Habis Pilgub Terbitlah Pilwali
***
Makassar
selaku ikon Sulsel yang juga merupakan pintu gerbang kawasan timur (KTI),
tentulah menjadi ‘gula’ untuk selalu dikerumuni. Namun sebagai kota besar
sebagaimana kota lainnya, Makassar tetaplah sebentuk ruang yang bisa
meninabobokan seseorang yang menjadi nahkodanya, wewenang dan fasilitas yang
tersedia. Adalah opium yang bisa membuat seseorang lupa, sakau, atau mengigau
***
Sepanjang tahun 2013 ini, akan dilaksanakan 152 pemilu kepala daerah
yang terdiri dari 12 tingkat provinsi, 67 kabupaten, dan 24 kota. 103 di
antaranya sudah ditetapkan jadwal pelaksanaannya. (Kompas, 22/1/2013).
Aroma inilah yang tengah berhembus di Makassar, setidaknya
telah muncul sejumlah nama dari berbagai kalangan untuk merebut kursi nomor
satu di ibu kota Sulsel ini. Tak hanya
dari partai, tapi juga pengusaha, birokrat aktivis, hingga kalangan selebritas.
(Tribun Timur, 28/1/2013).
Demam kepala daerah memang sudah menjadi fenomena dalam
sejarah perpolitikan modern di negeri ini. Tiba-tiba saja semua orang merasa
perlu untuk terlibat dalam pencalonan kepala daerah. Hal utama yang harus
dilakukan adalah membentuk citra, menggalang dukungan, dan membangun kerja sama
politik kepada pihak yang dianggap bisa menjadi jaminan legitimasi. Kemungkinan
itu memang ada, karena seseorang sudah bisa mencalongkan diri meski tanpa
partai. Tak peduli dengan kadar yang melekat pada dirinya, intinya memeriahkan
pesta demokrasi. Persolan terpilih atau tidak, itu urusan nanti.
Pada tahapan ini, terjadilah transaksi politik dan ekonomi
yang melahirkan proses pembentukan tim yang akan membantu pada kerja lapangan.
Mulai dari sosialisasi, penggalangan dukungan, serta finalisasi sebagai
kandidat yang berhak mengikuti pemilihan wali kota.
Wajah Kota
Kota Makassar dalam proyeksi perubahan sepuluh tahun
terakhir ini. adalah kota berwajah dunia. Apakah wajah dunia yang dimaksud? Saya
menterjemahkannya sebagai bentuk gagasan akan keberadaan sebuah wilayah yang hendak
dijadikan sebagai bagian dari perhelatan kebudayaan dunia.
Berdasarkan sejarahnya, wilayah Makassar memang telah lama
menjadi ruang interaksi antar penduduk dari berbagai belahan negeri. Baik itu
berupa urusan niaga hingga sektor lainnya. Ringkasnya, Makassar adalah ruang
bersama untuk melakukan sesuatu dalam gerak zaman.
Jika demikian, maka Makassar wajib menyiapkan segala sesuatu
yang diperlukan dalam menunjang interaksi global itu. Hal yang paling dasar,
terjaminnya keamanan, ketersediaan infrastruktur, dan kebebasan. Ketiga tema
inilah yang bisa dijadikan indikasi dalam memberikan ukuran proyeksi atas impian
perubahan yang dicanangkan.
Lalu adakah kesemua itu mewujud? Jika ia, apakah merata bagi
semua warga kota? Pertanyaan ini saya kira yang tak pernah tuntas untuk selalu
diajukan, karena memang tak pernah memperoleh jawaban yang memuaskan. Untuk
memberikan gambaran atas pertanyaan ini, ada dua pemetaan yang bisa diperbincangkan:
Pertama,
perubahan tata kota kaitannya dengan penyediaan infrastruktur dalam
menggeliatkan ekonomi, saya kira perlu untuk dikaji ulang. Bahwa lahirnya
kawasan perdagangan di sejumlah titik di kota ini, sepertinya memotong jalur
perdagangan bagi pelaku usaha kecil. Yang paling radikal tentu saja menjamurnya
minimarket dalam mengambil alih persediaan kebutuhan sehari-hari warga. Realitas
ini jelas bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik
monopoli.
