Pemilih yang Merawat Ingatan
Sejarah mengingatkan kalau hasil
perhitungan cepat (Quick Count), itu tak
jauh berbeda dengan hasil perhitungan manual yang dilakukan penyelenggara (KPU).
Maka luapan ekspresi guna merespons hasil hitung cepat itu menjadi wajar untuk
dilakukan. Mungkin perasaan demikian yang menghampiri pasangan kandidat yang
unggul sementara saat menyaksikannya di televisi.
Pada wilayah ini, peran media elektronik
tentulah sangat membantu. Hanya duduk di depan layar kaca sambil menyeruput
kopi dan menghembuskan asap kretek, kita sudah bisa menakar perolehan suara
dari pasangan kandidat yang bertarung. Dan hasilnya! Pembaca sudah pasti tahu.
Dengan demikian, masyarakat yang
menggunakan hak pilihnya telah menunaikan tugas dan telah menitipkan pesan di
setiap kertas suara yang dicoblos. Pesan yang nantinya diharapkan memperoleh
jawaban yang indah dari pasangan yang terpilih. Bahwasanya, masyarakat
merindukan perubahan taraf hidup yang lebih baik, dan itu erat kaitannya dengan
proyeksi program politik pasangan yang terpilih.
Ingatan Pemilih
Tanpa riset yang mendalam pun, kita
tentu sepakat kalau tak semua masyarakat Sulsel yang sudah terdaftar sebagai
pemilih menggunakan hak pilihnya. Inilah sisi lain perhelatan demokrasi, tetap ada
sangsi yang terus terpelihara. Meski wajah pasangan kandidat sudah terpajang di
pintu rumah kita. Tapi ingatan akan sosok yang menjadi pilihan, menjadi virus
malas untuk melangkah ke TPS, dan bertahan pada argumentasi. Kalau tidak ada
demokrasi di kotak suara. Karena pilihan lagi-lagi telah ditentukan.
Sehingga bisa ditebak, kalau
orang-orang yang melangkah ke TPS. Adalah pemilih yang sama dengan lima tahun
yang lalu. Mereka juga merawat ingatan, kalau pemilihan kali ini, hanyalah
pengulangan pengalaman yang sama. Gejala ini menjadi sebuah barometer atas
sebuah hegemoni kekuasaan yang bekerja secara apik.
Tentu ada instrumen lain yang
digunakan guna memupuk ingatan itu, baik dari pemilih itu sendiri maupun yang
membutuhkan suara para pemilih. Hubungan ini terus dijaga melalui pertautan
mesin politik yang bekerja di lingkungan masyarakat, serta proyeksi perubahan
yang mungkin bisa dibanggakan para pemilih.
Hasil Pilgub Sulsel ini menyadarkan
bahwa ada kelumpuhan pada intelektual partai masing-masing yang mengusung
pasangan kandidat untuk bertarung melawan petahana. Saya menduga, ada pembacaan
sejarah yang keliru yang tak bisa ditutupi melalui program politik, kampanye,
maupun iklan politik di media massa. Mungkin salah satu yang alpa dikaji oleh para
intelektual partai, adalah instrumen yang digunakan dalam pertarungan di
Pilgub.
Kerja kreatif yang dilakukan para
intelektual partai di balik layar, rupanya harus takluk dari kerja intelektual
kaum organik. Ini menarik untuk diperbincangkan, mengingat massa yang
menghadiri setiap kampanye pasangan kandidat selalu ramai. Peran intelektual
partai dan intelektual organik tentu memiliki andil pada setiap perhelatan itu.
Hanya saja, perlu dicek kesadaran
massa yang melimpah. Apakah kehadiran mereka di lapangan merupakan hasil akhir
dari sebuah mobilisasi ataukah memang bentuk partisipasi yang lahir atas
kesadaran. Kedua motif inilah yang bisa dijadikan rujukan massa riil ketika
sudah berada di TPS. Benarkah massa ini mengekor pada intelektual partai atau
merujuk pada intelektual organik.
Syahdan! Filsuf politik berkebangsaan
Italia, Antonio Gramsci. Mengutarakan sebentuk ejekan, bahwa semua orang adalah
intelektual, tapi tidak semua intelektual berfungsi di masyarakat. Hal ini
boleh jadi menghinggapi para intelektual partai, baik dari pusat (Jakarta)
maupun lokal yang turut bergerilya dalam
panggung kampanye.
Kita tentu tahu kapasitas intelektual
partai, adalah mereka yang berjibaku dengan kerja strategi serta menjadikan
ketokohan dirinya sebagai gula yang akan dikerumuni. Kerumunan itu memang
terlihat, tapi perlu diingat. Kalau mayarakat tentu lebih dekat pada ketokohan
yang tidak membuat jarak. Yakni, orang-orang yang ditokohkan (intelektual
organik) yang hidup berdampingan di lingkungan masyarakat.
Atau boleh jadi, ingatan masyarakat
memang kuat. Sehingga tak tergoyahkan dengan isu perubahan yang coba ditawarkan
para kandidat yang mencoba peruntungan di Pilgub kali ini. Dan saya kira memang
demikian, jualan gratis yang dijadikan lokomotif mendulang suara. Itu sungguh
membosankan. Karena isu itulah yang digunakan petahana sebagai semangat baru di
Pilgub 2007, dan tentu masyarakat telah merasakannya (meski itu program
nasional). Hal ini saya kira salah satu peta guna membaca kemenangan petahana (baca:
versi hitung cepat) dan kelumpuhan intelektual partai dari dua pasangan
kandidat.
Ingatan Selanjutnya
Bagaimanapun juga, pengesahan pemenang
Pilgub Sulsel bukanlah otoritas lembaga survei. Kita harus menunggu hasil
perhitungan KPU yang memiliki legitimasi hukum. Namun, kepastian akan adanya
era kepemimpinan terbaru untuk lima tahu ke depan, itu sudah pasti.
Lalu apa yang harus dilakukan
selanjutnya, tak lain adalah merawat ingatan kita untuk mengawal program
politik yang telah telah ditanamkan di benak masyarakat. Kita harus sadar,
kalau menagih dan menuntut adalah sebuah hak yang tak bisa ditawar lagi. Karena
itulah alasan kita ke TPS, mencoblos tanda gambar pasangan yang dikehendaki sebagai
‘pilot’ yang akan menerbangkan kita menuju kesejahteraan yang adil bagi semua.
Kita tentu mafhum dengan program
politik yang ditawarakn tiga pasangan kandidat, dan saya kira secara garis
besar program itu memiliki misi yang semuanya mulia. Merancang impian demi kesejahteraan
masyarakat Sulsel tanpa diskriminasi. Sampai di sini, kita patut berterima
kasih kepada ketiga pasangan, mengingat sebelum dan selama proses perhelatan
Pilgub. Hibah waktu, pikiran, tenaga, serta ide brilian. Semuanya telah
dikerahkan, dan itu pasti demi masyarakat Sulsel.
***
Pangkep, 24 Januari 201
Komentar