Sepasang Puisi dari Umma Azura dan Reza Mustafa

Sumber Foto: Koleksi Umma Azura




“Puisi-puisi dalam buku ini adalah percakapan….” Itu merupakan sepotong kalimat penyair M. Aan Mansyur yang turut membubuhkan catatan pada buku antologi puisi gubahan Umma Azura dan Reza Mustafa.

Tepatlah kiranya jika mengeja puisi-puisi yang ditawarkan dua penyair ini disebut sebagai puisi yang berpasangan. Semacam percakapan guna saling melengkapi, bertanya jawab, dan merindu. Umma Azura di Makassar dan Reza Mustafa di Aceh yang saling bercakap melalui puisi. Sungguh sebuah penemuan dalam belantara sastra.

Mari kita simak pasangan puisi itu:

Lelaki Itu dalam Ingatanku

Malam ini, kau serupa music jazz yang sedang kudengar
Lembut, menenangkan dan berkelas.
Kau memukauku dengan senyuman tipis di bibirmu
Senyum itu, masih setulus saat kau menyatakan sayang padaku

Puisi di atas digubah Umma Azura yang kemudian dibalas oleh Reza Mustafa berikut ini:

Pergumulan

Maka,
Apakah kita mesti melakukan pengakuan dosa
Pada pastur-pastur teori? Jika Karena puisi
Anak-anak lahir begitu saja

Atau,
Kita selalu menyempatkan diri singgah ke warung kondom
Ketika diksi-diksi bergejolak dalam gairah imajinasi

Ada,
Perempuan dan lelaki bergumul dalam setangkup puisi

***

Tercatat ada 77 pasangan puisi yang rasanya sulit dipisahkan untuk berdiri di atas kakinya sendiri, yang mana 75 tanya, amsal, atau prolog dimulai dari kegelisahan Umma Azura. Hanya dua puisi yang bermuara pada Reza Mustafa (Hal. 85 dan 89).

Hal ini menandakan pula kalau perempuan (Umma Azura) adalah jejak yang mesti dijelaskan oleh lelaki (Reza Mustafa) karena tanya yang bertaluh sepertinya berakhir dengan fragmen yang samar.

Racuni Aku

kopi, cinta dan sanjunganmu
racun yang kuingin nikmati selama mungkin

Diliput Peluh

seseorang datang bawa racun
kau pun menenggak racun
sejenak rindu akut buyar
rasa cinta yang menggelepar

seseorang yang lain bertanya
sebab racunkah kau sembuh?
kau jawab, rinduku lama kambuh
tubuhku diliput peluh; penuh!

Sepasang puisi di atas bisa dijadikan sebagai alamat agar kita tidak tersesat menuju rumah kata kedua penyair yang sedang bunting. Tentu ada banyak pilihan kata yang berpotensi lahir sebagai tunas. Akan tetapi, pilihan politis ada pada kedua penyair. Mereka tentu tak ingin gegabah guna menjaga sebentuk kualitas kepada khalayak. Kehati-hatian adalah peta yang harus selalu ditatap untuk memastikan jalannya dialog.

Pada wilayah inilah saya kira, kedua penyair berhasil melahirkan anak ruhani dari pergumulan jarak yang amat jauh. Dan kita selaku pembaca tetap diberi ruang untuk menduga-duga ribuan kemungkinan yang tertangkup di benak.

Mari kita simak lagi percakapan itu:

Kabar Darimu Malam Ini

Baru sekadar membayangkan dirimu pergi, rinduku sudah bertumpuk-tumpuk. Akh, bagaimana jika kau sudah benar-benar pergi. Rindu akan membunuhku, itu pasti.

Itu Pesan Rindu

Tersebut; tak ada yang benar-benar pergi. Kecuali maut menjemput mengajak mati. Santai saja, pergi hanyalah usaha untuk kembali. Pergi adalah kata usang yang telah basi bagi seorang penanti.
 
Maka kau yang dibalut rindu. Atau yang sedang menunggu. sabarlah barang beberapa detik waktu. Atau temui yang telah pergi itu dalam duniamu sendiri. Serupa dunia yang telah kau gores dalam sebuah lukisan musim salju. Mungkin ia di sana. Mengerjakan beberapa pekerjaan sambil merangkai beberapa pesan. Itu pesan rindu. Tentu saja pesan untukmu.

Akh! Umma Azura dan Reza Mustafa sedang mengundang kita ke sebuah pesta. Pesta yang kelak membuat kita sulit pulang.

_



Komentar

Postingan Populer