Perihal Catatan Harian




Dok. Kamar Bawah: 2013


Pelajaran apa yang bisa dipetik dari sebuah catatan harian, bukankah catatan yang demikian sangat personal, karena di sana hanya ada monolog dan sepertinya menyepelekan dialog. Namun, asumsi ini tak sepenuhnya bertahan untuk dijadikan peta menuju satu sudut pandang. Sejarah yang kita eja tentang catatan harian sungguhlah menakjubkan, mari simak Catatan Seorang Demonstran goresan pena Soe Hok Gie yang dibukukan. 

Di catatan harian itu, Sok Hok Gie bukanlah penyaksi apatis, ia mengingatkan kalau perjalanan sejarah negeri ini tak sepenuhnya berwarna putih atau hitam, melainkan ada warna lain yang tidak dituliskan di buku resmi sejarah, karena sifatnya sangatlah personal, ia menuliskan warna itu tanpa perlu takut dengan rezim. Itulah sejarah pertautan seseorang dengan kesaksiannya. 

Manusia memang memiliki sejarah tersendirinya, dan itu wajib ada. Sebagaimana setiap bangsa memiliki sejarahnya. Tentulah sesuatu yang keliru bila orang lain yang menuliskan sejarah hidup kita atau suatu bangsa, sebagaimana yang ingin dikatakan Edwar Said, pemikir kelahiran Palestina, dalam buku monumentalnya, Orientalisme. Adalah kenaifan kita dalam menerima takdir sejarah jika orang di luar Timur yang menjelaskan keseluruhan isi di bumi Timur. Karena sejarah suatu negara dimulai dari catatan harian para perancangnya. Terkait itu, mari simak tindakan Soekarno yang menuliskan sepenggal catatan hariannya di penjara Sudra Banceuy. Kelak, catatan itulah yang ia bacakan di Landraad, Bandung pada 18 Agustus 1930 sebagai pleidoi yang kita kenal Indonesia Menggugat.

***

Ada banyak hal yang memang bisa dilakukan dalam menjelaskan diri pada diri sendiri, saudara, teman, istri, atau orang-orang yang belum kita kenal sekalipun, dan salah satunya menuliskan kesaksian kecil dalam catatan harian. Dalam lembaran catatan itu sepenuhnya milik kita, tidak ada rezim ilmiah dalam metode penulisan atau aturan lainnya. Karena itu adalah sejarah kita sendiri. Jika ada yang perlu diwaspadai, itu terletak pada kejujuran kita saja dalam menuliskan kesaksian. Karena di luar sana, kacamata yang digunakan oleh para pembaca tentulah berbeda. Itulah sebabnya ketika catatan harian Soe Hok Gie hendak diterbitkan, ada beberapa penghilangan nama serta perubahan kalimat.

Awalnya tergantung kita, karena kosa kata merupakan sistem tanda yang memungkinkan menjadi baik sekaligus buruk, kata Eka Kurniawan. Lebih jauh, pengarang novel Cantik Itu Luka, mengatakan kalau menulis itu layaknya koki. Asumsinya, kalau semua koki yang andal bisa membuat jenis masakan dari resep yang sama, yang membedakan adalah kemampuannya untuk menggunakan api dalam mematangkan masakan, karena api yang terlalu besar bisa menggosongkan dan api kecil membuat masakan tidak matang dengan sempurna. 

Jadi, penulis harus selalu hati-hati dalam menggunakan kosa kata, karena kosa kata adalah api yang bisa membakar hati para pembacanya. Kosa kata dalam kalimatlah yang membedakan antara penulis yang satu dengan lainnya. Sebagaimana Jalaluddin Rumi, sufi kelahiran Balkh, pada 604 Hijriah (sekarang Afganistan) yang menggunakan kata layaknya api yang menerangi keraguan manusia akan Tuhan.

Satu hal dan hal-hal lainnya yang tak pernah lepas dari kehidupan manusia, ialah keharusan kita untuk selalu diingat dan mengingat. Karena manusia berpotensi untuk lupa dan diam sekaligus memiliki kesempatan untuk selalu cerewet tentang apa saja. Olehnya itu, manusia memerlukan nyawa tambahan. Yakni, sebuah kumpulan kata-kata yang tentunya memiliki perjalanan yang panjang dalam sejarah kehidupan. Ia akan melewati segala zaman dan menjadi pengingat bagi yang membacanya. 

Kita mungkin takkan mengenal semangat pluralis eks wartawan Tempo yang tewas tertabrak sepeda motor, Ahmad Wahib. Jika catatan hariannya yang tertuang dalam buku ‘Pergolakan Pemikiran Islam’ tidak diterbitkan. Mungkin kita tak memiliki bacaan alternatif guna mengeja kekejaman Nazi, kalau saja Anne Frank turut tewas di kamp pengungsian sebelum catatan hariannya tuntas dan tersebar luas. 

Ahmad Wahib, Anne Frank, Soe Hok Gie, dan Soekarno. Mereka hidup ketika media tak seramai hari ini, merekapun sebenarnya tak memiliki hajatan untuk mempublikasikan catatan hariannya, mereka menuliskan kesaksiannya ketika zaman tak berkawan, tersudut, dan mengalami sepi. Tapi di situlah mereka menemukan sepetak jalan untuk tetap menjadi penyaksi atas zaman yang dilewati. Dengan media sederhana itulah mereka berdialog dengan diri sendiri, merayakan monolog di seheleai kertas. Tapi, saya yakin kalau catatan harian itu adalah gugatan, tanya, sekaligus doa.

Kira-kira demikianlah catatan harian itu hadir, melampaui keisengan menjadi sebentuk perlawanan yang kelak menjadi penerang sepotong sejarah yang penuh dengan kekelaman. Nah! Bagaimana dengan kita, dengan ragam media yang tersaji di atas meja makan kita. Maukah kita mulai menulis dan tak sekadar merengek di dunia maya?
_

Dimuat di rubrik Literasi Koran Tempo Makassar, 13 April 2013



Komentar

Postingan Populer