 

Dari pertanyaan di atas, dapat dipetakan tiga aktor. Pemerintah, Pengusaha, dan lembaga peduli lingkungan. Namun, benarkah ketiganya memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Jika ada kesamaan visi, lantas mengapa ketiganya sering berseteru secara teoritis dan praksis. Hal ini bisa kita lihat sejumlah lembaga peduli lingkungan yang melakukan pendampingan terhadap kasus yang mengeksploitasi suatu kawasan yang dilakukan oleh suatu perusahaan, dan saya kira pemerintah punya andil dalam hal ini. Karena pemberian izin tentulah kewenangannya.

Jika demikian, berarti ada perbedaan persfektif dalam melihat kawasan lingkungan yang bisa dijadikan lahan pengelolaan yang bernilai ekonomis. Untuk penjabaran ini, menarik menelaah pemetaan Ton Dietz dalam bukunya: Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam (Insist Press: 2005). Ia membagi kelompok peduli lingkungan ke dalam tiga aliran.

Pertama, gerakan lingkungan fasis (eco fascism). Nilai dasar eksistensi kelompok ini, ialah memperjuangkan masalah lingungan demi lingkungan itu sendiri apa pun resikonya. Kelompok fasislah yang memberi label bahwa aktivitas ladang berpindah termasuk kategori merusak alam. Sehingga tindakan pengusiran terhadap kelompok masyarakat yang sudah bertahun-tahun mendiami suatu kawasan, itu lumrah. Karena menurutnya lingkungan harus bersih dari kegiatan manusia.

Kedua, kelompok yang memperjuangkan kelestarian lingkungan bukan untuk lingkungan itu sendiri, melainkan demi suatu pertumbuhan ekonomi dan penumpukan modal (eco developmentalism). Itulah kemudian sering kita mendengar semboyan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), hal ini merupakan strategi guna mengabsahkan pertumbuhan ekonomi kapitalis. Kita bisa menelaah kalau program penghijauan seperti: Pembangunan kawasan hutan industri (HTI), hutan lindung, serta program lainnya. Hanyalah suatu piranti yang melabelkan isu lingkungan sebagai tindakan yang harus dilakukan. Padahal di balik semua itu, tak lain sebagai kelanjutan dari pemupukan modal.

Ketiga, disebut kelompok peduli lingkungan kerakyatan (eco populism). Metode kerja kelompok ini dicirikan dengan transformasi gerakan politik. Hal ini didasari dari pertanyaan kritis yang harus dijawab perihal siapa yang yang berhak atas lingkungan atau sumber daya alam di suatu kawasan dan siapa yang mendapat manfaat dari lestarinya alam tersebut. Akan tetapi, Mansour Fakih (2005) mensyinyalir gerakan lingkungan kerakyatan ini tidak tumbuh subur di negeri ini. Meski Indonesia termasuk zona merah atas pengeksploitasian sumber daya alam untuk menggenjot akumulasi modal.

Hal ini dikarenakan aktivis peduli lingkungan masih memelihara keraguan atau bahkan menolak persfektif yang ditawarkan kaum lingkungan kerakyatan. Yang ragu dan menolak itu tetap menganggap kalau gerakan lingkungan tak memiliki koneksi dengan ekonomi apalagi perjuangan politik. Berdasarkan penjabaran yang telah diuraikan yang meminjam pemeteaan Ton Dietz, saya kira kita sudah bisa melakukan pengidentifikasian atas gerakan lingkungan yang selama ini menguak. Atau bahkan kita bisa menemukan diri kita masuk pada kelompok yang mana.

Persoalan lingkungan, saya kira sama dengan persolan kebijakan publik lainnya. Ada keterkaitan antara keputusan pemerintah dengan perusahaan yang akan melakukan aktivitas pengelolaan. Karena itu, hal utama yang perlu dipegang oleh pemerintah selaku penentu keputusan. Haruslah melihat pemanfaatan dari pengelolaan SDA, hal ini diperlukan untuk menduga siapa yang untung dan siapa yang buntung.

Jadi, pengelolaan kawasan sumber daya alam bukan semata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Melainkan harus ada keberpihakan atas nasib masyarakat, keseimbangan ekosistem, dan keadilan antara pengelolah dan pemerintah. Dengan demikian, SDA baru akan menjadi rahmat bagi masyarakat, karena pewaris sah kawasan sumber daya alam bukanlah milik segelintir kaum pemodal yang hanya mengeruk keutungan pribadi.
_


Komentar

Postingan Populer