Collieq Pujie, Kartini, dan Orientalisme
Retna Kencana
Collieq Pujie Arung Pancana Toa (1812-1876), dikenal sebagai juru tulis Kerajaan
Tanete (sekarang Barru), melalui ketekunannyalah sehinga epos La Galigo bisa
kita jumpai hari ini, pun ia melawan keterbatasan dan pembatasan
bagi seorang perempuan di masanya. Dengan berani,
ia menjelajah pelosok guna mencari sebaran naskah La Galigo. Naskah
itu selanjutnya diserahkan kepada BF Matthes. Seorang misionaris yang
ditugaskan Belanda untuk mempelajarai kebudayaan di Sulsel. Tapi itulah pilihan
yang harus dijalani Collieq Pujie.
Ia tak hanya menyalin naskah La Galigo
selama 20 tahun, tapi juga melahirkan karya berupa kelong (pantun Bugis), biografi, dan bahkan menciptakan
aksara Bilang-Bilang, aksara Bugis
yang dikembangkan dari aksara Lontara Toa. Maka tak keliru jika Nurhayati
Rahman, guru besar Fakultas Ilmu Budaya Unhas, menyebutnya sebagai budayawan,
intelektual, dan sejarahwan negeri ini yang hidup di abad 19. Hanya saja,
kiprah beliau sepertinya terlupakan.
Lontara Bilang dan Mozaik Pergolakan
Batin Seorang Perempuan Bangsawan, adalah dua karyanya yang telah
diterjemahkan oleh HA Saransi dan diterbitkan oleh komunitas Sawerigading. Sedangkan karya
lainnya, Sure Baweng dan Sejarah Tanete Kuno diterbitkan Niemann di Belanda.
Inilah
sepenggal kiprah tentang perempuan tangguh dari daratan Sulsel, di kepulauan
lain tentu kita juga mengenal pergulatan perempuan di zamannya, Cut Nyak Dien
(1848-1908), misalnya, yang menolak tunduk pada pemerintah kolonial, Belanda. Tapi
ia takluk, dan ditetapkan sebagai pahlawan. Namun penaklukkan itu tentulah
hasil akhir dari sebuah pertentangan di mana Cut Nyak Dien telah bergulat di
dalamnya.
Menengok Kartini
Sejak 21 April
1964, negeri ini mengenang jasa sosok perempuan yang kiprahnya sekadar menulis
surat curahan hati kepada sejumlah kerabatnya di negeri Belanda, seperti Nyonya
Abendanom, Nyonya MCE Ovink Soer, Nyonya HG De Booij Boisevain, dan Estella
Zaenhandelar. Tuan Abendanom kemudian mengumpulkan surat Kartini itu dan
memberikan tajuk Door Duisternis tot
Lich, itulah cikal bakal buku Kartini Habis
Gelap Terbitlah Terang ke dalam bahasa Indonesia.
Jika kita
mengeja riwayat Kartini, maka akan didapatkan sebuah perlawanan pasif, ia tidak
berdaya dan harus menjalani masa pingitan kala usianya masih 12, 5 tahun, di
situasi itulah putri Bupati Jepara, RMA Sosroningrat ini menuliskan
ketidakberdayaannya menghadapi dominasi kultur di lingkungannya. Ia mengiba
melalui goresan pena yang kemudian ia kirimkan ke luar dari labirin
lingkungannya.
Jejak itulah
kemudian yang dijadikan dasar guna menetapkannya sebagai patron perlawanan
perempuan dalam historiografi negeri ini. Sungguh sangat sederhana mengangkat
seorang pahlawan.
Pada situasi
sejarah ini, kita patut mengajukan tanya. Bahwa mengenang seseorang yang
dianggap telah berjasa di masa hidupnya untuk perkembangan negeri ini memang
patut. Hanya saja, menjadi naif bagi kita mana kala pentasbihan tersebut tak
memiliki alasan kuat guna membangun sebuah fondasi. Bagaimanapun juga, kiprah
Kartini yang disebut-sebut sebagai cikal bakal gerakan emansipasi perempuan di
negeri ini sungguhlah lucu. Karena Kartini tak bisa berbuat apa-apa untuk
merealisasikan impiannya.
Lantas, mengapa
gelar pahlawan dan simbol kebangkitan perempuan disematkan di pundaknya. Hal
ini semakin menguatkan dugaan kalau pembagian gelar kehormatan sebelum
kemerdakaan memang ditentukan pihak Belanda, itulah hegemoni yang hendak
ditanamkan, bahwa Belanda menaklukkan orang-orang yang telah diberi gelar kepahlawanan
itu. Asumsi ini sebenarnya serpihan dari gerak orientalisme.
Edwar Said
(1935-2003), menegaskan kalau orientalisme merupakan distribusi kesdaran
geopolitik ke dalam teks estetik, ekonomi, sejarah, sosiologi, kecendikaan, dan
filologi. Disiplin ilmu pengetahuan ini kemudian yang melahirkan bias, syarat
kepentingan dan manipulasi. Sejalan dengan pemetaan ini, maka historiografi
Indonesia dimaknai sesuai keinginan penjajah.
Pertautan
Kartini dengan orang Belanda, barang tentu dicap sebagai muasal kesadaran
Kartini, dengan kata lain, Kartini bukanlah siapa-siapa. Surat yang ia tulis
mencerminkannya sebagai pembebek kebudayaan luar. Pembacaan serupa juga
menghampiri riwayat orang terdahulu, tak terkecuali Colliq Pujie, Belanda akan
tetap menggelorakan, kalau keberhasilannya menyalin naskah La Galigo sebanyak
12 jilid, tentulah tak terlepas dari dorongan BF Matthes. Sehingga Belanda
memiliki ruang yang sangat lapang untuk menetapkan kebenaran atas tafsir
peristiwa di masa lalu.
Dominasi inilah
yang terus menguat hingga hari ini, sehingga kita selalu saja terbuai dengan
peringatan suatu perayaan, yang sebenarnya bentuk keterjajahan tak terpahami.
Memang diperlukan proses yang panjang dan terus mengkaji peristiwa dan sejarah
sebuah wilayah, tokoh, dan gerakan sosial di masa lalu, sehingga secara
perlahan dominasi sudut pandang orientalisme dapat ditepis. Ada percobaan
heroik yang coba ditawarkan Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, guna melawan
hegemoni sudut pandang Barat, maka kita harus mempelajarinya sebagaimana mereka
menggeledah bumi Timur. Ia menerbitkan buku panduan bertajuk Oksidentalisme sebagai jawaban. Nah,
semoga kita mau belajar.
***
Makassar, 22
April 2013
Dimuat di Tribun Timur, 24 April 2013
Dimuat di Tribun Timur, 24 April 2013
Komentar