Surat Pram




Buku Pram
Dok. Kamar Bawah 2012

“…..kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu. Surat pada kalian ini juga semacam protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…..”
Pramoedya Ananta Toer

Pengantar

Setelah Jepang mengobrak-abrik Honolulu, Hawai, negara bagian ke 50 Amerika Serikat di tahun 1941. Maka AS dan Inggris menyatakan perang terhadap Jepang. Disusul pula pernyataan yang sama oleh Gubernur Hindia Belanda. Selanjutnya, pecahlah perang Pasifik.

Sadar akan hal itu. Jepang tidak tinggal diam, tahun 1942. Negeri Samurai itu kemudian melancarkan ekspansi ke Asia Tenggara. Wilayah jajahan negara Barat. Walhasil, Jawa dan beberapa kepulauan lainnya menjadi kendali Jepang. Tak berselang lama, tahun 1943. Pihak sekutu mengusik kekuasaan Jepang di Hindia Belanda. Jepang terjepit. Di depan mata. Tiga kekuatan besar siap memangsa. Namun sekali lagi, Militer Jepang bukan penyamun. Ia merombak strateginya dari agresif ke defensif.

Akibat perubahan sikap itu. Para aktivis kemerdekaan di Jawa dan Sumatera memiliki kebebasan untuk berproganda. Bahkan terbentuk PETA (Pembela Tanah Air) yang mendapat latihan kemiliteran sebagai bekal menghadapi serangan sekutu. Narasi ini bisa dibaca sebagai momentum bagi aktivis seperti Soekarno untuk merancang berdirinya negara baru di kawasan Asia Tenggara. Kelak dikenal: Indonesia.

Kita bisa melacak hubungan mesra Soekarno dengan Kekaisaran Jepang. Di mana Soekarno enggan mendengar masukan gerakan pemuda agar segera memproklamirkan negara Indonesia. Sehingga peristiwa Rengasdengklok pun terjadi. Sebuah aksi heroik para pemuda yang menjalankan strategi agar Soekarno dan Hatta diculik sebagai bagian dari gerakan membentuk negara tanpa campur tangan Jepang. Sejarah mencatat, kalau Soekarno dan Hatta telat mengetahui pengeboman duo kota besar di Jepang. Hirosima dan Nagasaki.

Kesaksian Pram

Melalui petak sejarah di atas, ada sebentuk pristiwa yang dirancang dengan sangat sistematis sekaligus brutal oleh militer Jepang terhadap generasi muda ketika itu. Tepatnya, penipuan terhadap perempuan muda melalui program Sendenmbu, kebijakan etis milter Jepang yang akan memberi kesempatan pada gadis muda untuk melanjutkan pendidikan di Tokyo dan Shonanto. Penipuan inilah yang dicatat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Ditulis dengan gaya reportoar. Pram memperkaya data dengan wawancara kepada saksi mata dan korban.

Mengapa hal ini bisa berjalan di tengah manisnya hubungan petinggi Jepang dengan aktvis kemerdekaan garis depan. Pram memberikan pembacaan lain ketika Jepang mengalami tekanan dari sekutu. Era itu, militer Jepang di Hindia Belanda tak bisa lagi melakukan hubungan laut dan udara untuk mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, Cina, dan Korea. Sebagai gantinya, gadis pribumi menjadi pilihan utama. (Hal. 2).

Mari kita simak penuturan saksi mata, AT Kadir, yang diwawancarai Pram tahun 1978. AT Kadir masih berusia tujuh tahun ketika ia menyaksikan pengangkutan rombongan para perawan remaja dan rombongan rhomusha di pelabuhan Tanjung Perak. Kapal itu dikawal dua buah kapal perang menuju entah ke mana. AT Kadir tak mengetahui persis.

Kesaksian lain, hasil wawancara dengan Sukarno Martodiharjo. Ketika itu ia seorang Kaigun (Angkatan Laut). Ia menuturkan:

“Kapal kami disiapkan di Kade 1, Tanjung Priok. Ini terjadi pada bulan Maret 1945. Sebelum kami berangkat pada tengah malam, datang angkutan truk menurunkan para gadis remaja. Keadaan gelap, yang dapat kami ketahui, ada dari gadis itu yang turun dari truk menaiki kapal kami. Sisanya, naik di kapal lainnya. Total, ada lima buah kapal yang mengangkut perempuan belia itu.” (Hal. 30).

