Iklan Politik yang Mengkhawatirkan


Menjelang hari pemilihan Pilgub Sulsel, rupanya ada sejumlah prolog yang telah menguak. Setelah sebelumnya penembakan dua teroris dan amuk alam (Banjir dan Puting Beliung) yang melanda sejumlah daerah. Kedua realitas ini tentu bisa menjadi komoditas politik untuk merebut simpati pemilih guna memenangkan pertarungan.

Isu lain yang tak kalah mengkhawatirkan, ialah kemungkinan benturan massa masing-masing kandidat. Hal inilah yang menjadi analisis Kapolda Sulsel sehingga memberikan instruksi agar debat kandidat dilaksanakan pada sore hari saja. Mengingat sebelumnya jadwal yang ditetapkan KPU akan berlangsung pada malam hari. (Tribun Timur, 9 Januari 2013).

Langkah ini saya kira suatu bentuk antisipasi yang perlu diapresiasi dengan baik, apalagi kandidat dan tim sukses tidak mempersoalkan jika debat dilaksanakan pada siang hari. Karena hal ini tentulah memudahkan aparat keamanan dalam memantau jalannya acara agar tidak disusupi oleh pihak-pihak tertentu yang hendak mengacaukan. Meski kemudian terjadi pula bentrokan massa dua kandidat antara pendukung IA da Sayang  di jalan Haji Bau, Makassar setelah acara debat kandidat. (Tribun Timur, 11 Januari 2013).

Iklan Politik

Jika kita mencermati iklan politik kandidat di media massa. Khususnya media cetak, maka isu yang tengah dipublikasikan bukan lagi pada penguatan program, melainkan sangat kental tendesi politik yang bisa melemahkan kandidat sekaligus bisa menyulut emosional para pendukung (Perhatikan iklan politik yang beredar pada dua harian lokal, Fajar dan Tribun Timur edisi 8 dan 9 Januari 2013). 

Sumber: Tribun Timur 9 Januari 2013
Kekuatan dari iklan politik ini jelas akan bertahan lama di benak masyarakat. Hal ini didasari oleh dua hal. Pertama, Teks dan ilustrasi gambar yang tertuang dalam lembaran iklan itu akan memberikan kejutan psikologis bagi masayarakat. Dari sini akan terbangun asosiasi ingatan dan dugaan, bahwa apakah itu memang demikian atau masih sebuah desas-desus. Kedua, hal yang demikian tentulah suatu pembicaraan hangat yang akan selalu diperbincangkan. Hasil akhirnya akan terus berkembang melalui jejaring komunikasi yang ada.


Sumber: Fajar, 8 Januari 2013

Sebenarnya, jika kita menelaah secara menyeluruh lahirnya iklan politik yang demikian. Itu erat kaitannya dengan rivalitas antar kandidat yang sedang bertarung, riwayat ini bisa kita lihat jauh hari sebelumnya berdasarkan jejak politik masing-masing calon. Sekaligus sebagai terjemahan kalau kemesraan di depan publik yang sering diperlihatkan oleh kandidat tak lebih sebagai kamuflase.

Ya, saya kira itu tak berlebihan. Jika kandidat memang memiliki niat memberikan kampanye politik yang mencerahkan bagi masyarakat. Kita tahu kalau cerminan sosok pemimpin haruslah bebas dari segala cela. Baik itu berupa perilaku destruktif yang melukai diri sendiri maupun tindakan yang merugikan Negara. Karena itu asas mengedepankan praduga tak bersalah perlu dicanangkan, mengingat ada lembaga Negara yang memiliki otoritas untuk membuktikan cela yang dimaksud.

Menurut hemat saya, memberikan justifikasi yang melampaui otoritas, adalah bentuk kekeliruan yang akut. Hal ini sama halnya dengan memasang bom waktu di tengah kerumunan masyarakat yang hendak menyukseskan pemilihan Pilgub ini. Berdasarkan kalkulasi waktu yang telah ditetapkan, maka kekacauan akan menguak bilamana ada ketidakpuasan menerima hasil pemilihan nantinya.

Dengan kecanggihan teknologi dan keterbukaan informasi dewasa ini, saya kira masyarakat tak lagi buta apalagi tuli dalam melihat dan mendengar perkembangan informasi yang beredar. Bahwa masyarakat mengetahui ada tindakan yang korup dalam kebijakan publik dan adanya perilaku pejabat yang tercela. Itu sudah menjadi konsumsi fakta sekaligus lelucon. Jadi tak perlu lagi menjualnya sebagai komoditas politik, karena jualan yang demikian sungguh mengkhawatirkan. Lagi pula iklan politik yang demikian tentu bisa menjadi bumerang bagi kandidat itu sendiri.

Kampanye yang Mencerdaskan

Aktifitas kampanye yang merupakan salah satu tahapan dalam pemilihan, adalah ruang yang sepatutnya memberikan asa dan solusi bagi persoalan yang dirasakan masyarakat. Medium kampanye ini selain bisa dilakukan secara langsung, juga bisa diupayakan melalui iklan di media massa atau yang lagi marak, pemasangan baliho.

Hanya saja, ada yang miskin dan alpa di media kampanye itu, yang tak lain menyangkut isi pesan yang hendak disampaikan. Sepertinya melupakan esensi seorang pemimpin yang semestinya mencerminkan sikap dedikatif, peduli, dan visioner. Yang ada malah pajangan wajah seolah masyarakat buta dan tak mengenal kandidat. Lalu melupakan (alpa) lilitan kemiskinan, lowongan pekerjaan, dan pelayanan publik yang sejauh ini merupakan horor sosial.

Meski ruang kampanye tak lebih sebagai syarat prosedural saja, namun tentunya kita merindukan sosok pemimpin yang jauh dari sikap tercela dan yang bisa menawarkan gagasan pembangunan yang berkeadilan, bukan semata bangunan fisik yang menyilaukan mata. Akan tetapi pembangunan mental agar tak labil mengarungi zaman.

Dari ruang kampanye ini pulalah segala sesuatu bisa berubah, ada hasil yang bisa dituai sekaligus ada luka yang mengangah. Semua itu tergantung dengan kecakapan dalam meramu pesan agar apa yang diharapkan sesuai dengan hasil yang didamba. Saya kira tahapan kampanye ini perlu diingat sebagai langkah utama dalam mensosialisasikan ide sekaligus menunjukkan komitmen keberpihakan, tak perlu mengumbar janji yang melangit yang nantinya hanya berakhir sebagai ilusi. Apalagi memberikan kegamangan informasi bagi masyarakat dengan iklan politik yang bisa menyulut emosi massa. Yang pasti-pasti sajalah, karena masyarakat tak buta dan tuli dengan semua itu.

Paling tidak sejauh ini, di tengah minimnya gerakan penyadaran sosial di Sulsel. Maka rumah perubahan bagai masyarakat tentu berharap pada pemilihan yang digelar lima tahun sekali ini. Nah, jika sudah demikian. Sentulah masyarakat dengan kampanye cerdas.
_

Dimuat di Tribun Timur, 12 Januari 2013


Komentar

Postingan Populer