Mayakrasi
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono kembali menjadi newsmaker,
usai menerima dorongan dari kader Partai Demokrat guna memegang amanah
selaku ketua umum yang dinilai oleh pengamat sebagai bentuk oligarki politik
dan juga ketidakkonsistenan, karena sebelumnya beliau menghimbau sejumlah
menteri agar fokus pada tugas negara dari pada partai. Namun kini, ia
juga telah meluncurkan akun Twitter.
Tindakan
tersebut tentu saja menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan, yang kontra
tentu menyayangkan tindakan kepala negara yang hendak aktif di jejaring sosial,
karena mengkhawatirkan akan bocornya rahasia negara. Namun SBY bergeming,
kicauannya pun sudah bisa ditanggapi oleh pengikutnya (follower). Jadi ke
depan, para pewarta tak perlu lagi direpotkan untuk bertemu dengannya guna
memperoleh tanggapan atas suatu peristiwa. Cukup melayar di dunia maya saja
lalu mengintip akun sang presiden.
Dunia maya
memang tanpa pagar, orang-orang dengan bebas mengajukan pendapat, curahan hati,
memberikan tanggapan, hingga menayangkan gambar atau video, Sungguh sebuah kebebasan yang sekian lama
diidamkan. Meski jaringan dunia maya ini belumlah seabad usianya, tapi seolah
menjadi kebutuhan dan menjadi fondasi sebuah kebudayaan yang sedang bergerak.
Sebelum
Twitter lahir, aplikasi yang serupa sebenarnya sudah melekat pada layanan
Blogger, Wordpress, Tumblr, dan sejenisnya. Media sosial tersebut menawarkan
layanan dialog, tukar informasi, serta transaksi komunikasi lainnya guna saling
menanggapi atas apa yang telah dilampirkan di lamannya. Hanya saja, tak
memiliki fitur obrolan (chating) sebagaimana ditawarkan Facebook, bahkan
jejaring sosial temuan Mark Zuckerberg dan kawan-kawannya di Universitas
Harvard pada 2004 ini sekarang sudah menyediakan layanan obrolan wajah (telepon
video).
Dari segi
ketersediaan fitur, Facebook memang lebih lengkap, tapi seolah rumah tanpa
kamar, ruang sempit untuk menyendiri. Memang ada kunci berupa mematikan layanan
obrolan, tapi ajakan dan usikan selalu ada jalan. Saya menduga kalau layanan
radikal Facebook inilah yang membuat seorang publik figur lebih memilih Twitter
dari pada Facebook, atau jejaring sosial lainnya. Kepopuleran Twitter pun telah
mengalihkan orang-orang dari pengguna jejaring sosial sebelumnya, meski
jejaring sosial hasil kreasi Jack Dorsey pada 2006 ini hanya menyediakan
kicauan 140 karakter dan menutup ruang obrolan. Tapi justru menjadi magnit bagi
seseorang untuk eksis di dunia maya, tak terkecuali seorang presiden. Sebelum
SBY, presiden Amerika Serikat, Barack Obama pun lebih dulu berkicau di jejaring
sosial tersebut.
PERILAKU
Apapun
alasannya, yang jelas ragam media yang hadir dewasa ini adalah ruang bagi kita
untuk berkomunikasi. Kita tak lagi hidup di dunia yang hanya memiliki satu
saluran informasi, karena itu hubungan manusia juga harus dibangun di dunia
maya, di ruang itulah mungkin, kita bisa membangun komunikasi tanpa perlu
membetulkan raut wajah. Menghaturkan belasungkawa sambil telentang di kasur
empuk, atau menangisi kemiskinan sembari mengasup daging panggang, dan segala
anomali yang tak terbaca.
Di dunia
mayalah orang-orang merayakan kebebasan absurd, mengajukan kritik, menghasut,
menghina, hingga berdebat meski belum saling mengenal. Asdar Muis RMS, esais
dan budayawan, menyebutnya sebagai perilaku mayakrasi, sebentuk tindakan
komunikasi di saluran dunia maya. Layaknya demokrasi yang memiliki penyaluran
resmi dalam pemilihan. Pengguna akun jejaring sosial pun merayakan kebebasan
itu di dunia maya.
Perilaku
sebagian orang-orang di dunia maya tersebut saya kira dipahami oleh presiden
SBY, bahwa rambu apapun akan dilanggar, tak terkecuali UU No 11 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mengingat jejaring sosial merupakan
media komunikasi yang memiliki dorongan kuat bagi seseorang untuk mengucap
tanpa pertimbangan etika, hal ini sangat dimungkinkan mengingat mudahnya
seseorang mematikan akun begitupun membuat akun baru. Tegasnya, seseorang
dengan sangat mudah bisa lari dari tanggung jawab sosialnya di dunia maya.
Jadi,
mayakrasi ataupun demokrasi, di satu sisi sama-sama memberi ruang bagi
seseorang untuk memasang sejuta wajah di ruang publik bagi yang sekadar
merayakan kebebasan tanpa menggenggam etika. Nah, bagaimana dengan kesiapan
presiden SBY terkait hal tersebut. Bukankah sejauh ini, lalu lintas informasi
di jejaring sosial sangat frontal dalam menyerang publik figur. Jika kita
mencoba menghitung plesetan gambar presiden SBY serta publik figur lainnya, itu
sudah banyak sekali. Bermodal aplikasi Photoshop pun, seseorang sudah bisa
mengedit foto guna melayangkan satire, kritik, dan cemooh. Jika merujuk pada
muatan regulasi UU ITE, maka yang orang yang diperlakukan demikian sudah punya
dasar hukum untuk mengajukan gugatan.
Karena
Twitter merupakan aplikasi yang digunakan seseorang untuk membangun komunikasi
di dunia maya, saya kira tindakan presiden SBY membuat akun adalah pilihan
sadar akan hal itu. Dengan kata lain, beliau juga ingin merayakan kebebasan di
dunia maya (mayakrasi). Pertanyaan kita, akankah Twitter sang presiden di sisa
masa akhir jabatannya menjadi rak arsip pribadi agar lebih mudah menerima
masukan dari masyarakat tanpa perantara, atau kicauannya menjadi sabda atas
masalah yang menguak. Mari menanggapi.
***
Makassar, 20
April 2013
Komentar