Selain itu, pembangunan tata kota juga memiliki hubungan dengan
keberadaan got. Saluran pembuangan ini tengah mengalami sedimentasi yang sangat
berat, kita bisa melihatnya sendiri di jalur pemukiman yang ditempati. Khusus
masalah ini, pemerintah kota tak boleh lagi mendiamkannya jika tak ingin bedak
pembangunan luntur dengan air bah setiap kali musim penghujan tiba. Saya kira,
ada banyak ide yang ditawarkan kalangan akademisi yang mahir dalam perencanaan
masalah ini. Karena itu diperlukan kemauan pemerintah kota dalam membangun
komunikasi dalam rangka pembangunan master
plan terbaru untuk penataan kota.
Kedua, hak akan
kota adalah milik warga yang mendiami wilayah ini. Olehnya itu, kemajemukan
warga yang membangun kehidupan tidak bisa dipandang secara diskriminatif. Bahwa
ada golongan yang mendapat perlakukan khusus dan di sisi lain ada komunitas
warga yang dianggap sebagai pengganggu pembangunan sehingga perlu untuk
disingkirkan. Jika pola pikir yang demikian masih bertahan dalam kerangka kerja
pemerintah kota, maka sama saja dengan menghilangkan etnis tertentu.
Paling tidak, dua masalah di atas adalah pekerjaan rumah
yang belum selesai dalam lalu lintas pemerintahan kota ini. Maka sangat jelas
tantangan yang akan dihadapi wali kota terbaru nantinya.
Opium Kekuasaan
Makassar selaku ikon Sulsel yang juga merupakan pintu
gerbang kawasan timur (KTI), tentulah menjadi ‘gula’ untuk selalu dikerumuni.
Namun sebagai kota besar sebagaimana kota lainnya, Makassar tetaplah sebentuk ruang
yang bisa meninabobokan seseorang yang menjadi nahkodanya, wewenang dan fasilitas
yang tersedia. Adalah opium yang bisa membuat seseorang lupa, sakau, atau mengigau.
Ragam kepentingan serta tekanan akan hadir bergantian atau
datang secara bersamaan mengetuk pintu kantor wali kota. Jika tak memiliki
kecakapan dalam menyikapi, maka penyakit lupa akan mengendap di kepala sang
nahkoda. Sehingga melupakan program politik yang telah dijanjikan kepada warga.
Demikian halnya jika lengah, maka gejala sakau akan menghampiri dan berakibat
pada keputusan yang mengigau. Tak jelas ke mana arah yang hendak dituju.
Kekhawatiran inilah yang acap kali meresahkan kita setiap
pemilihan kepala daerah akan bergulir. Karena kita akan kembali mengulang
pengalaman sebagaimana pemilihan yang telah lalu. Tapi inilah jalannya untuk
sementara, demokrasi memang jalur yang ramai dalam proses penentuan pemimpin.
Warga kota saya kira perlu mengajukan interupsi sejak dini perihal
perhelatan ini, memberikan peringatan kepada siapa saja yang ingin
memproklamisikan diri sebagai calon wali kota. Bahwa masalah yang masih
dihadapi sungguhlah tak jauh berbeda dengan masalah yang tengah dijalani
sekarang ini. Masih tingginya tingkat pengangguran, melebarnya jarak
kesejahteraan, dan banjir sebagai pengalaman komunal.
Jadi, segeralah menakar kemampuan bagi orang-orang yang
hendak bertarung. Karena mengurus wilayah Makassar dan warga yang mendiaminya,
jelas bukan mengurus sepetak kebun, apalagi membersihkan kandang ternak. Kesadaran ini perlu untuk direnungkan, agar
nantinya tidak terjebak dalam opium kekuasaan yang bisa memilukan dan melukai
hati warga kota yang telah menitipkan suaranya.
***
Makassar,
29 Januari 2013
Dimuat
di Tribun Timur, 1 Februari 2013
Komentar