***
Melalui propaganda Balatentara Dai Nippon. Dikatakan, kalau generasi muda Indonesia akan dididik sebagai bekal dalam mengabdikan diri pada kemerdekaan yang sedang dipersiapkan Jepang. Namun itu penipuan belaka. Karena perawan remaja itu malah ditempatkan di barak militer Jepang sebagai budak seks.

“Tak ada yang menolong sahaya. Sahaya dibawa masuk ke dalam kamar kapal. Pelangi (kain selendang) itu juga yang jadi penutup muka sahaya. Ia geletakkan sahaya. Dan waktu terbangun seluruh badan lemas, pakaian rusak semua. Badan sakit semua. Ya, Nak, terang-terangan saja. Ibu sudah tua sekarang, apa pula guna malu. Sipen na (kemaluan ini) bengkak. Sahaya menangis. Tetapi tiap sahaya menangis dia datang lagi dan diulanginya perbutannya. Dan sahaya pingsan lagi. Begitu terus sampai sahaya tak dapat bangun lagi.” (Hal. 69).

Perlakuan brutal serdadu Jepang itu dituturkan oleh Kartini, korban yang dibuang di Buru. Pram, mengutip dari catatan Soeprihono Koeswadi. Pram sendiri ketika menjadi tahanan Pulau Buru, kaget ketika bertemu perempuan tua yang bisa berbahasa Jawa. Pram semakin yakin kalau perempuan tua itu dulunya adalah gadis perawan yang dijadikan budak seks. Begitu Jepang kalah. Perempuan itu menjadi buangan selama 35 tahun di Buru dan pelbagai daerah pengasingan lainnya. Di antara mereka ada yang sudah mati, dan tak diketahui oleh keluarganya sejak ia dijemput militer Jepang di rumahnya.

Selain menceritakan temuan-temuan atas nasib yang dialami perawan remaja yang ditipu oleh fasis Jepang antara tahun 1943 hingga 1945. Pram pun menceritakan getir tahanan Buru yang senasib dengannya. Di sini, Pulau Buru, kemanusiaan diinjak-injak, serasa terpisah dengan kehidupan manusia dari planet yang sama.

Ironi itu seakan terus hidup. Penyimpangan perilaku kemanusiaan di masa lalu dan sikap apatis Jepang yang tidak mau mengakui dan bertanggung jawab hingga kini. Jepang menganggap kalau mereka (perawan remaja) adalah jugun ianfu (perempuan penghibur) yang bekerja sukarela.

Aktivis pembela hak asasi manusia dan hak perempuan dari berbagai negara yang pernah diduduki Jepang, seperti, Korsel, Taiwan, Fillifina, Burma, dan Indonesia. Menegaskan kalau perbudakan seks yang dilakukan oleh militer Jepang di masa perang dunia kedua, adalah kejahatan perang. Merujuk pada Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma 1999. Meski pada tahun 1996. Pemerintah Jepang melalui sebuah lembaga Asian Women Fund. Mengumpulkan dana masyarakat untuk membayar kompensasi perempuan yang menjadi korban. Namun, usaha itu tak menyurutkan nyali para aktivis kemanusiaan untuk tetap menuntut keadilan, pada tanggal 8-12  Desember 2000. Para aktivis tersebut menyelenggarakan “Pengadilan Rakyat” di Tokyo.

Novel ini jelas merupakan data sejarah yang dipersembahkan Pram dari tempatnya yang sepi (pengasingan Pulau Buru). Dan, Pram tak ingin lupa dengan kejahatan kemanusiaan ini. Sebagaimana yang coba dikaburkan oleh dua belah pihak (Jepang dan Indonesia). Pram menyesalkan sikap pemerintah Indonesia yang sejak awal terbentuk, yang sama sekali tidak membentuk tim investigasi guna mencari tahu kepastian data dan keberadaan korban.

Diakhir catatan, Pram menulis:

“Dan pada almahrumah kami semua meminta maaf sebesar-besar maaf karena tak mampu mengurus jenazahnya secara lebih baik dan lebih layak. Kami bukanlah orang yang bebas yang dapat mengusahakan sepatutnya. Aku sendiri hanya dapat berdoa semoga pergorbanannya selam 35 tahun mempunyai makna abadi bagi para perawan remaja Indonesia sekarang dan di kemudian hari.” (Hal. 246).
_




Komentar

Postingan Populer