Demokrasi di Atas Sungai




Demokrasi di negeri ini tampaknya mengambang, naik turun mengikuti tinggi rendahnya air, atau pergi dan kembali sesuai arah arus. Tidak ada yang menetap dan membumi sebagai dasar pijakan yang akan tumbuh seiring perjalanan zaman menuju impian dari setiap generasi.
Kita selalu saja ribut atas nama demokrasi, bahwa menanggapi, mengkritik, atau memvonis, semuanya dilakukan atas nama kebebasan berpendapat. Itulah setitik perkembangan demokrasi di negeri ini. Soal ujian nasional, misalnya, penundaan evaluasi tahunan bagi peserta didik tingkat akhir itu telah melahirkan sumpah serapa terhadap penyelenggara (Kemendikbud), seolah ujian nasional adalah bentuk sempurna atas pelaksanaan pendidikan.

Kita tahu, kalau ujian nasional yang dicanangkan sebagai penentu akhir kelulusan peserta didik, sunggulah diskriminatif, pelaksanaannya selama tiga hari seolah menenggelamkan jerih pelajar selama tiga tahun. Namun hal ini tidak pernah menjadi dasar evaluasi, sehingga kita selalu saja ribut dan terjebak ke dalam asumsi dangkal, kalau banyak bicara itu melahirkan solusi. Nyatanya, kita selalu saja mengulang topik yang sama.

Ujian nasional hanyalah salah satu pengulangan yang tak berkesudahan di dunia pendidikan, sisanya lebih banyak lagi, terkait komptensi guru, misalnya, guna melakukan evaluasi atas kinerja kaum Oemar Bakrie dalam analogi Iwan Falls, pemerintah telah menerapkan sejumlah keputusan. Di antaranya, sertifkasi guru. Maka berjalanlah kongkalikong untuk mendapatkan label tersebut, yang terparah tentu saja kondisi guru yang sudah lama menghibahkan hidupnya hingga puluhan tahun, dan harus gugur karena tak bisa mengoperasikan komputer. Guru dalam kategori ini adalah pengajar dari masa lalu yang memang di zamannya tak mengenal mesin pintar itu, mereka hanya berbekal keikhlasan sebagai wujud pengabdian kepada negeri, dan memilih profesi guru sebagai jalan. Namun, niat tulus terkapar seketika akibat prosedur, yang sebenarnya hanyalah cerminan dangkal.

Setitik realitas tersebut, jelas merupakan produk dari pengembangan demokratisasi dalam dunia pendidikan, tapi demokrasi yang dangkal yang sebatas berkutat pada hal-hal yang mengambang, menyepelekan kedalaman makna dari demokrasi itu sendiri yang semestinya dibaca sebagai pembumian (subtansi) nilai (keikhlasan).

Dunia pendidikan bukan satu-satunya ruang dari perjalanan wacana demokarsi itu. Di ruang lain yang tak kalah dangkalnya. Ialah proses Pemilukada di sejumlah daerah, sejak bergulir 2005 silam, kita hampir tak menjumpai proses pemilihan kepala daerah yang mengedepankan subtansi, baik selama proses berlangsung maupun setelah usai, Pemilukada dipandang sebagai arena untuk berkelahi dalam merebut kekuasaan. Haram hukumnya jika kalah, karena itu segala cara menjadi sahih untuk dijalankan.

Yudi Latif (2013), menyebutkan kalau yang demikian merupakan gejala demokrasi tanpa kedalaman nomokrasi, seperti aliran sungai, hal-hal sepele mengambang di permukaan dan membiarkan subtansi tenggelam. Itulah mengapa setiap hajatan pemilihan tiba, ragam benda mengapung di mana-mana.

Merebut ruang di jalur demokrasi memang tak cukup dengan niat yang tulus, Aristoteles sendiri memendam kekhawatiran yang hari ini menguak di pelupuk mata kita. Semangat demokrasi yang mulanya merupakan antonim terhadap aristokrasi, di dalam perkembangan demokrasi di negeri ini, malah menjelma menjadi meritokrasi (pemerintahan oleh orang-orang yang mampu).

Wujudnya, jabatan publik bisa dilelang, dan stoknya tersedia di laci meja para pemuncak kekuasaan. Situasi inilah yang menggelitik nalar kita, bahwa politik telah begitu hina di hadapan segepok uang dan etika tak lagi sebagai perisai. Jadi, kita hanya selalu sibuk mengumpulkan remah di permukaan air sungai sebagai bahan perbincangan.

***
Makassar, 18 April 2013
Dimuat di Tribun Timur, 19 April 2013

Komentar

Postingan Populer